02 Februari 2024
21:00 WIB
JAKARTA – Bambu adalah salah satu tanaman yang bisa diolah menjadi beragam produk kerajinan. Aksesoris, tempat tisu, wadah lilin, kemasan makanan, dan berbagai bentuk lainnya, biasa kita temui terbuat dari bambu.
Indonesia merupakan salah satu negara yang punya beragam tanaman bambu. Sebut saja, Bambu Ampel, Bambu Andong, Bambu Apus, Bambu Bali, Bambu Betung, Bambu Cendani, Bambu Gendang, Bambu Hitam, dan masih banyak lagi, ada di tanah air.
Sejumlah kawasan juga dikenal sebagai sentra produk kerajinan bambu. Salah satunya adalah Dusun Tangkil, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Saking khasnya, rata-rata masyarakat di sana bekerja sebagai pengrajin bambu. Bahkan, anak-anak kecil pun sudah terbiasa menganyam bambu.
Margareta Ade Oktarina Wardani bersama Riyanto suaminya adalah orang yang tertarik terhadap kerajinan anyaman bambu. Berkat kejeliannya, Margareta menjadikan anyaman bambu sebagai bisnis yang menjanjikan semenjak pandemi covid-19 melanda Indonesia pada 2020 silam.
Awalnya, dia hanya menjadikan anyaman bambu sebagai kemasan hantaran atau hampers yang dijualnya. Isi hampers itu ialah wedang-wedangan yang didapat juga dari desa tetangga, yakni Desa Mangunan.
"Saya bikin hampers karena itu semacam habbit. Nah, kemasannya dari bambu dan responsnya bagus. Banyak yang pesan dan bahkan banyak juga yang menanyakan tempatnya (kemasan)," ungkap Margareta dalam perbincangan via telepon dengan Validnews dari Jakarta, Rabu (31/1).
Dari situlah cerita jenama Bambu Tresno dimulai. Kala pandemi, pemerintah menggelar pembatasan. Salah satunya yang dibatasi adalah pesta pernikahan. Dari hal ini, pengantin jadi punya bujet lebih untuk hantaran ke kediaman besan, ketimbang untuk mengadakan pesta.
"Mereka pesan (kemasan bambu) untuk hantaran, mereka ingin yang unik, apalagi saat ini sedang gembar-gembor ramah lingkungan dan sebagainya," urainya.
Momen itu, sambungnya, jadi titik dimana kerajinan bambu mulai eksis kembali setelah tenggelam sekian lama. Sudah barang tentu, hal tersebut jadi angin segar bagi pengrajin bambu di Dusun Tangkil yang biasa menggarap kerajinan dari hulu hingga ke hilir.
"Kalau pengrajinnya semua dikerjain. Sedangkan anak-anak muda saat itu tidak mau lagi, mending ikut ke pabrik atau kerja di luar gitu. Jadi, orangnya tinggal yang tua-tua," katanya.
Pesanan Menumpuk
Ceritanya, setelah menjual hampers berisi wedang uwuh dari Desa Mangunan yang dikemas dengan kemasan bambu dari Dusun Tangkil, pesanan Bambu Tresno perlahan tapi pasti terus meningkat. Para pengrajin pun sempat keteteran menghadapi banyaknya permintaan. Di sisi lain, usia pengrajin yang sudah sepuh tidak memungkinkan untuk menggarap kerajinan terlalu banyak.
Karenanya, dia membagi tugas antara ibu-ibu, bapak-bapak, dan anak muda. Khusus ibu-ibu, Margareta hanya memberi tugas menganyam. Sedangkan bapak-bapak, mendapat tugas membuat bingkai. "Lalu anak muda juga akhirnya saya ajak untuk merangkai. Karena banyak permintaan, akhirnya mereka mau balik lagi membuat kerajinan bambu," imbuh dia.
Waktu memulai bisniis hampers, Margareta hanya merogoh kocek sekitar Rp100 ribuan. Secara rinci, Rp25 ribu digunakan untuk isi hampers berupa wedangan. Sedangkan, sisanya untuk kemasan berupa kerajinan dari pengepul.
Lambat laun, kian banyak yang malah tertarik kepada kemasan hantaran itu. Ini membuatnya lebih antusias, dan mulai memotret kerajinan-kerajinan yang dijual pengepul, lalu dia posting di sosial media.
"Waktu awal itu saya minta ke pengepul, kalau ada pesanan dia yang bikin. Saya ke sana, saya foto-fotoin saja barangnya, modalnya hanya itu," tambah Margareta.
Setelah pesanan membludak, barulah dia berpikir harus memproduksi kerajinan itu sendiri. Dia menginisiasi kegiatan tidak lagi mengandalkan pengepul. Hal yang ada di benaknya adalah bagaimana memberdayakan masyarakat setempat.
"Bahkan sampai kampung-kampung sebelah yang tidak pernah pegang kerajinan, saya dan suami juga ajari mereka," tutur Margareta.
Sulitnya Mengolah Bambu
Ternyata, proses mengolah sebatang bambu menjadi produk kerajinan yang cantik, cukup njlimet. Margareta harus menghadapi beberapa tantangan, khususnya soal cuaca hingga potensi tumbuhnya jamur ketika kadar air terlalu banyak.
Hingga saat ini, penebangan bambu di Dusun Tangkil dilakukan saat siang hari atau ketika terik. Jika dilakukan pada pagi hari, Margareta menjelaskan bambu umumnya masih lembap.
"Nah, kalau cuaca seperti belakangan ini hujan terus, kalau menyetok bambu agak susah karena mudah berjamur," ujar dia.
Sebagaimana biasanya, Margareta melaksanakan proses pengawetan secara alami, yaitu dengan cara memotong dan mengolah bambu hingga menjadi tipis atau siap untuk dianyam. Bambu tipis ini umumnya dikenal dengan sebutan iratan.
Iratan tersebut disimpan dalam kurun dua malam pada suhu yang stabil supaya awet dan tidak berjamur.
"Kalau sudah jadi, itu untuk segi stok. Sayangnya kita masih kurang untuk alat semacam oven gitu untuk menjaga suhunya stabil dan tidak lembap," jelasnya.
Sekadar informasi, Dusun Tangkil berada di wilayah pegunungan. Artinya, suhu di sana lebih lembap dibandingkan pusat Kota Yogyakarta. Di lain sisi, produk unggulan wilayah itu adalah kerajinan bambu.
"Kita tinggal itu di gunung, jadi sangat lembap dibandingkan Yogyakarta. Padahal, produknya kita adalah bambu yang sangat riskan dan rentan terhadap cuaca, apalagi kalau musim hujan seperti ini," kata Margareta.
Berlanjut ke tahap akhir atau finishing, kerajinan bambu yang sudah dianyam akan melewati tiga metode, yakni pengasapan, pemutihan, dan pengecatan.
Tantangan terbesar pada finishing ialah proses pengasapan. Pada fase ini, anyaman bambu diletakkan di atas tungku dengan api yang menyala kecil di bawahnya. Proses yang memakan waktu dua jam itu tak boleh luput dari pantauan karena api yang menyala tidak bisa terlalu besar.
"Apinya itu kita hanya ambil asapnya saja, jadi apinya tidak terlalu besar. Metode ini hanya ada di Dusun Tangkil dan belum ada di tempat lain," sambungnya.
Hingga saat ini, proses pengasapan untuk mengaweti anyaman bambu di Dusun Tangkil masih dilakukan secara tradisional tanpa adanya bantuan teknologi.
Apabila besaran api luput dari pantauan, risiko terbesarnya adalah anyaman bambu bisa terbakar. Sampai-sampai, ada istilah lokal di Dusun Tangkil bahwa seorang pengrajin belum bisa disebut pengrajin jika anyamannya belum pernah terbakar.
"Kalau misal terbakar ya saya hanya lihatin saja, dalam hati 'padahal banyak pesanan orang', terpaksa deh mulai dari awal lagi," ungkap Margareta.
Benahi Ekosistem
Dalam menjalankan bisnisnya, Margareta secara paralel berupaya menciptakan ekosistem bisnis kerajinan bambu yang lebih mumpuni di Dusun Tangkil ketimbang kondisi yang ada sebelum-sebelumnya.
Mulanya, dia mengajak warga setempat untuk menciptakan inovasi produk, yakni kemasan untuk hampers. Akan tetapi, banyak penolakan dari masyarakat karena mereka sudah terbiasa hanya membuat semacam tampah.
"Mereka orang kampung ini kalau buat sesuatu yang baru, ya saat itu banyak ditolaknya. Tapi akhirnya yaudah mereka terbiasa saat ini," ucap Margareta.
Kemudian, langkah membenahi ekosistem juga dilakukan dengan mengkhususkan pengrajin berdasarkan masing-masing keahlian. Sebelumnya, para pengrajin menggarap semuanya mulai dari penebangan bambu hingga tercipta produk kerajinan.
Bahkan Margareta juga membangun ekosistem untuk bisnis online yang dijalankan para pengrajin. Dalam hal ini, dirinya mengedukasi para pengrajin untuk merambah ke pasar digital yang notabene merupakan hal baru bagi mereka.
"Akhirnya mereka mikir oh online ternyata bisa, akhirnya terjun ke online. Tapi memang dari segi harga jadinya banting-bantingan," jelasnya.
Dari sederet upaya itu, dia optimistis para pengrajin bisa lebih memajukan produk kerajinan bambu khas Dusun Tangkil. Kini, PR bagi Margareta adalah menjaga agar produksi dilakukan secara rutin selain kemasan hampers.
Bambu Tresno sendiri mulai berinovasi dengan membuat produk dekorasi rumah berbahan bambu. Kemudian, ekspansi juga ia lakukan dengan menitip produk kerajinan di toko-toko fisik sekitar.
Sayangnya, produk dekorasi rumah belum menjadi concern utama. Produk itu sejatinya sudah dia coba sejak awal, namun kerap terjebak momen Hari Raya Idulfitri maupun Hari Raya Natal.
"Kadang terjebaknya pada saat membuat produk baru itu, keburu Lebaran, keburu Natal, jadinya banyak pesanan," papar Margareta.
Untuk penjualan, Bambu Tresno bisa menjual sekitar 1.000 unit kerajinan bambu dalam sebulan saat Lebaran ataupun Natal. Sedangkan di luar momen itu, dia menjual rerata 200-300 produk per bulannya.
"Tapi kalau tambir itu rutin 3.000 sebulan, saya ada pelanggan tetap yang pesan sebulan itu 3.000 tambir," imbuh dia.
Omzet yang dia raup pun tak bisa dipandang remeh. Dari yang hanya bermodalkan Rp100 ribuan, kini Margareta mampu meraup sekitar Rp200 juta tertinggi dalam setahun.
Dari situ, dia menyimpulkan potensi bisnis pengolahan bambu sangat menjanjikan. Ditambah, mulai banyak pihak yang menggaungkan kampanye produk ramah lingkungan.
Buktinya, sejumlah perusahaan sudah mengontak Bambu Tresno untuk bekerja sama. Perusahaan-perusahaan itu umumnya menjalankan bisnis ekspor yang membutuhkan kemasan untuk produknya.
"Potensi sangat besar, diminati. Jadi kalau buat saya masih menjanjikan. Kita harus banyak kreasi di situ, inovasi produk jika mau marketnya tepat," pungkas Margareta.