10 Oktober 2022
20:13 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI Anis Byarwati meminta pemerintah untuk mengkaji ulang batas garis kemiskinan. Pengkajian ulang perlu dilakukan mengingat adanya kenaikan inflasi, seiring dengan melonjaknya harga-harga bahan pokok karena kenaikan harga BBM.
Menurutnya, kesulitan yang dialami masyarakat saat ini tidak hanya terjadi di tingkat daerah, akan tetapi juga di kota-kota besar, seperti Jakarta.
“Kemiskinan sudah nampak secara kasat mata di lapangan,” ujar Anis dalam keterangan tertulis, Jakarta, Senin (10/10).
Anis mengingatkan, dalam laporan 'East Asia and The Pacific Economic Update October 2022’, Bank Dunia mengubah batas garis kemiskinan yang mengacu pada keseimbangan kemampuan berbelanja pada tahun 2017.
Sementara, basis perhitungan yang dipergunakan Bank Dunia sebelumnya adalah keseimbangan kemampuan berbelanja pada tahun 2011. Dalam basis perhitungan terbaru itu, Bank Dunia menaikkan garis kemiskinan ekstrem per kapita per hari, dari US$1,9 menjadi US$2,15.
Dengan asumsi kurs Rp15.216 per dolar AS, maka garis kemiskinan ekstrem Bank Dunia sekitar Rp32.812/kapita/hari atau Rp984.360/kapita/bulan.
“Jika menggunakan standar Bank Dunia, secara otomatis jumlah penduduk miskin di indonesia bertambah 13 juta orang,” ujar Anggota Komisi XI DPR RI tersebut.
Namun, Anis menjelaskan bahwa Indonesia tidak perlu serta-merta harus mengacu kepada standar Bank Dunia tersebut. Hal ini disebabkan, BPS telah memiliki standar tersendiri dalam mengukur Garis Kemiskinan.
Adapun pengukuran Garis Kemiskinan BPS, merupakan cerminan nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya selama sebulan, baik kebutuhan makanan maupun non-makanan.
Seperti diketahui, Garis Kemiskinan tersebut terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM). Per Maret 2022, BPS mencatat, garis kemiskinan di tingkat nasional mencapai Rp505.469/kapita/bulan.
Dengan komposisi garis kemiskinan makanan sebesar Rp374.455 (74,08%) dan garis kemiskinan bukan makanan sebesar Rp131.014 (25,92%). Dengan begitu, dapat disimpulkan, pengeluaran minimum untuk menentukan garis kemiskinan seseorang sebesar Rp505.469.
Terkait dengan garis kemiskinan yang ditentukan oleh BPS seperti ditunjukkan di atas, Anis menekankan, agar indikator-indikator yang digunakan dalam pemetaan hendaknya dirumuskan lebih tajam lagi. Ia mempertanyakan pengeluaran sebesar Rp505.469/kapita/bulan sebagai batas garis kemiskinan yang dipakai oleh BPS.
“Kita perlu meninjau kembali apakah angka tersebut masih relevan dengan situasi saat ini dimana masyarakat masih terdampak oleh pandemi ditambah dengan inflasi yang sangat tinggi,” tuturnya.
Ia kembali menekankan, jumlah batas garis kemiskinan tersebut masih belum ideal. “Mengamati kondisi lapangan, angka Rp505.469/kapita/bulan ini sangat jauh dari memenuhi kebutuhan pokok,” kata Politisi F-PKS ini.
Di sisi lain, penentuan Garis Kemiskinan ini akan berkaitan langsung dengan pendataan awal Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek). Regsosek merupakan pemutakhiran data yang terintegrasi, pemetaan penerima manfaat yang terpusat.
Oleh karena itu, Anis menegaskan, sangat penting untuk membuat indikator yang tepat terkait garis kemiskinan.