30 Juni 2023
19:03 WIB
Penulis: Yoseph Krishna
JAKARTA - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia meminta Dana Moneter Internasional (IMF), tidak ikut campur soal larangan ekspor komoditas dan hiliriasi. Pasalnya haltersebut sudah menjadi kebijakan Pemerintah Indonesia.
Bahlil mengatakan, Pemerintah Indonesia mengapresiasi IMF dalam memberikan pandangan dan rekomendasi perihal pertumbuhan makro ekonomi di dalam negeri. Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh IMF dianggap sebagai standar ganda, karena di satu sisi mendukung tujuan hilirisasi, sekaligus menentang kebijakan larangan ekspor.
"Ini standar ganda menurut saya, menurut saya apa yang dilakukan pemerintah sudah dalam jalan yang benar. Kami menghargai mereka, pandangan mereka tapi kita tidak boleh terpengaruh pandangan mereka ketika tidak obyektif dalam arah tujuan negara,” ujar Bahlil, Jumat (30/6).
Ia menegaskan, yang tahu tujuan negara adalah negara kita sendiri. “Pemerintah Republik Indonesia dan rakyat, bukan yang lain," serunya.
Bahlil menjelaskan, penilaian IMF terkait soal kerugian yang akan dialami oleh pemerintah Indonesia, apabila menerapkan kebijakan larangan ekspor tidaklah tepat. Menurut Bahlil, dengan hilirisasi justru penciptaan nilai tambah sangatlah tinggi bagi Indonesia.
Ia mencontohkan, ekspor nikel pada 2017-2018 hanya mencapai US$3,3 juta. Namun, begitu menghentikan ekspor nikel mentah dan melakukan hilirisasi, nilai ekspor Indonesia pada 2022 menyentuh hampir US$30 miliar.
Lebih lanjut, hilirisasi telah membuat neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus selama 25 bulan berturut-turut. Selain itu, sejak diberlakukannya kebijakan hilirisasi, pertumbuhan tenaga kerja pada sektor hilirisasi tiap tahun mencapai angka 26,9% dalam empat tahun terakhir.
"Jadi kalau ada siapapun yang mencoba mengatakan hilirisasi adalah sebuah tindakan yang merugikan negara, itu kita pertanyakan ada pemikiran apa di balik itu," kata Bahlil.
Ia pun menegaskan, kebijakan hilirisasi dan larangan ekspor komoditas tetap dilakukan oleh Indonesia. Menurutnya, hilirisasi tak hanya sekadar soal penambahan nilai semata, tetapi juga terkait dengan kedaulatan Republik Indonesia.
"Hilirisasi menyangkut kedaulatan, tidak boleh negara kita diatur oleh negara lain, tidak boleh juga institusi lain menilai kita yang sudah bagus dan tidak boleh ada standar ganda dalam konteks kebijakan sebuah negara," tegas Bahlil.
Untuk diketahui, pandangan IMF terkait kebijakan larangan ekspor tertuang dalam laporan bertajuk "IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia" yang dipublikasikan pada Senin (26/6).
Tiga poin yang menjadi sorotan Kementerian Investasi/BKPM adalah IMF mengakui pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 5%. Kemudian, mengakui bahwa FDI Indonesia akan terus mengalami peningkatan dan tumbuh sekitar 19%.
Lalu, mendukung tujuan hilirisasi Indonesia untuk mendorong transformasi struktural dan penciptaan nilai tambah. Tetapi secara bersamaan, juga menentang kebijakan larangan ekspor.

Dalam dokumen tersebut, IMF menyebut kebijakan harus berlandaskan analisis terkait biaya dan manfaat lebih lanjut. Selain itu, kebijakan juga perlu dibentuk dengan mempertimbangkan dampak-dampak terhadap wilayah lain.
Atas dasar itu, IMF mengimbau, Indonesia untuk mempertimbangkan kebijakan penghapusan bertahap pembatasan ekspor nikel dan tidak memperluas pembatasan ke komoditas lainnya.
Kebijakan Indonesia terkait nikel juga pernah mendapat penolakan dari Uni Eropa. Uni Eropa menggugat Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan berhasil memenangkan gugatan pada Oktober 2022 lalu.
WTO menilai kebijakan larangan ekspor nikel Indonesia telah melanggar Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) XX (d) GATT 1994.
Sambangi IMF
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, berencana untuk menyambangi Dana Moneter Internasional (IMF). Luhut mengaku akan membahas permintaan IMF agar Indonesia mempertimbangkan penghapusan kebijakan larangan ekspor nikel.
Juru Bicara Menko Marves Jodi Mahardi mengatakan, Luhut akan bertemu dengan Managing Director IMF sekitar akhir Juli atau awal Agustus mendatang, untuk menjelaskan visi Indonesia terkait hilirisasi.
“Menko Luhut nantinya akan ke Amerika dan berencana bertemu dengan Managing Director IMF untuk menjelaskan visi kami ini dengan lebih detail. Ini adalah kesempatan bagi kita untuk menjalin dialog yang konstruktif dan berbagi tujuan kita dalam menciptakan Indonesia yang lebih berkelanjutan, adil, dan sejahtera,” bebernya seperti dikutip dari Antara.
Pemerintah Indonesia, lanjut Jodi, menyampaikan terima kasih atas perspektif yang disampaikan IMF. “Sebagai bangsa yang berdaulat dan sedang berkembang, pandangan kami terhadap masa depan adalah untuk memperkuat peran kita dalam proses hilirisasi, yang merujuk kepada peningkatan nilai tambah produk kami, bukan hanya sebagai pengekspor bahan mentah,” tuturnya.
Pemerintah Indonesia juga menegaskan komitmen untuk membangun ekonomi yang berkelanjutan dan progresif. Juga melibatkan semua lapisan masyarakat Indonesia.
Jodi menggarisbawahi, konsep hilirisasi tidak hanya mencakup proses peningkatan nilai tambah, tetapi juga tahapan hingga daur ulang. Hal ini merupakan bagian integral dari upaya Indonesia untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan menekankan pentingnya keberlanjutan.
“Kami tidak memiliki niat untuk mendominasi semua proses hilirisasi secara sepihak. Tahapan awal akan kami lakukan di Indonesia, namun tahapan selanjutnya masih dapat dilakukan di negara lain, saling mendukung industri mereka, dalam semangat kerja sama global yang saling menguntungkan,” lanjutnya.
Jodi juga menyebut langkah ini selaras dengan amanat UUD 1945 pasal 33 ayat (3) yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk keberlanjutan dan kemakmuran rakyat.
Senada, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, Indonesia akan tetap memperjuangkan hak negara untuk hilirisasi. Sekalipun, IMF meminta pemerintah Indonesia mempertimbangkan penghapusan kebijakan larangan ekspor nikel.
“Itu bukan hanya rekomendasi IMF, tapi juga keputusan dari WTO (Organisasi Perdagangan Dunia). Tapi, kita akan terus banding. Karena yang kita ekspor bukan Tanah Air, tapi nilai tambah,” kata Airlangga saat ditemui di Jakarta, Selasa.
Airlangga menambahkan, sikap tersebut bukan hanya untuk memperjuangkan hak hilirisasi tetapi juga untuk membebaskan Indonesia dari bentuk kolonialisme baru.
Dia berpendapat permintaan IMF untuk memaksa Indonesia tetap mengekspor komoditas nikel merupakan salah satu bentuk regulasi imperialisme. Sebab, ia menilai tak seharusnya negara lain memaksakan kehendak kepada suatu negara dalam membuat kebijakan tertentu.
Oleh karena itu, dia mengatakan akan tetap berusaha mempertahankan hak Indonesia memperoleh nilai tambah dari komoditas dan melakukan pembatasan ekspor nikel secara bertahap.