c

Selamat

Sabtu, 27 April 2024

EKONOMI

02 November 2021

21:00 WIB

Asuransi Bencana; Baru Diingat Kala Bala Menyengat

Tingkat penetrasi asuransi bencana hingga Februari 2021 silam masih di angka 0,5%

Penulis: Rheza Alfian,Yoseph Krishna,Zsasya Senorita,Fitriana Monica Sari,

Editor: Fin Harini

Asuransi Bencana; Baru Diingat Kala Bala Menyengat
Asuransi Bencana; Baru Diingat Kala Bala Menyengat
Warga memperbaiki atap rumahnya yang rusak akibat angin puting beliung di Kota Medan, Sumatra Utara. ANTARAFOTO/Fransisco Carolio

JAKARTA – Tak ada satupun warga RT 10/RW 04 Kelurahan Kebon Manggis, Matraman, Jakarta Timur yang menyangka, api akan melahap 13 rumah di Jalan Slamet Riyadi kala sebagian dari mereka terlelap pada subuh hari. Deretan rumah di area seluas sekitar 450 m2 itu ludes dilahap si jago merah.

Korsleting listrik pada salah satu rumah ditengarai menjadi penyebabnya. Satuan Pemadam Kebakaran sampai harus menurunkan 14 armada dan 70 personel untuk menanganinya.

Mirisnya, bencana yang terjadi sekitar pukul 04.55 pagi tersebut, terjadi tepat pada Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2021 kemarin. Meski tak ada korban jiwa, namun kerugian materi akibat peristiwa itu ditaksir mencapai Rp1 miliar.

Tiwi (23), salah satu korban menyebutkan, api bermula dari tetangga persis sebelah rumahnya. Kala itu, tak banyak barang yang bisa ia selamatkan dari rumah yang ditinggali bersama sang ibunda. Bahkan, kini ia dan sang ibu terpaksa menumpang tinggal di rumah salah seorang tetangga.

“Semuanya habis, termasuk barang dagangan. Pokoknya, yang selamat hanya surat penting saja,” ungkapnya kepada Validnews di Jakarta, Senin (1/11).

Ya, kebakaran hanya salah satu dari potensi bencana yang bisa muncul kapan saja dan menimbulkan kerugian harta benda. Selain kebakaran, banyak potensi bencana lainnya yang harus dihadapi penduduk Indonesia.

Bencana banjir, longsor, gempa bumi, gunung meletus, air pasang dan tsunami dan bencana lainnya, tercatat sampai ribuan kali saban tahunnya menerpa Indonesia, dari Sabang Sampai merauke, dari Pulau Miangas sampai ke Pula Rote.

Bicara nilai kerugian, tentu tak sedikit. Badan Keuangan Fiskal Kementerian Keuangan mencatat, rerata kerugian ekonomi langsung akibat bencana alam yang merusak bangunan dan non-bangunan dalam kurun waktu 2000–2016 berada di kisaran Rp22,8 triliun saban tahunnya.

Namun, patut diingat, nilai kerugian ekonomi yang tercatat itu dianggap mencerminkan kerugian riil yang terjadi di lapangan. Pasalnya, Bank Dunia memperkirakan kerugian ekonomi yang dapat diidentifikasi hanya menggambarkan sekitar 60% dari kerugian yang sesungguhnya terjadi.

Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Alih-alih berkeluh kesah, maraknya potensi bencana di negara yang berada di kawasan cincin api seperti Indonesia, sudah seharusnya disikapi dengan bijak. Hidup berdamai dengan bencana mau tak mau harus jadi pilihan.   

Salah satu yang bisa diambil adalah melakukan langkah mitigasi, untuk meminimalkan risiko kerugian harta benda, bahkan nyawa. Di antara langkah mitigasi yang paling strategis adalah membeli asuransi. Sayangnya, sejauh ini, asuransi bencana belum dianggap sebagai sesuatu kebutuhan penting.

Padahal, menurut Financial Planner Melvin Mumpuni, dalam banyak aspek, masyarakat lebih baik mengasuransikan harta bendanya, terutama rumah atau properti. Pasalnya, sebagian besar perusahaan asuransi, sudah mampu meng-cover kerugian rumah dan isinya dengan total tanggungan di kisaran Rp1 miliar.

“Nah, nilai tanggungan segitu (Rp1 miliar) hanya perlu membayar Rp4 juta per tahun. Jadi, selama uang keluar Rp4 juta setahun, kita dicover sampai Rp1 miliar,” terang Melvin kepada Validnews di Jakarta, Selasa (2/11).

Pentingnya mengasuransikan harta benda, lanjut Melvin, tak lepas dari segala risiko yang mungkin muncul tanpa waktu yang diketahui. Menurutnya, jika risiko itu terjadi sewaktu-waktu, belum tentu masyarakat bisa meng-covernya tanpa mengandalkan asuransi. Tak jarang, setelah bencana harus diterima dan harta benda hilang, korban harus miskin mendadak.

Nah, dengan membeli produk asuransi, maka risiko yang tadinya besar dengan kerugian yang bisa mencapai miliaran bisa ditanggung oleh asuransi.

“Kita transfer saja kerugiannya atau risiko itu ke perusahaan asuransi. Sebagai gantinya, kita bayar premi yang nilainya lebih kecil daripada nilai kerugian itu,” tandas Melvin.

Dony Sinanda Putra, Head of Underwriting and Product Development Allianz Utama Indonesia menyebutkan, asuransi memang didesain untuk meminimalisir kerugian yang timbul dari bencana alam.

“Asuransi hadir untuk memberikan perlindungan terhadap risiko yang mungkin dialami dari terjadinya bencana alam tersebut,” tuturnya pada Validnews, Selasa (2/11).

Terdapat beberapa jenis asuransi yang masuk dalam kategori asuransi bencana. Salah satunya asuransi properti yang menawarkan perlindungan bagi rumah atau toko yang dimiliki masyarakat. Manfaat perlindungan dari asuransi ini di antaranya adalah penggantian atas kerusakan pada bangunan, penggantian atas isi properti, seperti furnitur dan barang elektronik.

Termasuk juga manfaat biaya akomodasi sementara, tatkala properti yang kita miliki tidak dapat digunakan karena akibat banjir. “Allianz Rumahku Plus juga menawarkan manfaat tambahan yang bisa dipilih,” ujar Donny.

Salah satunya adalah kebakaran, petir, peledakan, asap, kejatuhan pesawat terbang dan alat-alat dan/atau benda-benda lainnya yang jatuh dari pesawat terbang. Nasabah juga mendapatkan perlindungan dari kerusakan properti akibat aksi kerusuhan, pemogokan, huru-hara hingga terorisme dan sabotase.

Asuransi berikutnya adalah kendaraan. Menurut Dony, kendaraan adalah salah satu aset yang paling sering menjadi korban bencana alam, mulai dari kerusakan yang terjadi akibat guncangan, tertimpa reruntuhan bangunan, hingga jatuh ke tempat curam seperti jurang atau laut.

Lalu, asuransi perjalanan. Asuransi ini memberikan perlindungan kepada nasabah ketika terjadi bencana alam selama perjalanan. Manfaat dari asuransi perjalanan adalah, penggantian biaya pengobatan, santunan kematian, santunan kecelakaan dan cacat tetap, ganti rugi jika terjadi keterlambatan penerbangan, ganti rugi jika dokumen hilang atau pencurian, fasilitas pemulangan jenazah, dan lain sebagainya.

Hingga Kuartal III 2021, Allianz Utama Indonesia sendiri mencatat sudah melindungi lebih dari 167 ribu tertanggung dengan berbagai produk asuransi kerugian.

“Sama halnya dengan risiko bencana pandemi covid-19, risiko lain yang mengintai kita juga dapat hadir secara tak terduga dan menimbulkan beragam kerugian yang bisa mengganggu keuangan kita pada masa depan,” imbuhnya.


Penetrasi Rendah
Wakil Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Bidang Information and Applied Technology Dody Dalimunthe menjelaskan, nilai pertanggungan asuransi bencana bisa mencapai sebesar nilai objek pertanggungan bangunan jika diperbaiki atau dibangun kembali, setelah terkena risiko yang dijamin dalam polis.

Asuransi bencana sendiri masuk ke dalam kelompok lini bisnis asuransi harta benda. Di sisi lain, asuransi harta benda bersama asuransi kendaran bermotor masih menjadi dua lini kontributor terbesar premi asuransi umum nasional, dengan porsi hingga 60% dari total premi.

Secara mendasar, Dody menjelaskan asuransi bencana merupakan pertanggungan yang diberikan oleh perusahan asuransi untuk memberikan ganti rugi atas risiko bencana yang disebut dalam risk covered di polis tertanggung.

Umumnya, polis asuransi bencana yang ada di pasar ialah untuk bencana alam. AAUI juga telah menerbitkan Polis Standar Asuransi Gempa Bumi (PSAGB) yang menjamin kerugian karena risiko gempa bumi, erupsi vulkanik, hingga tsunami.

Khusus untuk kebakaran seperti yang terjadi di Kelurahan Kebon Manggis beberapa waktu lalu, Dody menjelaskan, pembiayaan asuransi akan bergantung pada seberapa besar dampak dari kejadian itu. Kalau hanya untuk satu risiko, maka kebakaran tidak tergolong dalam bencana.

“Tapi, kalau sudah kejadian dalam satu event dan berdampak luas, maka bisa dianggap katastropik atau bencana,” ungkap Dody saat dihubungi Validnews dari Jakarta, Sabtu (30/10).

Peningkatan pesat pada peserta asuransi, diakuinya, baru akan terjadi ketika ada suatu bencana tertentu. Tanpa menyebut angka pasti, Dody mengatakan setelah kejadian bencana di beberapa daerah, seperti tsunami di Aceh, gempa di Padang, Lombok, Palu, hingga Donggala, animo masyarakat untuk ikut asuransi bencana meningkat.

“Tentu hal tersebut sebagai bentuk mitigasi risiko atas aset bangunan mereka,” paparnya.

Di luar itu, nyatanya penetrasi asuransi bencana masih minim. Sebagai informasi, catatan Otoritas Jasa Keuangan menunjukkan tingkat penetrasi asuransi bencana hingga Februari 2021 silam masih di angka 0,5%.

Daya beli yang masih rendah serta literasi terkait dunia perasuransian di tengah masyarakat, disebut sebagai musabab penetrasi asuransi bencana masih rendah. Di sisi lain, penetrasi yang rendah itu juga menunjukkan potensi pasar asuransi di Indonesia masih terbuka lebar.

Tercermin dari tingkat penetrasi asuransi secara keseluruhan dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan, mulai dari 2019 di kisaran 2,81%, 2020 2,92%, dan 2021 hingga bulan Juni mencapai 3,11%

Lebih lanjut, Dody meyakini pendapatan per kapita masyarakat yang masih rendah, khususnya kelas menengah ke bawah, membuat mereka beranggapan bahwa asuransi hanya sebagai beban biaya. Masyaralat pun kerap membandingkannya dengan prioritas kebutuhan hidup harian.

Padahal, lanjutnya, asuransi merupakan mitigasi risiko yang akan menolong kondisi perekonomian individu dan masyarakat dari fluktuatif menjadi flat dan fix. Sialnya, kondisi ini ditambah dengan sejumlah pemberitaan negatif terkait masalah pada satu atau dua perusahaan asuransi yang jadi preseden buruk.

Untuk itu, Dody mengimbau agar industri asuransi wajib meliterasi masyarakat secara masif dan membuktikan pelayanan yang maksimal. Ia mengingatkan, pada dasarnya proses bisnis asuransi ialah menjunjung aspek transparan dengan merujuk pada regulasi yang berlaku.

“Kampanye positif seperti itu semoga bisa membuat masyarakat percaya terhadap industri asuransi. Kami dari AAUI juga berharap pemerintah segera membentuk Lembaga Perlindungan Pemegang Polis agar masyarakat percaya dan merasa makin aman berasuransi,” tandasnya.

Program Asuransi Bencana
Tingginya risiko bencana dan daya beli yang minim, sejatinya membuat AAUI bersama Dewan Asuransi Indonesia sudah sejak lama ingin berdiskusi dengan pemerintah. Setidaknya, untuk menginisiasi program asuransi bencana.

Sayangnya, pembahasan usulan itu masih jadi tertunda, mengingat pembiayaan akan menggunakan APBN dan dianggap sebagai biaya yang harus memiliki underlying asset seperti halnya pengadaan barang.

Dody pun mengatakan, pembiayaan APBN hanya dapat mensupport sekitar 13% dari economic loss akibat bencana alam. Hal tersebut menandakan APBN tak mampu menahan beban rehabilitasi kerugian ekonomi pascabencana alam yang kerap terjadi di Indonesia.

“Setelah kejadian bencana berulang kali itu mengakibatkan kondisi keuangan negara tidak dapat membiayai rehabilitasi pascabencana akibat economic loss yang tinggi,” ujarnya.

Sadar akan ketidakmampuan keuangan negara untuk menanggung kerugian ekonomi akibat bencana, Dody menyebut pemerintah mulai membuat skema Disaster Risk Financing and Insurance (DRIF) yang salah satunya melalui skema asuransi sebagai mitigasi risiko bencana.

“Dari situlah kemudian bergulir program Asuransi Barang Milik Negara (ABMN), serta saat ini tengah dalam pembicaraan serius untuk skema asuransi bencana residential building,” kata dia.

Pemerintah memang sudah mencoba hadir untuk mengurangi dampak bencana. Pembiayaan penanggulangan bencana sendiri terbagi atas tiga kategori, yakni periode prabencana, pembiayaan tanggap darurat, serta pembiayaan pascabencana.

Dody optimistis, ke depannya, Indonesia akan memiliki skema perlindungan risiko bencana untuk masyarakat dengan keterlibatan pemerintah, swasta, dan warga dalam bentuk People Private Public Partnership yang tentu akan melibatkan juga pihak perguruan tinggi, NGO, dan berbagai komunitas.

“Industri asuransi akan sangat mendukung hal itu. Skema penanggulangan bencana merupakan ekosistem yang melibatkan semua pihak, pelaku asuransi, regulator, pemerintah, perguruan tinggi, hingga lembaga penelitian dan masyarakat,” kata Dody.

Pemerintah sendiri mengaku APBN memiliki keterbatasan menutupi economic loss akibat bencana. Direktur Pengelolaan Risiko Keuangan Negara (PRKN) Kementerian Keuangan Heri Setiawan mengatakan, skala kebutuhan yang besar menutup kemungkinan APBN ataupun APBD memenuhi pembiayaannya.

Sebut saja gempa di Padang tahun 2009 mengakibatkan kerugian hingga Rp27,5 triliun. Lalu, gempa NTB tahun 2018 Rp18,2 triliun, gempa dan tsunami Aceh tahun 2004 Rp51,4 triliun, serta gempa dan tsunami di Sulawesi Tenggara tahun 2018 yang menimbulkan kerugian hinga Rp23,1 triliun.

Selain itu, bencana lain seperti erupsi Gunung Merapi di Jawa Tengah membuat kerugian ekonomi hingga Rp3,63 triliun, banjir DKI Jakarta tahun 2007 sebesar Rp5,18 triliun, serta kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015 yang tercatat mengakibatkan kerugian US$16,1 juta.

“Jadi memang keterlibatan masyarakat, misalnya untuk properti, memang harus disiapkan juga mitigasinya,” ujarnya dalam sesi diskusi daring beberapa waktu lalu.

Dari sisi pemerintah, pada Agustus 2021 lalu telah diluncurkan pendanaan inovatif dalam bentuk dana bersama atau pooling fund bencana (PFB) lewat penerbitan Perpres Nomor 75 Tahun 2021 tentang Dana Bersama Penanggulangan Bencana.

“PFB ini merupakan upaya pemerintah dalam mewujudkan komitmen guna memperkuat ketahanan fiskal dalam menanggulangi dampak bencana alam dan non-alam secara efektif,” pungkasnya.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu pun memaparkan, PFB menjadi milestone penting dalam manajemen risiko bencana di Indonesia karena meningkatkan kapasitas pendanaan risiko bencana, khususnya pendanaan mitigasi dan transfer risiko.

Febrio meyakini kehadiran PFB akan efektif menutup celah pendanaan APBN dalam mengatasi kerugian akibat bencana beriringan dengan proses penanganannya. Saat ini, PFB akan memiliki dana kelolaanawal kurang lebih Rp7,3 triliun.

“PFB akan menambah kapasitas pendanaan bencana pemerintah dari semula hanya terdiri dari dua sumber utama, yakni APBN dan APBD. Dana kelolaan ini diharapkan akan terus berkembang setiap tahunnya lewat pengumpulan ataupun pengembangan dana,”

Febrio turut menegaskan dalam kurun 2-3 tahun ke depan, PFB akan mendanai pembelian premi asuransi untuk seluruh gedung ataupun bangunan milik kementerian/lembaga dan akan mengajak pemda untuk mengasuransikan aset daerah.

“Kami akan bergotong royong untuk co-financing dengan pemda untuk pengasuransian aset daerah agar nilai kerusakan akibat bencana alam yang ditanggung dapat ditekan,” tuturnya,.

Apapun itu, jika kita sadar hidup di daerah rawan bencana dan berpotensi kehilangan banyak harta benda, sudah seharusnya kita waspada mengamankannya dengan asuransi bencana. Bukan apa-apa, kualitas hidup kita dan keluarga, bisa tetiba anjlok begitu saja, jika kita cuek untuk menjaga rumah dan harta benda.

Harta memang tak dibawa mati, tapi tanpa harta dengan tiba-tiba, rasanya mungkin seperti mau mati.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar