05 Maret 2022
09:04 WIB
Penulis: Wiwie Heriyani
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Konflik antara Rusia dan Ukraina memberikan dampak bagi Indonesia. Salah satunya adalah harga energi. Harga minyak mentah dunia, dalam hal ini Brent, melonjak dan sempat menyentuh level tertinggi. Rally harga batu bara belum menunjukkan tanda-tanda berakhir.
Sepanjang Februari, harga batu bara sudah menguat sebesar 38,22% secara month over month. Kini memasuki Maret, harga batu bara kembali tancap gas dengan menyentuh level US$446 per ton. Bahkan, jika dihitung secara year to date, harga batu bara telah menguat hingga 233,83%.
Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi dan Batu bara Indonesia (ASPEBINDO), Anggawira, mengatakan tidak menutup kemungkinan harga batu bara bisa terus melejit dengan meningkatnya permintaan namun stok masih terbatas.
"Akibat perang Rusia-Ukraina, apabila pasokan gas alam dan minyak dari Rusia masih terputus, maka pemanfaatan kembali energi fosil, termasuk batu bara berpotensi membesar. Ini akan meningkatkan permintaan di tengah ketatnya pasokan batu bara di tingkat global," ujar Anggawira, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (5/3).
Anggawira menjelaskan, Rusia adalah salah satu produsen minyak dan gas alam utama dan terbesar di dunia. Ekspor dua komoditas energi itu mewakili setengah dari penjualan luar negeri negara itu. Rusia, yang sekarang sedang terlibat dalam perang sengit di Ukraina, menyediakan sekitar 40% gas alam Eropa.
"Saya rasa penguatan harga batu bara juga di akibat musim dingin yang berkepanjangan di negara yang memiliki 4 musim baik di Asia, Asia Tengah, Eropa, Amerika. Hal ini yang juga membuat permintaan batu bara semakin meningkat," ungkap Anggawira.
Anggawira juga memprediksi produksi stagnan, sementara permintaan terus meningkat. Harga minyak mentah dunia yang melonjak di atas US$100 per barel dan harga gas alam yang juga masih tinggi, membuat konsumen akan beralih ke batu bara.
"Peluang ini sangat baik untuk para pemasok batu bara di Indonesia, namun banyak hal-hal yang perlu di cermati, bukan hanya semata-mata tergiur dengan terus meningkatnya harga batu bara," kata Anggawira.
Anggawira juga menyampaikan perlunya ada strategi bukan hanya dari para pemasok batu bara, namun juga dari pemerintah agar para pemasok tidak tergiur untuk melalukan ekspor batu bara dan tetap memperhatikan kebutuhan di dalam negeri.
"Kita harus bisa memaksimalkan peluang ini, namun juga harus berhati-hati agar langkap yang di ambil oleh pemasok batu bara tidak membawa Indonesia menghadapi dampak negatif dan juga tidak mengakibatkan inflasi," tegas Anggawira.
Koleksi Saham Emiten Batu Bara
Invasi Rusia ke Ukraina, lanjut Anggawira, membuat prospek saham-saham batu bara dalam jangka pendek positif lantaran adanya efek ganda. Pertama, dari harga batu bara dunia yang kian menjulang akibat agresi militer di kawasan Eropa Timur tersebut. Harga komoditas batu bara mencetak rekor tertinggi tahun ini seiring dengan invasi Rusia ke wilayah Ukraina sejak 24 Februari lalu. Lonjakan harga dapat dijadikan momentum bagi pemasok batu bara untuk meningkatkan produktivitas.
"Tentu saja jika kondisi ini bisa di manfaatkan oleh seluruh pengusaha atau pemasok batu bara bukan saja swasta yang mendapat durian runtuh namun negara juga secara otomatis. Ke depan PNBP (pendapatan negara bukan pajak) akan meningkat," ujarnya.
Keuntungan lainnya, aktivitas ekspor batu bara para perusahaan tambang RI diperkirakan tidak akan terganggu lantaran 98% ekspor batu bara RI menyasar Asia Pasifik.
"Dengan adanyaa situasi ini, pasti akan ada kekosongan yang tidak bisa di penuhi untuk permintaan batu bara secara global. Dan hal ini harus di eksplorasi oleh Indonesia untuk meningkatkan ekspor batu bara," kata Anggawira.
Rusia menguasai 18% pasar ekspor batu bara global. Volume ekspor batu bara Rusia pada 2020 mencapai 198 juta ton senilai US$ 12,4 miliar.
Seperti yang diketahui, pada tahun ini Indonesia menargetkan bisa memproduksi batu bara mencapai 663 juta ton. Produksi tersebut diantaranya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 165,7 juta ton dan sisanya 497,2 juta ton untuk mengisi pasar ekspor.