c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

01 November 2024

12:15 WIB

Asosiasi Desak Pemerintah Kaji Ulang Kebijakan Kemasan Rokok Polos

Menghilangkan elemen merek (brand) dan informasi pada kemasan, mengurangi kemampuan konsumen untuk mendapatkan informasi produk sehingga dapat memutuskan produk yang tepat

<p>Asosiasi Desak Pemerintah Kaji Ulang Kebijakan Kemasan Rokok Polos</p>
<p>Asosiasi Desak Pemerintah Kaji Ulang Kebijakan Kemasan Rokok Polos</p>

Ilustrasi kemasan bungkus rokok polos tanpa merek. dok. Shutterstock/Juicy Foto

JAKARTA - Asosiasi konsumen rokok elektronik meminta pemerintah, untuk mengkaji ulang kebijakan penyeragaman kemasan polos tanpa identitas merek pada rokok elektronik dan rokok. Ketua Asosiasi Konsumen Vape Indonesia (Akvindo) Paido Siahaan menyatakan, aturan yang tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik itu, melanggar hak konsumen untuk mendapat informasi yang akurat.

Menghilangkan elemen merek (brand) dan informasi pada kemasan tanpa pembedaan antara rokok elektronik dan rokok, menurut dia, mengurangi kemampuan konsumen untuk mendapatkan informasi produk sehingga dapat memutuskan produk yang tepat.

"Kemenkes seharusnya mempertimbangkan hak konsumen untuk memperoleh informasi yang lengkap dan jelas terhadap produk yang mereka pakai," katanya dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (1/11).

Karena itu, ia pun menyebut, produk turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Kesehatan 17/2023 itu dinilai melanggar hak-hak konsumen rokok elektronik. 

Apalagi, rokok elektronik merupakan produk alternatif yang memiliki profil risiko lebih rendah dibandingkan dengan rokok. Hal ini telah dibuktikan oleh berbagai studi ilmiah.

"Jika dilihat dari perspektif konsumen dan pengurangan bahaya, penerapan aturan kemasan polos tanpa pembedaan antara rokok elektronik dan rokok bisa, dianggap tidak memberikan kesempatan yang adil bagi perokok dewasa untuk mengakses produk yang lebih rendah risiko," kata Paido Siahaan.

Sekretaris Aliansi Vaper Indonesia (AVI) Wiratna Eko Indra Putra menjelaskan, mengacu Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pemerintah sudah menjamin hak masyarakat dalam aspek keamanan dan informasi yang jelas terhadap barang yang dikonsumsinya.

Berdasarkan acuan tersebut, lanjutnya, pelaku usaha diminta untuk memasang label yang memuat, antara lain, nama barang, ukuran, berat bersih (neto), tanggal pembuatan, serta keterangan lainnya, bukan hanya memuat mengenai peringatan kesehatan.

"Peninjauan ulang sangat dibutuhkan dan sebisa mungkin melibatkan seluruh pihak terkait, jangan hanya melibatkan pihak yang dianggap akan sependapat dengan kebijakan yang ditetapkan hingga merugikan pihak lain yang juga berhubungan dengan peraturan tersebut,” imbuhnya.

Dengan dipaksakannya kebijakan kemasan polos tanpa merek, menurut dia, Kemenkes justru seperti menyamakan rokok elektronik dengan rokok, sehingga menerapkan strategi yang bertolak belakang dalam upaya menurunkan prevalensi merokok di Indonesia.

Kondisi tersebut, dikatakannya bisa menyebabkan konsumen beralih ke produk ilegal maupun kembali mengonsumsi rokok. 

"Pemerintah sudah berupaya cukup keras untuk menekan angka perokok di Indonesia. Hanya saja, mungkin, lebih baik langkah yang diambil jangan terlalu terburu-buru hingga terkesan dipaksakan, yang dapat berdampak merugikan kepada pihak lainnya," tuturnya.



Berdampak Negatif
Sebelumnya, Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menyatakan, kebijakan yang diatur dalam PP Nomor 28/2024, khususnya mengenai penerapan kemasan polos (plain packaging), akan berdampak negatif terhadap industri rokok dalam negeri, terutama untuk rokok kretek.

Ketua Umum GAPPRI Henry Najoan mengatakan, Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik, merupakan aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 mengatur kemasan rokok polos (plain packaging) tanpa merek.

Kemasan polos, lanjutnya dalam keterangannya di Jakarta, Rabu, akan memicu maraknya peredaran rokok ilegal karena identitas produk akan sulit dikenali, sehingga konsumen beralih ke produk ilegal yang lebih murah.

"Kemasan polos ini akan mempengaruhi seluruh pelaku industri tembakau, namun yang menjadi kekhawatiran utama kami adalah dampak dari persaingan tidak sehat dan maraknya rokok ilegal,” ujar Henry Najoan.

Data Kementerian Perindustrian menyebutkan total tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya di sektor IHT sebanyak 5,98 juta orang, mulai buruh, petani tembakau, petani cengkih dan sektor terkait lain. "Mereka terancam dengan kebijakan itu sehingga akan menciptakan kemiskinan baru," cetusnya.

Merujuk kajian GAPPRI, aturan kemasan polos merupakan duplikasi dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). "Jika diimplementasikan akan memperburuk situasi dengan semakin meningkatkan daya tarik rokok ilegal," kata Henry Najoan.

Oleh karena itu, tambahnya GAPPRI menolak tegas RPMK yang merupakan aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 yang, mengatur kemasan rokok polos tanpa merek.

Sementara itu, Anggota DPR RI periode 2024-2029 Mukhamad Misbakhun berharap, para pengambil kebijakan negara tidak terkooptasi oleh agenda-agenda global yang ingin menginfiltrasi kelangsungan ekosistem tembakau yang mempunyai peran strategis bagi negara, seperti dorongan aksesi FCTC, terbitnya PP 28/2024 dan RPMK.

Misbakhun meminta pemerintah melindungi industri hasil tembakau, utamanya rokok kretek di tanah air dari intervensi asing, apalagi, industri ini sebagai salah satu penyumbang penerimaan negara terbesar. 

"Jangan sampai kita diinjak oleh konspirasi global yang menginfiltrasi kebijakan nasional untuk kepentingan pihak tertentu," imbuhnya.

Pengetatan Aturan
Sepakat, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai kebijakan terkait industri rokok yang tertera pada PP 28/2024 atau UU Kesehatan berpotensi memberikan dampak kurang baik bagi industri hasil tembakau (IHT) domestik.

Peneliti Indef Tauhid Ahmad mengatakan, aturan turunan yang mengatur soal kemasan rokok polos tanpa merek, larangan berjualan di sekitar satuan pendidikan dan tempat bermain anak, dan pembatasan iklan luar ruang, berpotensi mengurangi pendapatan mencapai Rp308 triliun atau setara dengan 1,5% dari PDB. 

Selain itu, dampak terhadap penerimaan perpajakan diperkirakan mencapai Rp160,6 triliun yang setara dengan 7% dari total penerimaan perpajakan nasional.

"Kebijakan ini juga berpotensi mempengaruhi sekitar 2,3 juta tenaga kerja di sektor IHT dan produk turunannya atau 1,6% dari total penduduk bekerja," ucapnya.

Menurutnya, kebijakan PP 28/2024 serta Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) perlu melibatkan setiap pemangku kepentingan dalam ekosistem IHT, bukan hanya pelaku usaha, namun juga kementerian dan lembaga yang terlibat.

Lebih lanjut, Ketua Umum Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP RTMM-SPSI), Sudarto AS menyampaikan aturan yang saat ini berlaku yakni Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012), dinilai sudah komprehensif mengatur pengendalian produk tembakau.

"Aturan tersebut sebaiknya dipertahankan dan diperkuat implementasinya, bukan diganti tanpa ada evaluasi secara komprehensif," katanya.

Dikatakan Sudarto, saat ini ada 143 ribu anggota FSP RTMM-SPSI yang menggantungkan nasibnya pada sektor IHT sebagai tenaga kerja pabrikan, sehingga diharapkan pemerintah memitigasi dampak yang timbul dari realisasi aturan baru tersebut.

Mengurangi Minat
Di sisi lain, Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI) menyatakan, kebijakan kemasan rokok yang tidak semeriah saat ini atau dibuat dalam kemasan polos, dapat memberikan dampak yang positif dalam mengurangi minat para perokok pemula di tanah air.

Ketua RUKKI Mouhamad Bigwanto mengatakan, jika pemerintah resmi menerapkan aturan rokok dengan kemasan polos, bukan tidak mungkin para pemuda yang menjadi target besar dari produsen produk tembakau yang ada di tanah air ini, enggan untuk mengkonsumsi jenis rokok tersebut.

“Negara yang sudah menerapkan aturan kemasan polos itu seperti di Australia, untuk perokok aktif di atas 14 tahun negara tersebut mencatat adanya penurunan konsumsi dari 15,1 % pada tahun 2010, menjadi 12,8 % di tahun 2013. Mereka menerapkan kemasan polos tersebut pada 2012,” kata Mouhamad Bigwanto.

Tidak hanya konsumsi aktif, orang yang hendak mencoba mengkonsumsi rokok juga tercatat memiliki usia yang lebih matang dan dianggap sudah dewasa di negara tersebut. Karena memang, negara tersebut memiliki harga produk tembakau yang relatif mahal.

“Umur mulai merokok juga menjadi meningkat, yang tadinya rata-rata di usia 15,4. Dengan adanya aturan kemasan polos menjadi 15,9 tahun, hampir menyentuh 16 tahun. jadi inisiasi merokok jadi lebih tua lah ya,” ujarnya.

Menurut dia, adanya aturan kemasan polos pada produk rokok tidak sama sekali untuk membasmi rokok dari peredaran. Hadirnya aturan tersebut hanya untuk mencegah penggunaan produk tembakau tersebut bagi para pemula.

Meski begitu, aturan atau implementasi rokok dengan kemasan polos bukan menjadi satu acuan yang tegas untuk mengurangi konsumsi rokok pada orang pemula di tanah air. Begitu banyak cara yang bisa dilakukan untuk menekan angka konsumsi rokok bagi para pemula.

“Karena memang (kemasan polos), menghindari perokok pemula. Jadi cukup efektif untuk mengurangi perokok usia muda,” tutur dia.

Saat ini, Indonesia masih menetapkan harga jual rokok yang relatif murah. Sehingga, menjadikan Indonesia menempati posisi kedua di dunia untuk minat perokok laki-laki dewasa (58,4%) dan urutan ke-23 tertinggi secara keseluruhan (31,0%).

Harga rokok di Indonesia saat ini, rata-rata sekitar US$2,87 atau setara dengan Rp44.485 per bungkus, jauh di bawah rata-rata harga dunia yang sudah mencapai US$5,8 atau Rp89.900 yang dianggap sebagai salah satu faktor penyebab tingginya angka perokok.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar