c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

21 Februari 2025

17:54 WIB

AS Tak Bisa Diandalkan, Aprisindo Minta Luhut Buka Akses Pasar Ekspor ke Eropa

Aprisindo berdialog dengan Ketua DEN, meminta pemerintah mempercepat pembukaan akses pasar produk alas kaki ke Uni Eropa.

Penulis: Aurora K M Simanjuntak

<p>AS Tak Bisa Diandalkan, Aprisindo Minta Luhut Buka Akses Pasar Ekspor ke Eropa</p>
<p>AS Tak Bisa Diandalkan, Aprisindo Minta Luhut Buka Akses Pasar Ekspor ke Eropa</p>

Ilustrasi aktivitas bongkar muat di Pelabuhan. dok.Antara/PT Pelindo

JAKARTA - Produsen alas kaki yang tergabung dalam Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) baru saja berdialog dengan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan siang ini.

Ketua Bidang Perdagangan Internasional Aprisindo Devi Kusuma Ningtyas mengatakan, pihaknya meminta pemerintah, khususnya DEN, untuk mendorong akses ekspor produsen sepatu Indonesia ke Eropa.

Devi menyampaikan, pihaknya berencana membidik ekspor ke pasar Uni Eropa. Itu karena saat ini, Amerika Serikat (AS) tidak dapat diandalkan sebagai negara tujuan ekspor.

"Tadi kita menyampaikan ke Pak Luhut, supaya bisa didorong juga untuk market access, terutama ke Uni Eropa. Sekarang Amerika kan it's not reliable trading partner," ujarnya kepada awak media usai bertemu Ketua DEN, Jakarta, Jumat (21/2).

Devi mengingatkan, industri alas kaki bersifat labor intensive dan export oriented. Oleh karena itu, pelaku industri memerlukan kebijakan memadai untuk mengakomodir dua aspek, ketenagakerjaan dan akses perdagangan.

Dia menilai, Uni Eropa merupakan pasar ekspor terbesar nomor dua untuk industri garmen dan alas kaki, terutama sepatu buatan Indonesia.

Dia juga berpandangan, Uni Eropa lebih berkomitmen menjalankan kesepakatan kerja sama ketimbang AS yang saat ini di bawah rezim Presiden Donald Trump.

"Mereka (Uni Eropa) kebetulan second largest market untuk industri kami di alas kaki. Jadi kita menyampaikan ke Pak Luhut untuk dibantu percepatannya (akses pasar)," ucap Devi.

Devi memprediksi, apabila permintaan terhadap sepatu buatan Indonesia meningkat, maka kegiatan ekspor dan produksi industri alas kaki pun ikut naik.

Dia menilai, kondisi tersebut berdampak positif mengerek jumlah tenaga kerja. Makin banyak produksinya, maka pabrik akan makin banyak pula menyerap tenaga kerja.

"Soalnya ketika ekspornya meningkat, semoga tenaga kerjanya juga bisa ditingkatkan. Tadi Pak Luhut sangat helpful, membuka ruang untuk dialog," kata perwakilan Aprisindo itu.

Selain masalah akses pasar, Aprisindo juga mengutarakan terkait iklim investasi di industri padat karya, serta masalah perizinan usaha di Indonesia.

Devi menyampaikan, sederet industri padat karya di dalam negeri berorientasi ekspor. Namun, masih perlu dukungan, salah satunya akses pasar, agar produk lokal makin berdaya saing.

Dia tidak ingin produk sepatu buatan Indonesia kalah saing dengan Vietnam. Seperti kita tahu, negara tetangga juga sesama produsen sepatu merek besar, seperti Nike dan Adidas.

"Ya PR-nya kan banyak juga, gimana kita bisa lebih kompetitif dalam hal market access dibandingkan Vietnam dan segala macam. Kalau misalnya itu bisa dibenahi ya tentunya harapannya ke depan ya ada investasi baru, cuma untuk sekarang banyak investor yang masih wait and see," tutup Devi.

Untuk diketahui, tren ekspor alas kaki made in Indonesia (HS 64), baik ke negara AS maupun Eropa mengalami fluktuasi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor alas kaki ke AS pada 2024 mencapai us$2,39 miliar. Sementara pada 2023 hanya senilai US$1,92 miliar, lalu pada 2022 senilai US$2,61 miliar, dan pada 2020 semasa pandemi hanya US$1,38 miliar.

Kemudian, untuk 5 pasar Uni Eropa, yakni Austria, Belgia, Bulgaria, Denmark dan Prancis, ekspor alas kaki juga fluktuatif.

Adapun ekspor ke Uni Eropa pada 2024 senilai US$602,73 juta, pada 2023 senilai US$769,3 juta, pada 2022 senilai US$977,5 juta, pada 2021 senilai US$715 juta, dan pada 2020 sebesar US$597,1 juta.

BPS juga mencatat, pada Januari 2025, neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus perdagangan dengan Amerika sebesar US$1,57 miliar.

Ada 3 komoditas utama penyumbang surplus, yakni mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya (HS 85), pakaian dan aksesorisnya (HS 61), dan alas kaki (HS 64). 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar