03 Januari 2023
19:20 WIB
JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyoroti dua isu di klaster ketenagakerjaan yang berubah, dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (3/1) menuturkan, kedua isu yang berubah dari aturan di UU Cipta Kerja yaitu mengenai pengupahan dan alih daya.
“Di dalam pengupahan itu ada perubahan yang tadinya perhitungan untuk upah minimum itu didasarkan kepada inflasi, atau pertumbuhan ekonomi, diambil salah satu yang tertinggi. Tapi di dalam Perppu ini, diambil tiga parameter yaitu inflasi, pertumbuhan ekonomi dan indeks tertentu,” tuturnya.
Hariyadi menyebutkan, penentuan upah minimum berdasarkan tiga parameter itu dikhawatirkan tidak mencerminkan gambaran upah minimum, sebagai jaring pengaman sosial sebagaimana seharusnya.
“Kalau ini tidak mencerminkan jaring pengaman sosial dan ini cenderung nantinya kenaikannya seperti dulu di PP 78/2015, yang kita khawatirkan itu adalah akan terjadi makin jauhnya suplai dan demand,” ungkapnya.
Hariyadi menjelaskan, kenaikan upah minimum dengan formulasi baru di Perppu, justru akan membuat celah besar antara suplai dan permintaan tenaga kerja.
“Suplai tenaga kerjanya lajunya tinggi karena rata-rata sekarang sekitar 3 juta per tahun angkatan kerja baru, sedangkan penyerapan atau penyediaan tenaga kerjanya itu semakin menyusut,” serunya.
Menurut Hariyadi, jika tren tersebut tidak diubah, angkatan kerja baru akan kesulitanmendapatkan lapangan kerja baru.
Begitu pula mereka yang di sektor informal juga akan semakin sulit masuk ke sektor formal.
Di sisi lain, terkait isu alih daya, Apindo menyoroti soal pembatasan yang justru kontraproduktif dengan kondisi dan upaya Indonesia memanfaatkan bonus demografi.
“Ini menurut pandangan kami juga tidak tepat karena Indonesia membutuhkan lapangan kerja sangat besar. Nah, kalau upaya-upaya dan koridor akses ini dipersempit semuanya, maka kembali lagi, kita tidak punya alternatif yang cukup banyak untuk penyediaan lapangan kerja itu,” ucap Haiyadi.
Dia sendiri mengaku cukup terkejut dengan penerbitan Perppu ini, lantaran pengusaha sebagai investor dan pemberi kerja justru tidak dilibatkan di dalamnya.
Hariyadi menilai pelaku usaha sebagai salah satu pemangku kepentingan, seharusnya bisa ikut dilibatkan meski dunia usaha memahami hal tersebut dilakukan untuk menjamin kepastian berusaha.
“Memang sebaiknya semua pembahasan melibatkan stakeholders terutama yang terkait langsung. Ini kan lucu, kita yang kasih pekerjaan, kita yang ngasih gaji tapi tidak diajak ngomong. Lucu juga tiba-tiba main putus aja,” cetusnya.
Menurutnya, para pelaku usaha mengharapkan dilibatkan secara aktif dalam penyusunan aturan turunan nantinya. Aturan operasional yang akan dituangkan dalam PP, menunjukkan fleksibilitas yang diperlukan pemerintah untuk antisipasi menghadapi dinamisnya perubahan bidang ketenagakerjaan.
Pelibatan secara bermakna sebagaimana diperintahkan dalam UU Penyusunan Peraturan Perundang Undangan sangat diharapkan Apindo dalam penyusunan sejumlah PP yang diamanatkan Perppu.
Kepastian Hukum
Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja akan memberikan kepastian hukum untuk meningkatkan daya tarik investasi.
“Menjadi penting kepastian hukum untuk diadakan sehingga tentunya dengan keluarnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 ini diharapkan kepastian hukum bisa terisi, dan ini menjadi implementasi dari putusan Mahkamah Konstitusi,” kata Airlangga di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat pekan lalu.
Menurut Airlangga, Perppu tersebut juga menjadi jawaban bagi pelaku usaha yang selama ini menunggu (wait and see), keberlanjutan Undang-Undang Cipta Kerja setelah diputuskan inkonstitusional bersyarat, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVII/2020 MK
Perppu tersebut, kata Airlangga, akan menjadi instrumen kepastian hukum dan mendukung target pemerintah dalam menarik investasi sebesar Rp1.400 triliun pada 2023, serta menjaga defisit APBN 2023 di bawah 3 persen PDB.
“Tahun depan kita butuh Rp1.400 triliun. Nah, Rp1.400 triliun ini bukan angka yang biasa karena sebelumnya target APBN untuk investasi itu hanya sekitar Rp900 triliun, sehingga dengan demikian ini tantangan yang tidak mudah,” ujarnya.
Airlangga juga menjelaskan, pertimbangan pemerintahmenerbitkan Perppu tersebut karena ada kebutuhan yang mendesak untuk mengantisipasi dampak meningkatnya ketidakpastian ekonomi global pada 2023.
“Pertimbangannya adalah kebutuhan mendesak. Pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global baik yang terkait ekonomi. Kami menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, kemudian ancaman stagflasi,” kata dia.
Menurut Airlangga, beberapa pengaturan yang disempurnakan dalam Perppu 2/2022 adalah terkait dengan ketenagakerjaan, yaitu mengenai upah minimum, pekerja alih daya, sinkronisasi UU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, serta terkait hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (HKPD).
“(Perubahan lain) penyempurnaan sumber daya air dan perbaikan kesalahan typo atau rujukan pasal legal drafting, juga kesalahan lain yang nonsubstansial, yang lain seluruhnya disempurnakan sesuai dengan pembahasan dengan kementerian dan lembaga terkait dan juga sudah dikomunikasikan dengan kalangan akademisi,” kata Airlangga
Senada, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid menilai keputusan pemerintah atas Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja akan dapat memberikan kepastian hukum bagi investor dalam menanamkan modalnya.
"Dengan adanya penetapan Perppu ini, harapannya dapat memberikan kepastian hukum dan kepercayaan bagi investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia dan menciptakan lebih banyak lagi lapangan pekerjaan," ujarnya. dalam keterangan di Jakarta, Senin.
Arsjad mengatakan di tengah kondisi global yang tidak menentu seperti saat ini, banyak pelaku usaha dan investor yang masih masih menahan diri untuk melakukan investasi baru maupun ekspansi bisnis.
itu akibat banyaknya ketidakpastian yang mereka hadapi, mulai dari ketidakpastian ekonomi global hingga ketidakpastian hukum untuk berusaha dan berinvestasi di Indonesia.
Arsjad menilai, langkah pemerintah menerbitkan Perppu merupakan langkah tepat untuk mengatasi kekosongan hukum yang telah lama menjadi keluhan investor dan pelaku usaha. Kepastian hukum dinilainya sangat penting bagi kegiatan bisnis dan investasi agar dapat meningkatkan iklim investasi yang kondusif di Indonesia.