14 Juni 2025
14:15 WIB
Apindo: Hanya 7% UMKM Indonesia yang Terhubung Rantai Pasar Domestik
Jumlah UMKM yang terhubung rantai pasok global juga lebih sedikit, yakni hanya 4% saja. Secara umum, kontribusi UMKM Indonesia terhadap ekspor juga mash kalah telak ketimbang Vietnam maupun Thailand.
Penulis: Siti Nur Arifa
Editor: Khairul Kahfi
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani dalam acara Diplomat Success Challenge di Jakarta, Jumat (13/6/2025). Antara/Shofi Ayudiana
JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani mengungkap, dari 66 juta UMKM yang ada di Indonesia, baru 7% yang terhubung dengan rantai pasar domestik. Sementara baru 4% UMKM tanah air yang mampu menembus rantai nilai global.
Menurutnya, angka tersebut jauh tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Vietnam, yang telah berhasil mengintegrasikan 20% UMKM mereka ke pasar global.
“Selain itu, kontribusi UMKM terhadap ekspor nasional juga masih sangat terbatas hanya sebesar 15,7%. Kalau kita bandingkan dengan Thailand misalnya, itu bisa sampai 29%,” ucap Shinta dalam acara Diplomat Success Challenge di Jakarta, Jumat (13/6) melansir Antara.
Jika dihitung, artinya baru ada sekitar 4.620 UMKM yang terhubung dalam rantai pasar domestik, sedangkan baru sekitar 2.640 UMKM yang terhubung ke rantai pasok global.
Dia pun menyayangkan, fakta persentase keterlibatan rantai pasok baik secara nasional maupun global ini. Mengingat di 2024, UMKM memberikan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp8.573,89 triliun.
Jika jumlah keterlibatan UMKM terhadap rantai pasok baik domestik dan global dapat ditingkatkan kembali, bukan tidak mungkin angka PDB Indonesia juga akan meningkat lebih besar.
Apindo menyebut, selain disebabkan oleh minimnya koneksi ke rantai pasok global, keterbatasan akses terhadap pembiayan, baik berupa keuangan dan modal, jadi masalah utama dari hambatan fundamental yang dihadapi oleh akses integrasi UMKM.
“Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Apindo terhadap lebih dari 2.000 perusahaan pada 2024, terungkap bahwa 51% UMKM menghadapi keterbatasan akses keuangan dan modal. Proses birokratis yang rumit, biaya pinjaman yang tinggi, serta persepsi risiko yang melekat pada UMKM menjadi penghalang utama,” ujar Shinta.
Akibatnya, lebih dari 80% UMKM di Indonesia masih sangat bergantung pada pendanaan pribadi untuk memulai dan mengembangkan usaha mereka.
Selain itu, 35% UMKM juga mengeluhkan kesulitan dalam akses pasar, pemasaran, dan promosi. Ironisnya, saat ini hanya 9% UMKM yang memiliki akses ke alat produksi dan teknologi yang sesuai.
“Jadi ini mungkin juga masukan yang kami mau sampaikan ke Kementerian UMKM. Seperti yang semua sudah ketahui, yang sekarang kita sama-sama cari adalah solusinya bagaimana supaya angka-angka ini bisa diperbaiki,” sebutnya.
Menanggapi kondisi yang ada, Kementerian UMKM menyatakan siap menjadi integrator dan kolaborator dari kementerian teknis lainnya untuk meningkatkan keterlibatan UMKM dalam rantai pasok domestik maupun global.
Dalam kesempatan sama, Deputi Usaha Bidang Menengah Kementerian UMKM Bagus Rachman mengatakan, Kementerian UMKM saat ini sedang membentuk holding UMKM untuk memperkuat kemitraan rantai pasok antara UMKM dan usaha besar.
Bagus menjelaskan holding UMKM akan menjalankan fungsi utama, yaitu sebagai agregator, inkubator, pemasar dan distributor, serta jembatan ke akses pembiayaan. Dirinya menyebut, konsep ini akan diuji coba melalui 10 sektor prioritas, diawali dengan sektor kelautan dan perikanan, serta menyusul sektor pertanian.