17 Agustus 2024
11:32 WIB
Apindo: Bayar Utang dan Makan Gratis Bebani Belanja Negara 2025
Apindo menilai belanja negara menggelembung, salah satunya pembayaran utang karena scaring effect pandemi covid-19 yang membuat utang pemerintah naik. Selain itu, program populis makan gratis.
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato keterangan pemerintah atas RUU tentang APBN 2025 beserta Nota Keuangannya di Gedung Nusantara, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8/2024). Antara Foto/Dhemas Reviyanto
JAKARTA - Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani menyampaikan, pembayaran utang dan Makan Bergizi Gratis (MBG) bakal membebani kegiatan belanja negara 2025. Menurutnya, struktur RAPBN 2025 menarik untuk dicermati karena terutama ini adalah tahun pertama transisi ke pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran.
Secara garis besar, RAPBN 2025 menyebut, belanja negara mencapai Rp3.613,1 triliun; sementara struktur penerimaan perpajakan Rp2.490,9 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp505,4 triliun. Untuk menambal defisit belanja, RAPBN 2025 didesain bisa menarik utang setara dengan 2,53% Produk Domestik Bruto (PDB), kisaran Rp642,6 triliun.
Faktor yang membuat angka belanja menggelembung, salah satunya karena efek luka yang dalam atau scaring effect pandemi covid-19. Karena selama tiga tahun pandemi, negara menambah utang lebih dari Rp2.100 triliun. Dan jatuh tempo pembayaran bertahap, di 2025 nanti akan menggerus APBN sebesar Rp800,33 triliun.
“Termasuk program populis dari pemerintahan Prabowo-Gibran berupa Makan Bergizi Gratis (MBG), membutuhkan alokasi yang cukup signifikan dalam pos pengeluaran (belanja). Kondisi inilah yang diantaranya membuat belanja negara cukup meningkat,” paparnya dalam keterangan tertulis yang Validnews terima di Jakarta, Jumat (16/8).
Baca Juga: Tak Menarik, Ekonom Nilai RAPBN 2025 Hati-hati
Tak kalah berat, Ajib merasa target perpajakan tahun depan mencapai Rp2.490,9 triliun juga cukup menantang. Paling tidak ada tiga hal yang perlu dikritisi secara konstruktif atas target perpajakan sebesar itu.
Pertama, isu menaikkan tax ratio yang cukup agresif dan berpotensi kontraproduktif dengan kegiatan perekenomian. Kedua, isu kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% seperti yang tertuang dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), disinyalir akan menekan daya beli masyakat.
“Dan ketiga adalah wacana ekstensifikasi cukai, terutama untuk komoditas plastik dan Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) yang akan menambah beban dunia usaha, baik sektor korporasi dan UMKM,” terangnya.
Selanjutnya, di sektor Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) 2025 yang dipatok sebesar Rp505,4 triliun. Dia pun mendorong pemerintah untuk seharusnya lebih fokus menata BUMN agar kontribusi dividennya ke negara secara lebih maksimal, lewat efisiensi dan lebih menjalankan good corporate governance (GCG).
Tingkatkan Kontribusi BUMN
Setelah itu, dia mengingatkan pemerintah untuk lebih selektif dan prudent melaksanakan Penyertaan Modal Negara (PMN). Pasalnya, Ajib menilai capaian setoran dividen BUMN dibandingkan penyertaan modal saat ini masih belum ideal.
Data 2023, BUMN menyetor dividen sebesar Rp82,06 triliun dan kemudian ditarik dalam bentuk PMN sekitar Rp27 triliun pada 2024. Bisa dibilang, total seluruh nilai aset BUMN yang mencapai Rp10.000 triliun itu baru berkontribusi bersih kepada negara kisaran Rp55 triliun.
“(Padahal), kalau pemerintah bisa menaikkan standar angka return on asset (RoA) BUMN, maka kontribusi (dividen BUMN) terhadap negara bisa ditargetkan naik lebih signifikan,” jelasnya.
Kemudian, Ajib menyebut sisi pengadaan utang akan selalu menjadi diskusi panjang. Utamanya tentang kesehatan keuangan negara dengan rasio defisit APBN maksimal 3% dari PDB berjalan, serta pengelolaan utang yang prudent dan penuh tanggung jawab.
Baca Juga: Tim Prabowo: Defisit 2,53% Dalam RAPBN 2025 Cukup Berikan Ruang Fiskal
“Hutang negara ini adalah bentuk dari kebijakan defisit fiskal, keniscayaan sebuah negara berkembang yang ingin memacu pertumbuhan ekonominya,” ungkapnya.
Untuk itu, Apindo berharap, pemerintah ke depan harus bisa fokus dan konsisten melaksanakan APBN. Agar kebijakan anggaran bisa mencapai target jangka panjang, dengan paling tidak ke tiga hal, peningkatan kualitas SDM, hilirisasi yang memberikan nilai tambah ekonomis dan melibatkan semua stakeholder ekonomi, serta keberlanjutan infrastuktur yang menopang transformasi ekonomi.
“Hal ini sejalan dengan program Astacita presiden terpilih, Prabowo Subianto,” tekannya.
Terakhir, masyarakat punya harapan besar agar politik anggaran dan kebijakan fiskal tidak menambah beban terhadap daya beli masyarakat yang sedang cenderung turun. Sementara dunia usaha punya tiga harapan kepada pemerintah baru pelaksana APBN 2025.
Pertama, agar pemerintah lebih melibatkan sektor swasta dalam menyusun kebijakan teknis atau sejalan dengan konsep meaningful participation. Kedua, pemerintah harus menerapkan prinsip belanja berkualitas, bukan hanya asal belanja; spending better, bukan better to spending.
“Ketiga, pemerintah harus mendorong kebijakan yang pro dengan pertumbuhan dan pemerataan,” pungkasnya.