c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

16 Mei 2023

20:10 WIB

Ancaman El Nino Terhadap Data Center

Cuaca terik saat El Nino bisa mengancam keberlangsungan data center dan menyebabkan kerugian besar.

Penulis: Fitriana Monica Sari, Khairul Kahfi, Nuzulia Nur Rahma, Sakti Wibawa

Editor: Fin Harini

Ancaman El Nino Terhadap <i>Data Center</i>
Ancaman El Nino Terhadap <i>Data Center</i>
Sejumlah pipa berisi air mengalir untuk mendinginkan server data center milik Google. Dok/Google

JAKARTA – Berbagai sisi kehidupan tak bisa dipisahkan dari teknologi informasi, kini. Mulai dari urusan kesehatan, bekerja, hingga kegiatan rekreasi seperti berbelanja hingga bermain, semuanya bersinggungan dengan teknologi informasi dan internet of things.

Hal ini berkontribusi pada pertumbuhan jumlah pengguna internet global yang diperkirakan tumbuh dari 3,7 miliar pada 2018, menjadi 5 miliar pada tahun 2025. Jumlahnya bahkan diprediksi bakal meningkat. Dilansir dari Smart Water Magazine, diperkirakan 29,3 miliar perangkat bakal terhubung internet pada 2030.

Jumlah yang meraksasa ini pun perlu dukungan pusat data alias data center yang kian banyak. Asosiasi Penyelenggara Data Center Indonesia (IDPRO) memperkirakan pertumbuhan data center di Indonesia mencapai 9-10%, atau paling besar di Asia.

Dalam menyelami dunia digitalisasi ini, data center merupakan infrastruktur yang menjadi dasar kehidupan sehari-hari masyarakat. Data center bahkan disebut sebagai infrastruktur fundamental di era big data saat ini.

Pada dasarnya, data center menyediakan layanan data jarak jauh yang menjadi sumber daya komputasi dan penyimpanan terpusat. Kapasitasnya dapat menyelesaikan masalah pemrosesan dan penyimpanan data skala besar secara bersamaan untuk pengguna besar. 

Melansir dari sebuah jurnal Sciencedirect, umumnya data center merupakan infrastruktur dasar komputer dan peralatan jaringan untuk mengumpulkan, menyimpan, memproses dan mendistribusikan data dalam jumlah besar untuk berbagai aplikasi.

Dari pemrosesan dan layanan data jarak jauh inilah, sebuah perusahaan pusat data center dituntut untuk membutuhkan daya besar pula. Pertumbuhan lalu lintas data yang cepat ini juga menyebabkan peningkatan pesat  konsumsi energi sekaligus menambah emisi karbon. 

Berdasarkan penelitian WHO, penggunaan listrik data center mencapai 200 TWh pada tahun 2018, menyumbang 1% dari penggunaan listrik global dan 10% dari konsumsi energi sektor teknologi informasi dan komunikasi.

Permintaan energi diproyeksikan meningkat menjadi 3.000 TWh pada tahun 2030, sebagian karena proyeksi peningkatan pesat dalam permintaan layanan.

Perlu Sistem Pendingin Handal
Konsumsi energi data center tak hanya digunakan untuk komputasi dan komunikasi, penyimpanan data, pencahayaan, konversi daya dan elektronik. Tak kalah penting, pasokan listrik diperlukan untuk mendinginkan data center

Jika komputer dan sistem komunikasi mengambil bagian terbesar, terhitung sekitar 50% dari total konsumsi energi, sistem pendingin menyerap sekitar 40%. 

Sisanya, 10% dari total konsumsi energi digunakan untuk penyimpanan data, pencahayaan, dan sistem tenaga.

Banyaknya inti CPU yang dikemas ke dalam ruang kecil dan kepadatan server terus meningkat memerlukan konsumsi energi yang besar. Sejumlah besar energi yang digunakan ini menciptakan panas yang sangat besar yang membuat server lambat atau tidak berfungsi. 

Bak otak yang ngebul saat bekerja keras memproses segala informasi, begitulah data center yang juga menjadi panas saat bekerja.

“Kalau kekurangan pendingin ya pasti akan meleleh. Tahu sendiri, barang elektronik kalau kepanasan pasti meleleh. Dampaknya, pertama kinerja akan menurun, menghabiskan listrik lebih banyak dan terakhir crash, kebakaran,” urai ICT IDPRO, Rachmat Igen, kepada Validnews, Senin (15/5).

Ketua IDPRO Hendra Suryakusuma menguraikan lebih jauh. Kinerja data center akan terhambat jika sistem pendingin yang tidak bekerja dengan efektif. Dampaknya, user experience juga tidak berjalan dengan baik. 

Dia memberi contoh, misalnya seseorang ingin mengakses ChatGPT, namun terjadi panas berlebihan di data center karena kinerja yang sangat tinggi. Implikasinya bisa terjadi keterlambatan hingga potensi kegagalan transaksi.

Salah satunya adalah downtime, kerusakan peralatan, serangan siber, gangguan listrik dan bencana alam. Jika diambil salah satu case, yaitu permasalahan downtime atau waktu henti yang tidak direncanakan dapat menjadi masalah yang paling merugikan bagi data center.

"Karena dapat mengakibatkan hilangnya akses data dan aplikasi, serta dapat berdampak pada kehilangan pendapatan, kehilangan kepercayaan pelanggan, dan kerugian finansial yang signifikan," urainya.

Menurut laporan dari Ponemon Institute (lembaga riset independen yang berfokus pada privasi, keamanan data, dan pengelolaan risiko), biaya rata-rata downtime global adalah sekitar US$5.600 per menit atau sekitar Rp80 juta per menit dengan biaya total rata-rata sekitar US$690.000 atau sekitar Rp10 miliar per insiden downtime.  

"Oleh karena itu, penting bagi perusahaan untuk memastikan bahwa harus memelihara dengan baik untuk meminimalkan risiko downtime atau masalah lainnya dan kerugian yang terkait," imbaunya.

Karena itu, peran pendingin pada data center punya skala yang cukup besar. Persentase skala opersionalitasnya bahkan bisa mencapai 30% hingga 40%. 

Sementara jika dilihat dari aspek investasi, pendingin juga menyerap porsi yang cukup besar. 

Sebagai contoh, untuk membangun data center 1MW dengan klasifikasi tier 3 itu butuh sekitar US$10,5-11 juta.

"Itu kurang lebih ya, dan itu sudah termasuk mekanikal elektrikal dan cooling. Jadi kalau untuk cooling sendiri ini sekitar 30% dari US$11 juta dolar itu," sebutnya saat berbincang dengan Validnews, Sabtu (13/5).

Soal pendinginan, ada beberapa macam yang biasa digunakan, yakni pendingin udara, pendinginan cair atau teknologi pendinginan bebas. 

Meskipun pendinginan udara banyak digunakan di sebagian besar pusat data yang ada, dua solusi lainnya disebut telah menarik lebih banyak minat perusahaan karena efektivitas pendinginannya yang sangat baik dan efisiensi energi yang lebih tinggi.

Air Jadi Pilihan Paling Murah
Beberapa jurnal menyebutkan ada beberapa cara untuk mendinginkan data center, bergantung pada kapasitas komputer, biaya energi, ketersediaan air, beban data, dan kepadatan server. Pilihan popular di pasar ini termasuk pendingin air dan pendingin udara. 

Saat membandingkan keduanya, pendinginan udara lebih populer, tetapi pendinginan air bisa lebih hemat biaya.

Masih dari laman Climanusa, dijelaskan, udara memiliki konduktivitas panas yang buruk, yang berarti jumlah energi yang dibutuhkan untuk mendinginkan udara lebih besar dan biaya menjadi mahal.

Sementara, air memiliki kapasitas yang jauh lebih besar untuk menghilangkan panas daripada udara dan oleh karena itu dapat jauh lebih efektif untuk mendinginkan hotspot jika direkayasa dan diterapkan dengan cara yang benar. Menggunakan sistem berpendingin air versus sistem berpendingin udara dapat secara signifikan mengurangi biaya energi pendinginan.

Penggunaan air untuk mendinginkan hotspot secara lebih efektif memungkinkan untuk mengoptimalkan penggunaan energi. Metode yang sama sekaligus memberikan kemampuan untuk mengoperasikan data center dengan ketersediaan tinggi dan kepadatan tinggi untuk masa depan.

"Dalam kebanyakan skenario, pendinginan air memang dianggap sebagai metode praktik terbaik. Teknologi berpendingin air bahkan lebih efisien digunakan selama periode cuaca lebih dingin," tulisnya Climanusa dalam laman resmi.

Ketua Dewan Pengurus APJATEL Jerry Mangasas Swandy dalam perbincangan via telepon, Sabtu (13/5), menyebutkan ada banyak pilihan sistem pendingin untuk data center saat ini. 

Ada pendingin udara, sistem pendingin air, sistem pendingin bebas freon, sistem pendingin modular dan sistem pengaturan suhu pasif.

"Namun, yang masih populer di Indonesia saat ini masih menggunakan Sistem Pendingin Udara dan Air karena lebih ekonomis dan mudah diinstal," kata dia.

Beberapa teknologi yang digunakan termasuk CRAC (Computer Room Air Conditioning) dan CRAH (Computer Room Air Handler) yang dapat menangani kelembaban dan suhu ruangan secara efektif. 

Teknologi ini juga lebih efektif untuk mendinginkan ruangan yang lebih besar atau dengan kepadatan perangkat yang lebih tinggi.

Pendinginan menggunakan air juga menjadi pilihan di Amerika Serikat. Menurut para peneliti di Virginia Tech, satu dari lima pusat data yang mengambil air dari daerah aliran sungai. 

Data center tersebut membutuhkan setidaknya 300.000 galon air untuk mendinginkan dirinya sendiri. Jumlah ini setara dengan konsumsi air 100.000 rumah.

Perbandingan lainnya, raksasa teknologi Google mengonsumsi 4,3 miliar gallon air pada 2021 atau 16,25 triliun liter air. Ini berarti, rata-rata data center milik Google mengonsumsi 450.000 galon air atau 1,7 juta liter per hari.

Hendra Suryakusuma memperkirakan, satu pusat data center yang menggunakan air sebagai sistem cooling setidaknya menggunakan 20.000 galon air per jamnya.

"Biasanya anggota IDPRO punya water tank, jadi istilahnya airnya dipakai sekitar 20.000 galon atau closed loop alias muter-muter saja. Nah sumber airnya biasanya ada 2, yaitu PDAM atau PAM, atau di kota diperbolehkan kita memakai air sumur dalem/artesis," jelasnya.

Meski begitu, penggunaan air sumur, menurut Hendra membutuhkan izin yang ketat karena harus memperhatikan lingkungan sekitar. Ada persyaratan amdal yang harus dipenuhi perusahaan data center

Hal sama dibeber Rachmad Igen, yang menyebutkan umumnya data center di Indonesia menggunakan air tanah yang disaring menggunakan filter. 

“Biasanya orang menggunakan ziolit, biar mineralnya enggak ada,” imbuhnya.

Ancaman Dampak El Nino
Penggunaan air sebagai cooling system bagi perusahaan pusat data sepertinya tidak akan bisa selalu menjadi solusi dan berjalan mulus. 

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Indonesia sebelumnya mengungkapkan, setelah 3 tahun berturut-turut terjadi La Nina sejak tahun 2020, diprediksi pada tahun 2023 akan terjadi fenomena El Nino di Indonesia. 

El Nino akan memicu terjadinya penurunan curah hujan dan menciptakan kemarau kering.

Jerry Mangasas Swandy mengakui, iklim cuaca di Indonesia ini akan sangat mempengaruhi situasi data center. Menurutnya, kenaikan signifikan temperatur cuaca, serta pemanasan global membuat pengusaha khususnya data center perlu waspada.

"Kita sebagai perusahaan data center harus menyiapkan sumber daya cadangan yang cukup untuk menghadapi kemungkinan terjadinya kegagalan sistem akibat cuaca ekstrem, seperti sistem pendingin," katanya. 

Sebagai Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi, pihaknya yakin jika Indonesia nantinya akan mengalami fenomena El Nino. Akhir-akhir ini, dia merasa cuaca di Indonesia sedang mengalami kenaikan suhu yang signifikan.

Namun, Jerry memperkirakan perusahaan data center telah memiliki rencana cadangan atau mitigasi mengantisipasi situasi cuaca ekstrem akibat El Nino. 

Dia melihat, saat ini para pemain data center sudah semakin banyak menggunakan teknologi mutakhir sebagai salah satu modal menghadapi fenomena ekstrem. 

Dia juga menekankan bahwa pengelola data center harus pula memperhatikan suhu dan kelembaban udara. Hal ini, menurut pengamatannya dapat membantu meminimalkan dampak cuaca ekstrem pada operasi data center

Mitigasi yang matang bisa didapat dari pengamatan yang tajam akan faktor-faktor itu.

"Hal ini dapat membantu mendeteksi perubahan cuaca yang ekstrem dan mengambil tindakan yang sesuai," sebutnya. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar