05 Maret 2025
19:25 WIB
Analis: Delisting Saham SRIL Jadi Opsi Rasional Buat Pasar Modal
Saham perusahaan yang mengalami pailit umumnya akan berakhir delisting. Secara bisnis, nilai perusahaan sudah runtuh dan tidak lagi bisa memenuhi kewajiban sebagai perusahaan publik.
Penulis: Fitriana Monica Sari
Editor: Khairul Kahfi
Buruh berjalan keluar dari Pabrik Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (28/2/2025). Antara Foto/Mohammad Ayudha/Spt.
JAKARTA - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) membuka peluang untuk menghapus saham (delisting) PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex dari perdagangan bursa. Peluang itu buntut dari status perusahaan yang resmi dinyatakan pailit dan baru saja memutus kontrak alias PHK ribuan karyawannya.
Founder Stocknow Hendra Wardana menilai, dalam situasi tersebut, delisting saham SRIL menjadi opsi yang paling rasional untuk menjaga integritas pasar modal Indonesia.
"Bagi investor, ini menjadi pembelajaran penting bahwa dalam berinvestasi di pasar saham, analisis fundamental perusahaan dan risiko bisnis harus selalu diperhatikan," ujar Hendra kepada Validnews, Jakarta, Rabu (5/3).
Menurut Hendra, pailitnya PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex memberikan dampak besar tidak hanya bagi investor saham, tetapi juga bagi industri tekstil dalam negeri.
"Bagi industri tekstil, kasus Sritex menunjukkan perlunya kebijakan proteksi yang lebih kuat untuk menghadapi persaingan global dan memastikan keberlanjutan industri dalam negeri," imbuhnya.
Baca Juga: Sritex Pailit, BEI: Penuhi Syarat Delisting
Sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, sambungnya, kejatuhan Sritex menambah beban sektor tekstil yang sudah tertekan akibat berbagai faktor eksternal, seperti perang Rusia-Ukraina, konflik Israel-Palestina, hingga persaingan ketat dengan produk tekstil murah China.
Dari sisi regulasi, menurutnya, langkah Bursa Efek Indonesia (BEI) yang masih menunggu dokumen hukum resmi sebelum mengambil keputusan terkait status saham SRIL adalah prosedur yang wajar.
Namun, dia mengingatkan, jika melihat kondisi perusahaan yang sudah dinyatakan pailit, opsi delisting atau penghapusan saham dari bursa menjadi sesuatu yang sangat mungkin terjadi.
"Karena dalam proses kepailitan, prioritas utama adalah menyelesaikan kewajiban perusahaan kepada kreditur. Sementara pemegang saham berada di posisi terakhir dalam hal pembagian aset, jika ada sisa setelah proses likuidasi," terangnya.
Dengan kata lain, dia menyampaikan, peluang bagi investor untuk mendapatkan kembali modal investasinya hampir tidak ada.
Hendra pun menilai, delisting SRIL merupakan langkah terbaik. Menilik aturan main pasar modal, saham perusahaan yang mengalami pailit umumnya akan berakhir dengan delisting, karena nilai perusahaan secara bisnis sudah runtuh dan tidak lagi bisa memenuhi kewajiban sebagai perusahaan publik.
Dalam konteks itu, delisting SRIL dapat menghindarkan investor ritel dari risiko lebih besar dan memberikan kepastian bagi pasar.
Sedangkan untuk opsi buyback, Hendra menuturkan bahwa buyback saham oleh perusahaan yang sedang mengalami pailit sangat sulit dilakukan karena keterbatasan likuiditas.
"Setelah putusan pailit keluar, segala keputusan terkait aset dan likuidasi berada di tangan kurator yang bertanggung jawab untuk membereskan seluruh kewajiban perusahaan kepada kreditur terlebih dahulu. Jadi, opsi buyback hampir tidak mungkin dilakukan dalam kondisi saat ini," ujarnya.
Baca Juga: Komisi IX Sebut Penyelamatan Sritex Bisa Lewat Investasi Danantara
Hendra menambahkan, dampak lebih luas dari pailitnya Sritex adalah meningkatnya ketidakpastian industri tekstil. Pasalnya, Sritex selama ini memiliki peran strategis sebagai pemasok utama seragam militer, baik di dalam negeri maupun pasar ekspor.
Dengan kondisi sulit ini, beberapa kontrak pengadaan seragam bisa mengalami renegosiasi atau bahkan pembatalan oleh negara-negara yang sebelumnya mengandalkan pasokan dari Sritex.
Selain itu, lanjut dia, pemain tekstil lain yang masih bertahan kini harus menghadapi tantangan lebih berat. Terutama karena serbuan produk impor murah China yang terus menggerus daya saing industri tekstil domestik.
"Jika tidak ada langkah strategis dari pemerintah untuk melindungi industri tekstil nasional, bukan tidak mungkin perusahaan tekstil lain akan mengalami nasib serupa di masa depan," tekan Hendra.
Koordinasi BEI-OJK
Sebelumnya, Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna menyampaikan, pihaknya akan melakukan koordinasi lebih lanjut dengan OJK sehubungan dengan perubahan status dari perusahaan terbuka menjadi perusahaan tertutup, termasuk proses delisting.
Adapun saat ini, BEI masih menunggu dokumen hukum resmi atas putusan final pailit dari PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex.
“Dalam hal SRIL resmi dinyatakan pailit, Bursa akan menyampaikan laporan kepada OJK sebagaimana diatur dalam POJK 45 tahun 2024,” kata Nyoman kepada media, Selasa (4/3).
Dalam rangka upaya perlindungan investor, dia menjelaskan, Pasal 18 POJK 45 tahun 2024 mengatur bahwa prosedur perubahan status dari perusahaan terbuka menjadi perusahaan tertutup wajib disertai dengan beberapa hal.
Di antaranya mendapatkan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan melakukan pembelian kembali atas seluruh saham yang dimiliki oleh pemegang saham publik hingga jumlah pemegang saham kurang dari 50 pihak atau jumlah lain yang ditetapkan OJK.
"Terkait prosedur dan jangka waktu pelaksanaan RUPS tersebut ditetapkan oleh OJK," ujar Nyoman.
Baca Juga: Menilik Lini Bisnis Sritex
Sementara itu, pembelian kembali saham (buyback) diselesaikan dalam waktu enam bulan setelah penyampaian keterbukaan informasi mengenai pelaksanaan pembelian kembali saham. Dan dapat diperpanjang satu kali dengan jangka waktu paling lama enam bulan, dalam rangka memenuhi kondisi yang telah ditetapkan OJK.
Sekadar informasi, saham SRIL telah disuspensi oleh BEI sejak tanggal 18 Mei 2021. Dengan demikian, saat ini suspensi saham SRIL sudah berlangsung lebih dari 24 bulan atau 2 tahun.
Berdasarkan ketentuan III.1.3.3. Peraturan Bursa nomor I-N delisting atas suatu Perusahaan Tercatat dapat disebabkan salah satunya karena, Saham Perusahaan Tercatat telah mengalami Suspensi Efek, baik di Pasar Reguler dan Pasar Tunai, dan/atau di seluruh Pasar, paling kurang selama 24 bulan terakhir.
Sementara itu, berdasarkan informasi yang dilampirkan BEI, terpantau masyarakat yang masih menggenggam saham SRIL ada sebanyak 8.158.734.000 lembar saham atau setara dengan 39,89%. Jumlah ini terbilang besar dan merupakan kedua terbesar sebagai pemegang saham SRIL.
Adapun, saham terbesar SRIL dipegang oleh PT Huddleston Indonesia, yang masih menggenggam sebanyak 12.072.841.076 lembar saham atau setara dengan 59,03%.