05 November 2025
20:47 WIB
Alarm Ekonomi RI! Pertumbuhan Geser ke Jasa, Sektor Padat Karya Terancam
Penulis: Erlinda Puspita
Ilustrasi - Pekerja menyelesaikan produksi pakaian di kawasan Sentra Industri Rajut Binong Jati, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (14/6/2025). Antara Foto/Novrian Arbi
JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menyoroti pergeseran sumber pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang semula mengacu pada sektor manufaktur padat karya atau sektor premier, beralih ke sektor jasa dan industri padat modal atau industri tersier.
Menurutnya, fenomena tersebut mesti jadi alarm pemerintah, lantaran membelakangi target pemerintah yang menginginkan peningkatan investasi dan mendorong terbukanya banyak lapangan pekerjaan dalam menopang perekonomian.
“Dulu Indonesia sebenarnya masuk ke sektor premier seperti pengolahan, industri manufaktur. Sekarang kita melihat kualitas pertumbuhan sangat tergantung pada sektor pendorongnya yang bergeser ke sektor jasa dan industri padat modal,” ucap Shinta dalam agenda 'Economic Outlook 2026' di Jakarta, Rabu (5/11).
Baca Juga: Pemerintah Sayangkan Sektor Manufaktur RI Terus Merosot
Shinta menekankan, pemerintah harus segera menyadari pergeseran ini. Apalagi, dia mengungkapkan, dominasi pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025 berasal dari sektor jasa lainnya yang tembus 11,3%, jasa perusahaan 9,3%, serta transportasi dan pergudangan 8,5%.
Pergeseran sektor sumber pertumbuhan ekonomi juga terlihat pada arus investasi asing yang masuk. Tercatat, investasi asing pada kuartal tersebut terkonsentrasi pada mesin dan peralatan yang tumbuh di 28,8%, dan investasi pertambangan 10%.
“Ini menunjukkan fokus yang kuat pada industri berbasis sumber daya dan rantai pasok industri berat,” imbuhnya.
Baca Juga: Kontribusi Manufaktur Terhadap PDB Harus Capai 25% Untuk PE 8% di 2029
Tak hanya itu, Shinta juga memaparkan kondisi pertumbuhan sektor manufaktur nonmigas kuartal II/2025 yang menunjukkan kenaikan drastis pada mesin dan peralatan hingga 18,75%, metal tumbuh hingga 14,91%, dan kimia serta farmasi tumbuh 9,39%.
Sekali lagi, dia menggarisbawahi, capaian pertumbuhan tersebut berbeda jauh dari sektor padat karya seperti tekstil dan apparel, serta sektor furnitur yang padat karya.
“Sektor padat karya seperti tekstil itu hanya tumbuh 4,3%; furnitur bahkan mengalami kontraksi (pertumbuhan -3,71%),” tegasnya.
Baca Juga: INDEF: Pembukaan Lapangan Pekerjaan Mendesak
Dia mewanti-wanti, fenomena pergeseran sektor sumber pertumbuhan ekonomi ini dapat merambat pada jumlah tenaga kerja informal di Indonesia yang berpotensi naik. Karenanya, pemerintah patut waspada.
Selama ini, sektor manufaktur padat karya mampu menyerap jumlah tenaga kerja formal dalam jumlah besar, sekitar 61%. Serapan ini jauh lebih tinggi dibandingkan pertanian yang hanya menyerap tenaga formal 12%, akomodasi dan makanan sekitar 29%.
Baca Juga: Ekonom: Gejala Deindustrialisasi Dini Makin Kental 10 Tahun Terakhir
Lebih lanjut, Shinta menjelaskan, pergeseran ini terjadi lantaran kondisi deindustrialisasi prematur alias kontribusi manufaktur terhadap PDB yang persisten menurun.
“Ini yang saya rasa harus kita lihat, selama satu dekade terakhir, 9 dari 15 subsektor manufaktur itu justru menyusut. Ini harus menjadi perhatian, dan kelihatannya Kementerian Perindustrian sekarang sudah mulai menggojlok gimana caranya supaya dia bisa naik lagi kontribusinya,” tandasnya.