06 Maret 2023
14:32 WIB
JAKARTA - Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan dinilai membawa potensi sekaligus ancaman siber bagi bisnis di Indonesia yang menggunakan teknologi tersebut. Pasalnya, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk cukup besar dan sekaligus berada di tengah perkembangan digital yang sangat pesat.
"AI, seperti ChatGPT, menunjukkan kemungkinan terobosan dan manfaat luar biasa yang dapat dibawanya ke semua industri dan fungsi bisnis. Namun, statistik kami untuk Indonesia tahun lalu menegaskan bahwa adopsi teknologi canggih harus terus disertai dengan antisipasi dan respons perusahaan yang tepat terhadap serangan siber," kata Manajer Umum untuk Kaspersky di Asia Tenggara Yeo Siang Tiong dalam siaran pers, Senin (6/3).
Dia menyebutkan, penggunaan teknologi AI bisa dirasakan dalam kegiatan sehari-hari, misalnya jam tangan pintar yang bisa menghitung detak jantung pengguna sampai mobil swakemudi, hingga gym dari rumah.
Kecerdasan buatan (AI) adalah salah satu teknologi yang paling banyak dibicarakan saat ini dalam lanskap bisnis di tanah air. Pemerintah Indonesia sendiri turut mendukung kehadirannya melalui penerapan langkah-langkah strategis demi menciptakan pertumbuhan yang inklusif dan kemajuan yang cepat.
Bahkan, Indonesia diproyeksikan menjadi pemimpin terdepan dalam adopsi Artificial Intelligence (AI) di ASEAN pada 2030 dan menjadi negara maju pada 2045. Di sisi lain, prediksi konsumen Kaspersky untuk tahun 2023 mengungkapkan, teknologi inovatif mulai dari Virtual Reality (VR), Augmented Reality (AR), antarmuka suara, dan otomatisasi proses (termasuk robotisasi komunikasi) hingga pengujian dan penilaian yang mendukung AI, akan memicu peningkatan serangan siber di tahun ini.
Oleh karena itu, inovasi teknologi yang cepat, sistem yang kompleks, dan berbagi data yang semakin terhubung memungkinkan risiko upaya siber menjadi lebih terorganisir dan tersebar luas di dalam negeri.
Misalnya, data terbaru Kaspersky menunjukkan solusi perusahaan telah memblokir sebanyak 41.039.452 ancaman online yang menyasar pengguna di Indonesia selama periode Januari hingga Desember 2022.
Ini merupakan penurunan sebesar 4,52% dibandingkan 42.983.721 upaya pada periode yang sama di tahun 2021. Hal ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-68 secara global dalam hal bahaya yang terkait dengan berselancar di web.
Dalam hal ancaman lokal, hampir setengah (45%) pengguna Kaspersky di negara tersebut menjadi sasaran jenis ancaman ini. Sebanyak 56.463.262 serangan offline diblokir dari Januari hingga Desember 2022 di Indonesia.
Angka ini menurun 24,52% dibandingkan periode yang sama tahun 2021 dengan 74.803.899 insiden lokal pada komputer peserta KSN di Indonesia. Hal ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-64 secara global dalam hal ancaman lokal.
Statistik infeksi lokal untuk komputer pengguna merupakan indikator yang sangat penting. Worm dan virus file menyumbang atas sebagian besar insiden tersebut. Data ini menunjukkan seberapa sering pengguna diserang oleh penyebaran malware melalui drive USB yang dapat dilepas, CD dan DVD, dan metode offline lainnya.

Menggantikan Peran Manusia
sebelumnya, Pengamat Budaya dan Komunikasi Digital dari Universitas Indonesia Firman Kurniawan menilai tidak ada pekerjaan yang aman dari ancaman teknologi kecerdasan buat (AI). Namun hal itu bukan berarti AI bisa menggantikan peran manusia sepenuhnya.
"Kata yang tepat untuk keadaan ini, tidak ada satu pun pekerjaan yang aman dari terkaman AI," kata Firman seperti dikutip Antara.
Firman menuturkan, teknologi kecerdasan buatan saat ini kian perkasa. Terbaru, layanan chatbot besutan OpenAI bernama ChatGPT, sukses menjadi sorotan lantaran bisa melakukan berbagai pekerjaan yang sebelumnya dilakukan manusia. Mulai dari membuat puisi, menyusun pidato, menulis, hingga menjelaskan sebuah operasi matematika.
Keperkasaan baru ChatGPT dinilai telah menimbulkan kekhawatiran lantaran kemampuannya bisa menggantikan kerja manusia. Bukan hanya kerja rutin, tetapi juga kerja yang membutuhkan emosi dan kreativitas, termasuk kerja-kerja yang baru hadir seiring maraknya teknologi digital.
Namun, menurut Firman, teknologi AI tidak mungkin akan sepenuhnya sempurna. Kualitas AI tidak mungkin lepas dari peran manusia. Dia lalu mencontohkan tentang sebuah chatbot buatan Microsoft bernama Tay. Tay menjelma menjadi mesin yang rasis dan kasar lantaran dalam proses mencapai fungsinya, data yang diumpankan mengandung hal-hal buruk tersebut.
Berkaca dari hal itu, dapat diartikan bahwa kesempurnaan AI bergantung pada kehendak manusia.
Firman percaya, manusia memiliki kualitas yang berbeda dari mesin berbasis AI. Kemampuan AI dapat menyajikan hasil dengan cepat, akurat, dan selalu rasional, namun tidak pernah mempunyai intuisi, inisiasi, emosi, atau sensitivitas terhadap budaya.
AI juga tidak mampu membedakan konteks. Teknologi tersebut mengerjakan pekerjaannya dengan cara yang sama, apapun keadaan ruang dan waktunya.
Sebagai contoh, AI pada kamera pengawas pelanggaran lalu lintas elektronik atau e-tilang tidak akan mampu membedakan antara mobil yang menerobos jalur Transjakarta lantaran mengantar penumpang darurat atau pelanggar yang menghindari kemacetan. Keduanya sama-sama akan dibaca sebagai pelanggaran.
"Justru kemampuan macam itulah yang jadi milik manusia. Membuat manusia mampu melakukan pertimbangan yang kontekstual," kata dia.
Firman menambahkan, AI berguna dalam organisasi yang bersifat rutin. AI tidak mengenal lelah. Dia akan tetap bekerja selama terus diumpan data. Keberadaannya dinilai sesuai untuk kerja dalam tugas-tugas tingkat rendah yang berulang, juga kerja yang telah tersistematisasi.
"Hal-hal macam ini kadang membuat manusia bosan melakukannya. Bahkan gagal menyelesaikannya. Jika demikian jelas perbedaannya, mengapa tidak memetakan peran saja, daripada terus khawatir," ujar dia.