c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

17 Desember 2022

18:00 WIB

Agar Warga Tak Cari Sehat Di Negeri Tetangga

Meski SDM dan fasilitas medis cukup mumpuni, masih ada PR besar untuk pemangku kepentingan untuk mewujudkan wisata medis.

Penulis: Fitriana Monica Sari, Khairul Kahfi, Nuzulia Nur Rahma

Editor: Fin Harini

Agar Warga Tak Cari Sehat Di Negeri Tetangga
Agar Warga Tak Cari Sehat Di Negeri Tetangga
Petugas melakukan simulasi tindakan operasi jantung saat peresmian Rumah Sakit Otak dan Jantung Pertamina Royal Biringkanayya di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (30/3/2022). Antara Foto/Abriawan Abhe

JAKARTA - Pertengahan 2012 lalu, Niken Kurniasih (45) kerap merasa sakit perut. Gejala yang dirasa mirip maag, mulai dari mual, reflux asam, dan nyeri. 

Dia meyakini tak ada yang serius dengan penyakit itu. NIken hanya mengandalkan obat maag yang dijual bebas. 

Seiring waktu berlalu, nyatanya sakit perut tak kunjung mereda. Gejala yang sama  justru makin sering datang. 

Hingga suatu hari, penyakitnya kambuh saat berada di kantor. Tak hanya nyeri, dia juga muntah hebat.

Kondisi ini menyebabkannya lemas karena dehidrasi. Koleganya pun memutuskan untuk melarikan Niken ke rumah sakit. 

Jauh dari perkiraan semula, pemeriksaan dokter menyatakan Niken menderita batu empedu. Kantong empedu telah rusak dan harus segera menjalani operasi pengangkatan. 

Was-was tentu saja ada di benaknya. Meski dokter menyebutkan prosedur aman, Niken enggan mengiyakan anjuran dokter. 

"Takut aja waktu itu pas disuruh operasi," akunya saat menceritakan pengalaman kepada Validnews, Jumat (16/12). 

Berusaha mencari second opinion, keesokan harinya Niken terbang ke Singapura. Rumah Sakit Mount Elizabeth, yang dia tuju. 

Pilihannya didasari dengan banyak testimoni dari kolega, bahwa rumah sakit di negeri tetangga itu punya layanan lebih mumpuni.

Sampai di Mount Elizabeth, dokter menyarankan hal yang sama. Operasi pengangkatan empedu harus segera dilakukan, lantaran kondisi radang yang sudah parah dan empedu tak lagi bisa diselamatkan.

Kali ini, dia langsung memberi persetujuan. Laparoskopi dijalankan. Sehari kemudian, dia sudah keluar dari rumah sakit. 

“Teliti banget dokternya. Sebelum operasi, dokter anestesi datang nanya alergi segala macam. Pemulihannya cepet, hari berikutnya saya sudah jalan di Orchard,” timpalnya.

Hal yang sama juga dirasakan oleh Ferina (28). Mahasiswi asal Indonesia yang tinggal di Jerman ini bercerita, pengalamannya mengantar sanak saudara berobat di Indonesia terkadang buat dia pusing tujuh keliling. 

Pasalnya, selain antrean yang panjang dan lama, pelayanan dari tenaga kesehatan menurutnya harus ditingkatkan. 

"Padahal udah bikin janji. Jadi ngapain bikin janji kalau ujung-ujungnya nunggu lama? Sama keramahan petugasnya yang perlu dievaluasi lagi karena suka jutek pas ngelayanin," tuturnya.

Bertahun tahun di luar negeri membuatnya melihat ada perbedaan kontras soal pelayanan rumah sakit di dalam dan luar negri. 

Dia bercerita di Jerman, pengalamannya berobat cukup memuaskan. Karena selain pelayanan yang ramah, biaya yang ditanggung tidak memberatkan dirinya.

"Karena di sini kalau kenapa-kenapa, bukan diminta duit dulu baru ditanganin, tapi diminta kartu asuransi yang memang tiap individu wajib punya. Jadi tagihan itu nanti datang ke rumah per post. Tapi, sejauh ini kebanyakan semua full dicover sama asuransi. Contoh teteh pernah operasi usus buntu dan endoskopi, itu gak bayar sama sekali," sambungnya.

Tak ingin devisa yang dikumpulkan bocor untuk urusan berobat, pemerintah mengeluarkan ide menciptakan layanan medis yang berkualitas. Ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan mereka yang tak segan merogoh kocek dalam-dalam untuk berobat ke luar negeri, seperti Niken dan Ferina.  

Syukur-syukur, layanan ini bisa menarik minat warga mancanegara untuk berobat di Indonesia. 

Kementerian Kesehatan menerbitkan rambu-rambu layanan unggulan wisata medis dalam Permenkes 76/2015. Tak hanya menetapkan definisi wisata medis, permenkes juga menyebutkan syarat sebuah RS menyelenggarakan layanan ini, berikut ketentuan evaluasinya. 

Medis' dan 'Wisata' merupakan kombinasi istilah dengan target utama adalah pasien yang berkunjung ke daerah atau negara lain untuk berobat. 

Oleh karena itu, industri pariwisata medis diarahkan pada upaya untuk memenuhi keinginan masyarakat akan kesehatan yang lebih baik dengan perawatan medis yang berkualitas.

Untuk mewujudkan layanan wisata medis, Kemenparekraf/Baparekraf bersama Kemenkes  telah menandatangani Nota Kesepahaman dan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dalam rangka Pengembangan Pariwisata Kesehatan pada 2017, dan telah diperbaharui pada tahun 2020.  

Pada 2018, Kemenkes RI telah meluncurkan Katalog Wisata Kesehatan yang membahas Destinasi Medis Unggulan Indonesia dengan mengangkat beberapa rumah sakit sebagai salah satu  pokok bahasan.  

Pemerintan lantas menetapkan 15 rumah  sakit sebagai proyek percontohan (pilot project) untuk Wisata Medis Indonesia yang tersebar di Sumatra Utara, DKI Jakarta & Banten, dan Bali. 

"Dalam perkembangannya, semakin banyak rumah sakit dari beberapa daerah di Indonesia ingin menjadi Rumah Sakit Wisata Medis. Kemenparekraf/Baparekraf RI sangat menganjurkan agar setiap daerah dapat secara proaktif untuk mengajukan fasilitas layanan kesehatannya (Rumah Sakit) untuk dapat diajukan sebagai Rumah Sakit Wisata Medis," urai Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggara Kegiatan (Events) Kemenparekraf, Rizki Handayani Mustafa kepada Validnews, Rabu (14/12).

Rizki optimis pengembangan wisata kesehatan di Indonesia dapat menjadi tuan rumah bagi wisatawan domestik yang membutuhkan layanan kesehatan, sekaligus mendorong Indonesia menjadi destinasi Wisata Kesehatan bagi wisatawan mancanegara. Namun harapan ini harus mengikusertakan seluruh pihak 

Berdasarkan Permenkes No. 76 Tahun 2015, setiap rumah sakit yang akan menyelenggarakan pelayanan wisata medis harus mendapatkan penetapan dari Menteri Kesehatan RI. 

Permohonan penetapan dapat diajukan  langsung kepada Kemenkes RI, dan akan ditindaklanjuti dengan assessment dan verifikasi untuk ditetapkan sebagai Rumah Sakit Wisata Medis.

Wacana Pelebaran Wisata Medis
Di Indonesia sendiri, diuungkapkan Rizki,  ada beberapa daerah yang proaktif membentuk badan entitas kolaborasi untuk wisata medis. Antara lain Medan dengan Medan Medical Tourism Board (MMTB), Bali dengan Bali Medical Tourism Association (BMTA), Sulawesi Utara dengan North Sulawesi Health Tourism (NSHT) serta Riau dengan Riau Health Tourism Board yang baru didiskusikan pada November lalu. Inisiatif ini untuk mencegah banyaknya orang Indonesia untuk melakukan pengobatan ke Melaka–Malaysia.

Daerah yang saat ini juga tengah mengejar pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Bidang Kesehatan selain Bali adalah Batam yang sudah mengajukan persetujuan ke Dewan KEK Nasional. 

Adapun KEK Kesehatan di Sanur–Bali, diharapkan dapat menjadi contoh untuk kemudian dapat dilanjutkan untuk dibangun di Sumatra Utara dan DKI Jakarta.

Berdasarkan kajian yang dilakukan Roland Berger (2020), terdapat delapan layanan unggulan paling diminati oleh pasien orang Indonesia di luar negeri. 

Kedelapan itu adalah pelayanan kosmedik, onkologi, ortopedi, perawatan gigi, operasi tulang belakang, optalmologi, operasi penurunan berat badan, dan kardiologi.

Membandingkan permintaan layanan kesehatan yang paling diminati dengan ketersediaan produk, Rizki mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki fasilitas layanan kesehatan (Rumah Sakit/Klinik/Puskesmas/Griya Sehat) yang secara eksisting telah ada, berkembang. 

Di tanah air juga sudah ada 8 layanan unggulan kesehatan yang paling dicari tersebut. Bahkan, lengkap dengan layanan untuk Medical Check Up, bahkan Center of Excellent (COE) untuk beberapa penyakit dengan fasilitas prima dan lengkap. 

Indonesia, dipersepri Rizki dan koleganya, punya keunggulan lebih dari negara lain, termasuk tetangga. Ada keberagaman bumi (geodiversity), keberagaman hayati (biodiversity) dan keberagaman etnik (ethno-cultural diversity), serta pengetahuan berbasis kearifan lokal yang mendukung aspek kesehatan, mulai dari pemeliharaan sampai penyembuhan.   

Siapkah Indonesia?
Berbeda dengan optimisme pemerintah, Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra justru mempertanyakan kesiapan Indonesia menjadi tujuan wisata medis. 

Menurutnya, terdapat hal yang membedakan layanan di luar negeri seperti misalnya Singapura dengan Indonesia, yaitu adalah sifat patience centerness health sevices.

Dia menuturkan beberapa pusat kesehatan di luar negeri sangat memperhatikan pasien. Berbeda dengan Indonesia yang mengharuskan pasien bergerak kesana kemari, mulai dari mendaftar  konsultasi, pemeriksaan lab atau radiologi. 

Dia menceritakan, di negara yang memang telah menjadi tujuan wisata medis, dokter, perawat hingga tenaga kesehatan yang bergerak membantu dan memanjakan pasien.

"Pada akhirnya orang itu diperhatikan, bahkan dokter bisa langsung menjemput dan mendampingi sejak dari depan RS. Itu yang membuat kepuasan layanan kesehatan betul betul terasa di luar negeri. Kalau di Indonesia, kita terlalu fragmented. Aspek wisata kesehatan itu bukan hanya berkaitan dengan tempat wisatanya, tapi berkaitan keramahtamahan, dan kecepatan layanan dan ketanggapan. Itu prinsip," jelasnya saat berbincang dengan Validnews, Kamis (15/12).

Dia menilai, tiga daerah yang dicanangkan sebagai pilot projek wisata medis di Indonesia tidak dapat diragukan. Ada intensitas bisnis yang luar biasa dari dalam dan luar negeri, terutama Jakarta dan Bali yang sering menjadi tujuan pariwisata dan penerbangan Internasional.

Meski begitu, dia menilai ada hal yang harus diperbaiki selain kelengkapan peralatan medis serta keahlian sumber daya manusia. Dia mencermatfaktor keramahan pelayan medis dan elemen penyertanya, kurang mendukung.  

Pengamat kebudayaan dan pariwisata dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Chusmeru punya persepsi senada. Tantangan pengembangan wisata medis datang dari sejauh mana pemerintah dan pengusaha industri pariwisata secara serius melakukan diversifikasi dan inovasi produk wisatanya dengan menjadikan wisata medis sebagai bentuk produk dan layanan wisata. 

Pasca pandemi covid-19, wisatawan cenderung menyukai destinasi wisata yang menyuguhkan keindahan, kesejukan, kebugaran, dan kesehatan. Indonesia dinilai memiliki banyak sekali potensi wisata medis yang ada di berbagai daerah. 

Sayangnya potensi itu sejauh ini belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai produk wisata yang memiliki nilai ekonomis bagi masyarakat setempat. 

"Wisata medis belum optimal dikembangkan pemerintah sebagai produk wisata di Indonesia. Pengembangan beberapa destinasi super prioritas di Tanah Air lebih fokus pada wisata alam," katanya dalam perbincangan dengan Validnews, Jumat (16/12). 

Pembenahan Wisata Medis
Chusmeru mencermati beberapa hal yang harus dibenahi pemerintah terkait pengembangan wisata medis di Indonesia. Pemerintah daerah perlu melakukan terobosan baru dalam merancang produk wisatanya. 

Jika wisata medis atau kebugaran ingin dijadikan bagian dari paket wisata daerah, perlu keterlibatan berbagai pemangku kepentingan dalam mengembangkannya. 

"Pihak yang perlu dilibatkan antara lain kalangan medis (kedokteran), terapis, dan praktisi pengobatan tradisional di daerah. Hal ini diperlukan untuk memberikan keyakinan kepada wisatawan terkait kredibilitas daya tarik wisata medis ini," ujarnya. 

Kolaborasi dengan biro perjalanan juga perlu dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri, untuk dapat menjaring wisatawan. Jika memungkinkan dapat dilakukan eksebisi maupun festival wisata medis di mancanegara. 

Yang tak kalah penting adalah keterlibatan masyarakat dalam memperkenalkan wisata medis. Masyarakat setempat lah yang mengetahui tentang sejarah, filosofi, nilai, dan manfaat wisata medis yang ada di daerah. 

Hermawan juga punya penilian selaras. Dia menekankan, harus ada terobosan Rumah Sakit yang berubah. 

Menurutnya, perlu ada percontohan atau pilot project sebagai 'medical tourism'. Yang dipentingkan, juga sama, yakni pelayanan yang prima dan ramah.

"Jangan sampai health tourism yang dimaksud hanya ada RS tapi pelayanan sama saja, atau tiba tiba di sampingnya ada tempat pariwisata dan itu yang disebut health tourism, padahal gak seperti itu. Bahwa ada tempat wisata, shopping, budaya di sekitarnya, itu value added,” cetusnya. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar