c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

28 Juli 2022

21:00 WIB

Agar Sayuran Tak Jadi Biang Keladi Inflasi

Cuaca menjadi aral produksi beragam sayuran. Penanamannya oleh keluarga menjadi salah satu strategi.

Penulis: Yoseph Krishna, Fitriana Monica Sari, Khairul Kahfi, Wiwie Heriyani

Editor: Fin Harini

Agar Sayuran Tak Jadi Biang Keladi Inflasi
Agar Sayuran Tak Jadi Biang Keladi Inflasi
Ilustrasi lahan pertanian di Indonesia. Dok Envato

JAKARTA – Harga sayuran yang melonjak sejak Juni tak urung membuat banyak menteri keuangan rumah tangga alias para ibu pusing tujuh keliling. Bagaimana tidak, pengeluaran jadi naik berlipat, sedangkan penghasilan tetap. 

“Kapan tuh sempat beli kacang panjang, harganya dua kali lipat. Ini mah bukan naik, tapi ganti harga,” kata Reni (41) saat bertemu Validnews di bilangan Cinere, Jakarta Selatan.   

Semula, ia menduga harga naik karena akan ada hari raya Iduladha. Maklum, hari raya dengan berbagai kemeriahannya berbuntut pada kenaikan harga. Nyatanya, ibu rumah tangga dengan dua anak ini mengaku tak paham dengan kenaikan harga kali ini. 

“Harga sudah mulai turun, tapi banyak yang masih mahal. Bawang merah tuh yang bikin kaget,” imbuhnya.

Baca juga: Sayuran Penyumbang Inflasi

Reni bercerita, dulu sepekan dia menghabiskan dana Rp250-350 ribu untuk belanja sayur dan lauk. Kini ia harus merogoh kocek lebih dalam, sekitar Rp400-450 ribu untuk membeli bahan dengan jenis dan kuantitas yang sama.

Demi menghemat, kini ia mewajibkan kedua putri dan suaminya membawa bekal dari rumah. Selain sudah pasti rasa cocok dengan lidah, memasak sendiri dianggap lebih ekonomis.  

Tak jauh berbeda, ibu rumah tangga bernama Ani (49) mengaku cukup pusing mengatur anggaran belanja keluarganya. Ibu dari dua anak ini mengaku harga paket sayur sop dan sayur asem telah mengalami kenaikan Rp500 di salah satu pasar tradisional di daerah Depok. Sementara itu, untuk di warung bisa mengalami kenaikan berkisar Rp1.000 hingga Rp2.000.

"Tahun lalu beli paket sayur sop Rp2.500 kalau di pasar. Sekarang naik jadi Rp3.000. Kalau di warung, lebih mahal lagi. Dulu Rp3.000 hingga Rp4.000, sekarang bisa naik jadi Rp5.000. Sama halnya dengan sayur asem," kata Ani saat berbincang dengan Validnews, Kamis (27/7).

Asal tahu saja, paket sayur sop ini biasanya berisi wortel, kol, kentang, tomat, buncis, daun bawang, dan daun seledri. Sementara untuk paket sayur asem yakni berisi pepaya muda, nangka muda, labu siam, kacang panjang, jagung, daun melinjo, asam buah, dan kacang tanah. Untuk bumbu racik, akan dikenakan biaya tambahan.

Baca juga: Garut Suplai Sayuran Untuk Pasar Nasional

Selain paket sayur, harga cabai dan bawang yang terus melonjak juga dikeluhkan oleh Ani. Pasalnya, cabai dan bawang menjadi bumbu dapur wajib di tiap masakan orang Indonesia. Sehingga, rasanya kurang "afdol" jika tanpa keduanya.

Berdasarkan pantauan Validnews yang mengutip data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan, cabai merah besar mengalami kenaikan sebesar 112,50% jika dibandingkan tahun sebelumnya (year on year/yoy). Cabai merah besar pada 27 Juli 2021 Rp33.600 per kg, sedangkan pada 27 Juli 2022 Rp71.400 per kg.

Kemudian, cabai merah keriting pada 27 Juli 2021 Rp35.300 per kg menjadi Rp70.800 per kg pada 27 Juli 2022, atau naik sebesar 100,57%. Lalu, cabai rawit merah pada 27 Juli 2021 Rp65.300 per kg menjadi Rp74.200 per kg pada 27 Juli 2022, atau naik sebesar 13,63%. 

Selanjutnya disusul bawang merah pada 27 Juli 2021 Rp33.800 per kg menjadi Rp55.300 per kg pada 27 Juli 2022, atau naik sebesar 63,61%. 

Sementara itu, bawang putih honan justru mengalami penurunan sebesar 4,47%. Pada 27 Juli 2021, harga Rp29.100 per kg menjadi Rp27.800 per kg pada 27 Juli 2022.

Baca juga: Macam Manfaat Buah dan Sayur

Daya Beli Menurun

Kenaikan sayur-sayuran mempunyai dampak pada inflasi. Bahkan, cabai dan bawang disebut menjadi penyumbang utama inflasi Juni ini. Tercatat, pada Juni 2022, terdapat beberapa komoditas yang mengalami kenaikan harga, salah satunya adalah cabai merah memberikan andil inflasi 0,24%, cabai rawit 0,10%, dan bawang merah 0,08%. 

Selain itu ada tomat dengan sumbangsih ke inflasi 0,03%. Lalu ada kangkong, kol putih/kubis, cabai hijau, sawi putih/pecay dengan sumbangan masing-masing 0,01%.

Begitu pula pada minggu ketiga di bulan Juli 2022. Komoditas utama penyumbang inflasi Juli 2022 sampai dengan minggu ketiga, yaitu masih berasal dari cabai merah sebesar 0,19% (mtm), bawang merah 0,12% (mtm), dan cabai rawit 0,05% (mtm). Diikuti tomat dengan sumbangan 0,02%.

BPS dalam Statistik Hortikultura 2021 menyebutkan terdapat komoditas sayuran yang memiliki kontribusi besar pada produksi hortikultura, di saat yang sama punya sumbangan besar pada inflasi. Jenis sayuran itu adalah bawang merah, bawang putih, cabai besar, cabai rawit, kentang, tomat dan wortel.

Daya beli masyarakat terpantau kian menurun imbas dari kenaikan harga cabai merah dan cabai rawit yang masih tinggi dari harga normal. Ketua Umum Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI), Abdul Hamid kepada Validnews, Rabu (27/7) menyebutkan ibu-ibu yang biasanya beli cabai setengah kilogram, kini jadi beli seperempat atau satu ons.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Aditya Alta kepada Validnews, Selasa (26/7) pun juga sependapat. Dia menilai kenaikan harga pangan dan kebijakan ekonomi lainnya tentu menambah beban masyarakat. 

Oleh karena itu, Aditya menyebutkan perlunya transformasi sistem pangan menuju sistem yang terintegrasi, baik dari sisi on farm dan perdagangannya. Hal itu untuk menjaga keterjangkauan pangan masyarakat.

Sekretaris Jenderal Induk Koperasi Pedagang Pasar (INKOPPAS) menambahkan, daya beli masih lemah lantaran bulan Juli-Agustus merupakan musim anak masuk sekolah. 

Baca juga: Lebih Besar Denda Ketimbang Setoran

Dengan begitu, banyak orang tua yang lebih fokus menyiapkan uang untuk membeli kebutuhan anak. Mulai dari pakaian, buku pelajaran, hingga membayar uang gedung atau uang pangkal sekolah.

Selain fokus untuk sekolah anak, sebagian besar masyarakat juga kerap terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini merupakan dampak dari pandemi covid-19 yang masih terus berlanjut.

“Habis PHK mungkin masih ada sebagian yang dapat pesangon walaupun sedikit. Nah, abis sekarang, apa yang dimakan? Jadi banyak dampak dari pandemi, salah satunya sisi ekonomi yang berat,” tuturnya.

Distorsi Cuaca

Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian (Kementan), Prihasto Setyanto mengungkapkan, kenaikan harga lebih karena anomali cuaca. 

Selama 10 tahun terakhir, musim pada Juli seharusnya adalah musim kemarau. Namun, hingga kini, petani masih menghadapi curah hujan yang tinggi. Hal ini tentunya berimbas pada kemunduran musim tanam.

"Petani tetap tidak mungkin memaksakan tanam kalau cuacanya masih hujan. Tapi nanti waktunya musim tanam, ya kita bantu benih," kata Prihasto kepada Validnews melalui sambungan telepon, Rabu (20/7).

Ia juga mengakui bahwa petani hortikultura Indonesia sudah cukup tangguh, hebat, dan kreatif. Banyak petani yang sudah biasa membuat pupuk organik sendiri. Selain itu, lahan hortikultura juga tidak luas, berbeda dengan tanaman pangan.

Berdasarkan data lima tahun terakhir, Prihasto mengklaim bahwa produksi sayuran tercukupi. Terlebih, selama lima tahun terakhir, juga tidak ada gejolak yang berarti. Sementara untuk gejolak saat ini, hanya karena anomali cuaca.

Baca juga: Panen Sayur Di Atas Atap Kantor Wali Kota

"Data statistik kita menunjukkan angka untuk kebutuhan setahun itu cukup. Cuma memang terdistorsi di bulanannya, ya karena ada anomali cuaca. Tapi kalau secara statistik angka 2021, angka tetap BPS, produksi kita bahkan dengan kebutuhannya masih lebih. Angka tahunannya ya, kan angka tahunan dengan bulanan berbeda," jelasnya.

Persoalan cuaca ini menurut Prihasto masih menjadi tantangan ke depan. Cuaca yang tidak menentu hujan-panas, akan berdampak pada munculnya hama penyakit. Sehingga, mengakibatkan gagal panen. 

Faktor Lain
Senada, Ngdiran juga mengatakan bahwa faktor yang menyebabkan harga cabai naik adalah iklim. Beberapa waktu lalu, cabai banyak yang gagal panen akibat musim hujan. Imbasnya, ketersediaan barang menjadi kurang. 

"Saat mau panen, hujan waktu itu. Sehingga, hasil panennya tidak memadai. Dengan panen tidak memadai, berpengaruh pada ketersediaan barang kurang," ungkap Ngadiran kepada Validnews, Selasa (26/7).

Namun selain faktor iklim, Ngadiran juga menyebut faktor lain yang menjadi penyebab harga sayuran naik. Salah satunya adalah harga pupuk yang dinilai mahal. Akibatnya, para petani tidak bisa memberikan pupuk yang memadai dan menyebabkan panen tidak baik.

"Kalau panen tidak baik kan otomatis suplai berkurang. Karena pupuk selain mahal kan juga susah," imbuhnya.

Lain halnya dengan Abdul dari ACCI. Ia menuturkan bahwa produksi komoditas cabai semakin menurun dan semakin sulit. Ia menyebutkan, kesadaran petani pada sisi hulu dirasa masih belum mencukupi. 

Hulu di sini mencangkup sumber daya manusia (SDM) dan tanah. Petani kurang kreatif mencari solusi dari kendala yang ditemui.

"Dia kurang paham bagaimana tanah itu diolah, SDM-nya belum paham bagaimana mengolahnya. Lalu, dihantam dengan iklim, maka dia menurun produksinya,” ujarnya.

Beberapa tahun belakangan ini, dia mencatat jumlah penanam cabai mengalami penurunan. Berdasarkan data yang dimilikinya, saat ini penanam cabai yang tersisa hanya tinggal 30%.

“Jumlah penanam cabai turun karena selalu murah, jadi tumbang,” ungkap Abdul.

Abdul memberikan contoh daerah Tuban yang mengalami gagal panen. Biasanya, cabai rawit bisa panen 8-12 kali, namun sekarang hanya empat kali dalam satu periode. Bahkan, banyak yang gagal. Jadi, tanamnya berhasil, tapi panennya gagal.

"Jelas ada permasalahan, mereka sudah tahu jenis-jenis pupuk, cuma sekarang ini banyak berubah karena kondisi tanah dan musim. Pupuk itu kadang-kadang tidak menaikkan produksi. Kenapa? Nah, berarti ada masalah di tanahnya," katanya.

Aditya dari CIPS mencermati lain. Untuk hortikultura, selain dari pupuk, masalah juga disebabkan faktor domestik. Kenaikan harga-harga produk hortikultura, seperti cabai dan bawang putih beberapa bulan terakhir dipengaruhi petani yang banyak mengalami gagal panen, serangan hama, serta masalah klasik, seperti akses pasar yang tidak merata.

Dia mengamini, harga pangan global berdasarkan FAO Food Price Index bulan Juni sudah berangsur turun. Tetapi, secara umum harga-harga pangan tahun 2022 masih merupakan rekor tertinggi. 

Sasar Rumah Tangga
Berangkat dari beragam persoalan di atas, dan menyiasati cuaca yang berubah, Kementan menerapkan sejumlah strategi. Salah satunya dengan memberikan benih dan mengedukasi petani hortikultura.

Pihak di luar petani juga disasar oleh Kementan.  Direktorat Jenderal Hortikultura membagikan benih cabai dalam polybag ke masyarakat DKI Jakarta. Ada 3.500 benih cabai dalam kemasan itu yang dibagikan pada Jumat (15/7) di Kebun Bibit Cibubur, Jakarta Timur.

Pembagian benih cabai secara gratis itu dituju agar bisa ditanam di halaman atau pekarangan rumah. Ini juga bagian dari program Pekarangan Pangan Lestari (P2L) serta Pertanian Perkotaan (Urban Farming) yang menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Hortikultura.

“Pembagian benih cabai dalam polybag kali ini merupakan tindak lanjut kerja sama antara Kementan dengan Pemda DKI Jakarta. Harapannya dalam beberapa bulan ke depan, setidaknya menjelang Hari Besar Keagamaan Natal dan tahun baru 2023, sudah dapat dipanen hasilnya,” ujar Sekretaris Direktorat Jenderal Hortikultura, Retno Sri Hartati Mulyandari melalui siaran pers, Senin (18/7).

Pembagian benih cabai kemasan sebelumnya juga dilakukan bersamaan dengan Gelar Pangan Murah di Toko Tani Indonesia Centre (TTIC) pada Juni 2022 lalu, yang kemudian dibagikan ke masyarakat di Kepulauan Seribu.

Adalah wajah jika sasaran penanaman cabai ditujukan ke pertanian kota. Rumah tangga adalah konsumen cabai terbesar, baik cabai rawit maupun cabai besar. Porsinya dibandingkan total konsumsi nasional mencapai 75,72% untuk cabai rawit dan 72,94% untuk cabai besar.

Selain pemberian benih dan edukasi, pemerintah melalui mitra juga berencana untuk mengembangkan smart green house. Pemerintah dirancangkan akan bermitra dengan perusahaan-perusahaan besar yang ingin membuat greenhouse dalam ukuran besar. 

Dengan konsep itu, cuaca tak lagi berpengaruh kuat, dan cabai dapat terus ditanam sepanjang masa.

Ngadiran memandang positif strategi pemerintah. Ia menganggap bahwa greenhouse bisa menjadi solusi untuk produksi hortikultura ke depan. Dengan syarat, harus dilakukan pembinaan dan penyuluhan dari dinas pertanian kepada petani hortikultura.

Hanya saja, tidak semua petani mampu membuat green house. Abdul pun meminta pemerintah memberikan perhatian pada petani cabai. Menurutnya, petani harus dilatih bagaimana mengelola tanaman cabai agar tidak gagal panen. Lalu, diajarkan pengelolaan tanah sebelum tanam.

"Itu yang harus diutamakan, selain petani-petani yang tumbang dalam berapa tahun ini diberikan suatu insentif. Petani cabai ini belum ada insentif. Jadi, ada credit system, datanya belum ada, itu harus diinformasikan juga. Tapi yang paling utama di hulunya adalah SDM dan tanah," ungkapnya.

Aditya juga mengusulkan senada. Produksi holtikultura membutuhkan solusi yang holistik. Program yang disiapkan haru mulai dari solusi teknis untuk peningkatan produktivitas dan penanganan organisme pengganggu tumbuhan (OPT), peningkatan resiliensi dalam menghadapi dampak perubahan iklim, hingga regulasi untuk memfasilitasi kelancaran logistik. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar