14 Juni 2025
18:00 WIB
Affiliate, Tren Kekinian Untuk Penghasilan Tambahan Nan Lumayan
Perkembangan pesat teknologi digital membuat masyarakat bisa meraup penghasilan tambahan dari fitur affiliate di sosial media.
Penulis: Yoseph Krishna, Nuzulia Nur Rahma, Erlinda Puspita
Editor: Khairul Kahfi
Pekerja menawarkan produknya secara langsung dalam jaringan di salah satu tempat produksi suvenir di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (18/7/2024). Antara Foto/Didik Suhartono
JAKARTA - Tren afiliasi atau lebih dikenal affiliate mulai menjamur di berbagai sosial media dan platform e-commerce kesukaan masyarakat beberapa tahun belakangan, mulai dari TikTok, Shopee, dan lain sebagainya.
Lewat fitur affiliate di sosmed, para pengguna bisa mendapatkan cuan via komisi ketika berhasil closing-an setelah mempromosikan produk tertentu lewat sebuah konten video.
Bagi sebagian orang, fitur affiliate dapat dijadikan sebagai penghasilan sampingan karena ‘persenan’ yang lumayan yang ditetapkan oleh platform maupun oleh seller dari sebuah produk.
Dewo Harianto adalah salah satu yang merasakan manisnya fitur affiliate di sosial media. Pegawai salah satu perusahaan pelat merah ini merasakan cuan sekitar Rp3 juta dalam satu bulan.
Lewat platform TikTok, pria berusia 32 tahun ini menjadi affiliator untuk mengisi waktu senggang di tengah kepenatan menjalani pekerjaan sehari-hari. Produk yang dijadikan konten pun beragam, termasuk alat pembasmi komedo, dan lain sebagainya.
Baca Juga: Tips Peroleh Cuan Jadi Affiliate Partner
Setelah mendaftar fitur affiliate, pengguna bisa mengajukan produk atau membeli produk tertentu untuk dijadikan konten promosi. Tetapi biasanya, Dewo bercerita, para afiliator mengajukan produk kepada seller supaya tidak keluar modal untuk bahan promosi.
"Daftar affiliate, setelah itu bebas mau mengajukan produk atau beli produk baru dipromosikan. Tapi rata-rata selama ini mengajukan sih, mengajukan sampel gratis," terang Dewo saat ditemui Validnews di Jakarta, Rabu (11/6).
Secara teknis, Dewo menerangkan, komisi yang dia kantongi berdasarkan pada kesepakatan dengan pemilik produk. Selama ini, dia mendapat komisi terendah sebesar 8% dari harga produk yang ia jadikan sebagai bahan konten promosi.
Nantinya, setiap penjualan yang berhasil ditransaksikan antara buyer dan seller dari sebuah konten afiliasi, afiliator berhak mendapat komisi dengan persentase sesuai yang telah disepakati.
Tetapi, dia menggarisbawahi, ada kemungkinan persenan komisi yang didapat bakal menyempit ketika pembeli memiliki voucer atau potongan tertentu. Artinya, komisi yang dikantongi afiliator bergantung pada harga yang dibayarkan pembeli atas sebuah produk.
"Tadi itu komisinya ada yang Rp6 ribu, ada yang Rp5 ribu. Itu (persenan komisi) bisa turun... jadi tergantung harga bayar si yang beli," imbuh dia.
Perlu Konsistensi
Di kesempatan berbeda, Zuliatin Hidayati (40) menguraikan soal bisnis affliate dari perspektif lain. Dia menilai, perlu konsistensi tingkat tinggi untuk bisa sukses menjadi afiliator di sosial media. Terlebih, jika fitur affiliate hanya menjadi kerjaan sampingan.
Derasnya arus algoritma di sosmed, sambungnya, membuat para afiliator harus berdedikasi meng-upload konten setiap hari. Meski hanya satu video per hari, upaya ini sangat krusial untuk menjaga kinerja para afiliator.
Berdasarkan pengalamannya, karyawati swasta yang menetap di Jakarta Selatan itu mengungkapkan, penonton konten produk akan menurun jika afiliator tak konsisten memosting video. Tetap relevan dengan algoritma adalah kunci.
"Kita harus upload video setiap hari. Karena kalau kosong, tidak upload video, itu nanti langsung pengaruh sama view akun kita, langsung turun," tutur Zuliatin yang juga melakoni bisnis serupa, kepada Validnews, Kamis (12/6).
Eits! Dia mengingatkan, sebelum mendedikasikan diri membuat konten harian, sang afilitor harus melewati syarat pertama, yakni soal minimum pengikut di sosial media. Berdasarkan pengalamannya di Tiktok, dia bercerita, butuh minimum 600 pengikut jika ingin menjadi afiliator.
Berawal dari modal Rp0, bisnis afiliator yang Zuliatin tekuni terus berkembang. Perlahan, dirinya bisa memiliki aset pendukung seperti tripod hingga lighting.
"Kalau belum punya lighting, dulu awal-awal aku take video siang hari supaya terang. Jadi yang penting ada usaha dan konsisten, itu bisa," jelasnya.
Baca Juga: Mengenal Tokopedia Affiliate, Program Afiliasi Dari Tokopedia
Meski awalnya hanya mendapat sekitar Rp500 ribu per bulan, Zuliatin tetap konsisten mengunggah konten affiliate. Buah manis dari konsistensi itu, dia pernah mendapat pemasukan tertinggi sebesar Rp2 juta. Menurutnya, angka itu lumayan jika untuk sampingan.
"Bulan-bulan berikutnya naik pelan-pelan sampai paling tinggi Rp2 juta per bulan. Produk awal yang kupromoin di affiliate juga hanya tas, lama-lama beragam ada sepatu, baju, lalu kalau momen Ramadan dan Idulfitri, aku affiliate sajadah, baju koko, dan baju muslim," ucap Zuliatin.
Raup Puluhan Juta
Beda Tangan, Beda Rezeki. Begitu kita bisa menyinggung yang Roro Cindy Galih Asri (27) rasakan. Dia maraup rezeki jauh lebih manis dengan menjadi afiliator di sosial media.
Paling tinggi, Ibu Rumah Tangga asal Jakarta Timur itu pernah berjualan produk melalui konten afiliasi mencapai total sekitar Rp600 juta dalam sebulan di 2023. Walhasil, Roro berhak mengantongi komisi sekitar Rp60-65 juta selama periode tersebut.
"Puncaknya di tahun 2023 saat lebaran itu karena belum banyak aturan, aku pernah nyampe GMV (Gross Merchandise Value) produk Rp600 juta, itu termasuk affiliate dan live di Shopee. GMV segitu dengan komisi per produk sekitar 10-15%, aku pernah sebulan dapat pemasukan Rp60-65 juta waktu itu," ungkap Roro saat dihubungi Validnews, Kamis (12/6).
Roro bercerita, dirinya mulai aktif menjadi afiliator sejak 2022 lalu. Kala itu, dia hanya merekam momen anaknya yang baru bisa merangkak. Tak diduga, kontennya ramai ditonton dan disukai warganet.
Bahkan, penonton kontennya mulai menanyakan lewat kolom komentar soal barang-barang yang ada di dalam video yang Roro buat, mulai dari karpet bayi, kursi bayi, hingga kaca mata bayi.
"Karena itu, aku jadi mengutak-atik soal afiliator di Shopee, aku cari-cari ternyata ada penghasilannya," serunya.
Baca Juga: Perbedaan Reseller, Dropship, & Affiliate
Pada 2022, Roro menyebut masih belum banyak orang yang melihat peluang 'gajian' tambahan dengan menjadi afiliator. Sehingga, masih mudah untuk meraup cuan dari fitur tersebut.
Lainnya, masih belum banyak aturan untuk mengunggah konten affiliate. Roro saat itu masih bisa mendaur ulang atau re-upload konten influencer di akunnya sendiri dan tidak ada masalah dengan hal tersebut. Tak heran pada 2023, dia bisa meraup pemasukan sampai Rp60-65 juta.
Barulah di akhir 2023 menuju awal 2024, mulai banyak aturan yang memperlambat gerak Roro sebagai afiliator. Salah satunya, dia tak bisa lagi menggunakan video influencer untuk meraup cuan afiliasi sebuah produk.
"Karena akunku dulu banyak upload video dari selebgram gitu, akunku kena banned. Akhirnya, aku bikin akun baru dengan full videonya dari konten produksi aku sendiri, aku review produk sendiri," jabarnya.
Untungnya, Roro sudah mengamankan pendapatan puluhan juta rupiah itu dengan mengalokasikannya sebagai tambahan membangun rumah kontrakan.
"Alhamdulllahnya dulu waktu pendapatanku masih tinggi saat awal affiliate, itu aku alokasiin buat bantu-bantu bikin rumah kontrakan, jadi aku bantu kasih uang ke suami," jelas Roro.
Senada dengan Zuliatin, Roro juga menilai, hal yang terpenting agar ia bisa meraup cuan maksimal adalah soal konsistensi. Paling tidak, harus ada dua konten video affiliate yang diunggah per hari supaya tambahan dari affiliate bisa lumayan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Saran dan tips dari aku, intinya harus konsisten bikin dan upload video. Paling dikit, dua sehari, tapi kalau mau brutal (lebih banyak) ya lebih bagus, kuncinya konsisten. Dengan konsisten, maka akun kita bisa masuk sistem (algoritma) dan sering muncul di akun penonton," ungkap Roro.

Terobosan Baru
Booming-nya fitur affiliate di sosmed dinilai jadi tren dan terobosan baru pada perdagangan digital di tanah air. Direktur Ekonomi Digital Celios Nailul Huda menerangkan, tren afiliator memainkan peran dalam mengiklankan produk dengan jaminan jangkauan promosi yang tak terbatas.
"Kombinasi afiliator dan harga yang murah menjadikan konsumsi lewat platform digital menjadi pilihan masyarakat. Afiliator membuat proses mendapatkan informasi dan pembelian barang jauh lebih mudah," jelas Nailul kepada Validnews, Selasa (10/6).
Berkaca dari pengalaman Dewo, Zuliatin, dan Roro, fitur affiliate juga kini mulai menjanjikan keuntungan dan komisi yang relatif tinggi. Tak heran, banyak anak muda yang saat ini tekun menjadi afiliator.
Bukan hanya afiliator yang dapat keuntungan lewat komisi, Nailul mengungkapkan, produsen juga bisa makin dimudahkan dengan adanya fitur afiliasi ini.
Lewat fitur di sosial media maupun e-commerce itu, produsen tak usah repot-repot membuat promosi untuk mempresentasikan produk yang mereka jual.
"Selain dari sisi afiliator, produsen barang juga mendapat keuntungan, produsen tidak perlu live setiap bulan atau rutin membuat konten yang bisa jadi biayanya lebih mahal," tuturnya.
Namun demikian, Nailul menyangsikan tren affiliate ini bakal menjanjikan secara berkelanjutan dari sisi pendapatan. Setidaknya, ada sejumlah faktor yang bisa memengaruhi nantinya, seperti konsumsi masyarakat hingga inovasi dagang secara digital yang juga berkembang secara cepat.
Baca Juga: Shopee Affiliate; Manfaatkan Medsos Untuk Raup Cuan
Bahkan, bukan tidak mungkin, fitur affiliate bisa saja tergantikan oleh kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Terlebih, beberapa waktu terakhir sosmed sudah mulai dipenuhi dengan konten video hiburan yang dibuat dengan fitur AI, seperti Google Veo 3.
Lewat teknologi itu, setiap orang bisa mengkreasikan video sesuai dengan imajinasi masing-masing. Jadi, ada peluang perdagangan digital ke depannya bakal memanfaatkan AI.
"Ataupun nanti penjualan bisa menggunakan VR (virtual reality) yang lebih bisa merasakan sensasi baru dalam berbelanja. Saya selalu melihat kemungkinan inovasi sektor digital dengan perkembangan yang pesat," ungkapnya.
Senada, Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Edy Misero menganggap, affiliate jadi salah satu terobosan baru pada era perdagangan digital. Semestinya, dia menilai, tren affiliate bisa menjadi penopang bisnis UMKM.
"Sehingga kita memberi apresiasi kepada mereka yang menopang informasi sehingga produk UMKM itu tersosialisasi lebih baik bagi konsumen, kan gitu," ungkap Edy, Kamis (12/6).
Namun, dirinya juga tak menampik ada peluang tren affiliate di sosmed bisa berganti di kemudian hari. Sekali lagi, peluang itu bisa berganti dikarenakan perkembangan teknologi informasi saat ini yang makin serba cepat dan pesat.
Walau demikian, saat ini para pelaku UMKM juga diimbau harus tetap beradaptasi dan memahami peluang yang muncul dari fitur affiliate di sosmed.
"Minimal sekarang ini kita perlu, sehingga bisa menyosialisasikan produk UMKM ini, jasa UMKM, ya kita pakailah jasa mereka. Kita bersyukur teman-teman (afiliator) mau menyosialisasikan produk UMKM," ujar Edy.
Dominan Impor, Belum Pro UMKM Lokal
Berbeda pendapat, Ketua Umum Asosiasi Industri Usaha Mikro Kecil dan Menengah Indonesia (AKUMANDIRI) Hermawati Setyorinny menyayangkan ramainya fitur affiliate di sosial media belum begitu memberi dampak bagi usaha dan bisnis UMKM lokal.
Pasalnya, hampir semua afiliator membuat konten video untuk mempromosikan produk-produk impor, terutama yang didatangkan dari China.
Sebenarnya, permasalahan dimulai dari hal yang sangat mendasar, yakni membanjirnya produk impor di platform e-commerce, seperti Shopee dan Tokopedia. Produk impor punya harga yang amat sangat murah, yang pada gilirannya membuat pelaku UMKM lokal kesulitan untuk bersaing.
"Barang yang disediakan di platform itu kebanyakan produk yang sebenarnya impor. Nah, UMKM yang di Indonesia tidak bisa berkompetisi dalam harga," sebut Hermawati kepada Validnews lewat sambungan telepon, Kamis (12/6).
Padahal, semestinya, dia berharap, tren affiliate bisa menjadi wadah strategis untuk mendongkrak usaha pelaku UMKM. Dalam hal ini, platform e-commerce atau pun sosmed seharusnya memberi diskon tertentu untuk setiap produk UMKM yang dipromosikan oleh afiliator.
Tak sampai situ, Hermawati juga mendukung, agar setiap platform sejatinya wajib memberi edukasi dan sosialisasi, serta mendorong setiap afiliator untuk lebih banyak mempromosikan produk-produk UMKM.
"Itu yang paling penting (edukasi afiliator) karena UMKM muncul karena butuh pekerjaan. Mereka buat kewirausahaan dalam rangka apa? Menafkahi keluarga, intinya di situ. Tapi kita tidak melihat ke situnya," tegas dia.
Baca Juga: Jelang Hari Ibu, Ini Tips Menjadi Working Mom Di Marketplace
Akumindo juga menganggap masih sangat sedikit UMKM yang bisa menikmati manfaat perdagangan digital lewat platform sosmed. Edy memperkirakan, hanya sekitar 20% UMKM yang sudah merasakan buah manis dari jualan di sosial media, termasuk di dalamnya fitur affiliate.
Kondisi itu, sambungnya, tak lepas dari kebanyakan pelaku UMKM yang berasal dari kelas menengah ke bawah. Bahkan, ada puluhan persen UMKM yang terbatas dari sisi pendidikan formal. "Sekian puluh persen (UMKM) adalah yang juga lulusan pendidikan yang terbatas, sehingga mereka perlu waktu untuk hadir dan mengambil market itu secara digital," jelas Edy.
Sebagian besar dari 20% UMKM itu pun terletak di kota-kota besar. Ini tak lepas dari infrastruktur maupun fasilitas yang sudah tersedia di kota-kota besar jika dibanding daerah-daerah terpencil.
"Apalagi kalau kita lihat belum semua daerah di Indonesia yang punya fasilitas internet. Saya sudah sampaikan beberapa kali, ada 10 ribu desa yang belum terjangkau internet, ada begitu banyak desa juga yang listriknya belum ada. Bagaimana kita mendorong (UMKM) itu? Artinya, mari kita sadari bahwa itu perlu dan mari kita berproses," ungkap Edy.
Meski begitu, Edy tetap bersyukur tren pemanfaatan sosmed oleh pelaku UMKM mulai meningkat. Artinya, walau masih sedikit, tetap ada peningkatan jumlah pelaku UMKM yang sadar akan pentingnya sosial media dalam persaingan dagang di era digital.
Maka, Akumindo sampai saat ini terus aktif mendorong pelaku usaha agar mempelajari betul tren yang sedang berkembang, termasuk affiliate. Edy menilai, tren affiliate jadi salah satu musabab sepinya Pasar Tanah Abang beberapa waktu terakhir.
"Kenapa Tanah Abang itu sepi? Karena eranya sudah baru, tidak offline lagi datang ke sana, tetapi cukup di rumah kita melihat apa saja yang menjadi produk yang dijual, cocok, transaksi, satu jam kemudian barangnya sudah sampai. Jadi, kita harus masuk di era itu," tukasnya.