28 Oktober 2024
20:13 WIB
Ada Rencana Hapus Utang Petani Dan Nelayan, Pengamat Ingatkan Risikonya
Pengamat mengingatkan terdapat potensi risiko moral hazard, di mana pelaku usaha UMKM merasa bahwa penghapusan utang dapat terjadi kembali di masa depan.
Penulis: Fitriana Monica Sari
Petani menanam bibit padi di persawahan Desa Gondoharum, Jekulo, Kudus, Jawa Tengah, Kamis (3/10/202 4). Sumber: AntaraFoto/Yusuf Nugroho.
JAKARTA - Presiden Prabowo Subianto dikabarkan akan segera menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk menghapus para nelayan hingga petani yang totalnya hingga 6 juta nasabah.
Hal ini mendapatkan respons positif dari berbagai kalangan. Kendati demikian, di satu sisi juga mendapatkan peringatan dari pengamat akan risikonya.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede adalah salah satunya. Ia menilai rencana Presiden untuk menghapus utang 6 juta pelaku UMKM termasuk petani dan nelayan, melalui kebijakan pemutihan utang ini, memiliki beberapa dampak potensial yang signifikan terhadap ekonomi, perbankan, dan sektor keuangan.
"Dengan penghapusan utang, UMKM, petani, dan nelayan akan mendapatkan kelonggaran likuiditas karena mereka tidak lagi terbebani oleh kewajiban pembayaran utang. Ini dapat meningkatkan daya beli mereka dan memberikan modal tambahan untuk investasi atau pengembangan usaha," kata Josua kepada Validnews, Senin (28/10).
Lebih lanjut, dia menjelaskan, UMKM yang diuntungkan oleh penghapusan utang dapat lebih percaya diri dalam menjalankan usaha dan berpotensi untuk mengembangkan bisnis mereka. Hal ini juga bisa berdampak positif pada ketahanan ekonomi lokal, terutama di sektor-sektor padat karya, seperti pertanian dan perikanan.
Meskipun demikian, Josua mengingatkan bahwa terdapat potensi risiko moral hazard, di mana pelaku usaha UMKM merasa bahwa penghapusan utang dapat terjadi kembali di masa depan, sehingga meminimalkan tanggung jawab terhadap pengelolaan keuangan mereka.
"Hal ini bisa menimbulkan tantangan bagi stabilitas kredit di masa mendatang," tegas dia.
Dengan penghapusan utang, UMKM yang terbebas dari beban kredit masa lalu mungkin akan tertarik untuk kembali mengakses layanan perbankan, baik untuk kebutuhan pembiayaan baru.
"Bank memiliki appetite untuk menawarkan produk pinjaman atau kredit baru kepada pelaku usaha yang telah direstrukturisasi. Dengan kondisi keuangan yang lebih stabil, mereka dapat menjadi target potensial untuk berbagai jenis kredit usaha, termasuk kredit usaha rakyat (KUR), pinjaman modal kerja, atau kredit investasi," jelasnya.
Meskipun penghapusan utang akan mengurangi beban UMKM, Josua juga mengingatkan bahwa bank perlu berhati-hati dalam menilai risiko pemberian kredit baru, terutama karena beberapa UMKM yang utangnya dihapus mungkin telah menunjukkan kinerja finansial yang kurang baik di masa lalu.
Secara keseluruhan, Josua menilai kebijakan pemutihan utang ini berpotensi mendorong pemulihan risk appetite perbankan terhadap segmen bisnis UMKM, namun dengan tetap memperhatikan manajemen risiko yang hati-hati dalam memberikan pinjaman baru.
Selain itu, literasi keuangan dan pendampingan kepada UMKM juga penting untuk memastikan mereka dapat mengelola usaha mereka secara lebih efisien dan bertanggung jawab setelah pemutihan utang.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) perbankan Indonesia per Agustus 2024 tercatat sekitar Rp325,6 triliun.
Dengan jumlah CKPN yang cukup signifikan ini, bank-bank di Indonesia diperkirakan memiliki kapasitas untuk menyerap dampak penghapusan utang sebagian dari 5-6 juta petani dan nelayan.
Namun, besarnya beban yang ditanggung juga tergantung pada total nilai utang yang akan dihapuskan, serta distribusi kerugian tersebut di antara berbagai bank.
"Dari perspektif moral hazard, penting bagi pemerintah dan otoritas perbankan untuk memastikan bahwa penghapusan utang ini dilakukan dengan pendekatan yang hati-hati dan dilengkapi dengan kebijakan yang memastikan peminjam tetap bertanggung jawab dalam pinjaman di masa depan," terang Josua.
Menurutnya, mekanisme pendidikan finansial atau pembatasan akses kredit bagi debitur yang gagal memenuhi kewajiban dapat dipertimbangkan untuk mencegah perilaku tidak bertanggung jawab.
Dengan demikian, meskipun cadangan CKPN tampak memadai, evaluasi risiko dan pengelolaan yang hati-hati tetap diperlukan agar kebijakan ini tidak menimbulkan masalah lebih lanjut di sektor keuangan.
Senada, kepada Validnews, Senin (28/10), Pengamat Perbankan dan Praktisi Sistem Pembayaran Arianto Muditomo menjelaskan bahwa kebijakan penghapusan utang selalu bisa dilihat dari dua sisi.
"Sisi positif yaitu bila kredit bermasalah (yang dihapus) disebabkan kondisi lingkungan bisnis dan ekonomi dan bukan karena itikad buruk debitur, maka penghapusan utang akan membuat debitur petani, nelayan dan UMKM dapat menjalankan usahanya lebih baik tanpa terbebani kewajiban masa lalunya. Sedangkan sisi negatif bila sebaliknya, kredit bermasalah karena itikad buruk debitur," ujar lelaki yang akrab disapa Didiet.
Sayangnya, kata Didiet, tidak mudah menilai “itikad” debitur semacam ini sebagai potensi moral hazard.
Oleh karena itu, dia menyarankan agar penghapusan utang bisa dibarengi dengan pendataan yang baik dan tertib terhadap debitur bermasalah yang utangnya dihapuskan, termasuk dalam kecukupan CKPN-nya.
"Debitur dengan kolektibilitas rendah tentunya CKPN sudah dicadangkan minimal 100%," ucapnya.
Di Istana Kepresidenan, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan rencana pemutihan atau penghapusan utang/kredit macet petani akan dibahas secara bersama-sama berbagai pihak.
“Itu nanti kita bahas bersama lagi,” kata Mentan, Senin (28/10).
Dia menyampaikan ketentuan penghapusan utang petani akan diatur melalui Peraturan Presiden, yang akan menjadi kabar baik bagi petani Indonesia. “Ya doakan," ujarnya.