c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

03 April 2023

19:47 WIB

Ada Pengurangan Upah, Daya Beli Buruh Diyakini Masih Akan Terjaga

Optimisme ini dapat terjadi ditopang oleh penurunan harga komoditas domestik, mulai dari usainya momen puasa-lebaran hingga panen raya.

Penulis: Khairul Kahfi

Ada Pengurangan Upah, Daya Beli Buruh Diyakini Masih Akan Terjaga
Ada Pengurangan Upah, Daya Beli Buruh Diyakini Masih Akan Terjaga
Pekerja pabrik seusai bekerja di suatu pabrik makanan di kawasan Ciracas, Jakarta Kamis (12/1/2023). ValidNewsID/Fikhri Fathoni

JAKARTA – Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini menilai, ekpektasi daya beli kelompok pekerja atau buruh masih akan terjaga dalam dua bulan ke depan. Optimisme ini dapat terjadi ditopang oleh penurunan harga komoditas domestik, mulai dari usainya momen puasa-lebaran hingga panen raya.

“Tentunya, hal ini berpotensi untuk bisa menjaga daya beli masyarakat, termasuk buruh ya,” terangnya singkat menjawab wartawan, Jakarta, Senin (3/4).

Sementara, Pudji melanjutkan, dampak penurunan upah buruh ini memerlukan kajian mendalam untuk bisa mengetahui seberapa besar dampaknya terhadap daya beli kelompok terkait.

Sebagai konteks, keputusan pemerintah melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan 5/2023 diyakini dapat menjadi tantangan bagi pekerja dari sisi pemasukan/pendapatan yang menurun maksimal hingga 25%, sehingga berdampak pada tingkat daya beli.

Info saja, Permenaker 5/2023 Tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan Pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor Yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global, mengakomodasi pengusaha/perusahaan untuk bisa membayar pekerja secara tidak utuh.

Keputusan pemerintah ini diyakini dapat menjadi tantangan bagi pekerja dari sisi pemasukan/pendapatan yang menurun maksimal hingga 25%, sehingga berdampak pada tingkat daya beli.

Baca Juga: BPS: Inflasi Awal Ramadan Rendah Karena Konsumsi Belum Pulih

Adapun dalam Pasal 3 berbunyi, bahwa kebijakan ini dapat berlaku kepada lima perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor meliputi industri tekstil dan pakaian jadi; industri alas kaki; industri kulit dan barang kulit; industri furnitur; dan industri mainan anak.

Pasal 8 dalam beleid terkait menjelaskan, perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor yang terdampak perubahan ekonomi global dapat melakukan penyesuaian besaran upah pekerja/buruh dengan ketentuan Upah yang dibayarkan kepada Pekerja/Buruh paling sedikit 75% dari Upah yang biasa diterima. 

Penyesuaian sebagaimana dimaksud di atas dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan Pekerja/Buruh. Adapun, penyesuaian upah sebagaimana dimaksud di atas berlaku selama enam bulan terhitung sejak Peraturan Menteri ini mulai berlaku (8 Maret 2023).

“Pemerintah menetapkan kebijakan penyesuaian Upah pada perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor yang terdampak perubahan ekonomi global, dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional serta untuk menjaga kelangsungan bekerja dan kelangsungan berusaha,” jelas Permenaker 5/2023.

Salahi Undang-Undang
Terpisah, Anggota Komisi IX DPR Netty Prasetiyani berpendapat, penerbitan Permenaker 5/2023 tentang pengupahan yang membolehkan perusahaan ekspor memotong gaji karyawan hingga 25% bertentangan dengan undang-undang.

Dirinya pun menyoroti, pekerja atau buruh yang selalu menjadi objek yang terkena dampak negatif ketika pemerintah membuat peraturan untuk menyikapi situasi ekonomi terkini.

“Beberapa waktu lalu upah pekerja terkena penyesuaian karena covid-19, sekarang ada kebijakan pemotongan karena alasan perubahan ekonomi global,” kata Netty, Rabu, (29/3).

Padahal dalam hubungan kerja, sambungnya mengingatkan, golongan pekerja seringkali berada dalam posisi paling rentan. Karena itu, semestinya golongan ini mendapat perhatian dan perlindungan pemerintah, bukan jadi objek penderita.

Dalam Permenaker 5/2023 disebutkan, bahwa perusahaan berorientasi ekspor bakal bisa memotong gaji karyawan hingga 25% sebagai tindak lanjut perubahan ekonomi global dengan ditandai turunnya permintaan ekspor dari AS dan Eropa.

“Kenapa fokus aturan yang dibuat pemerintah selalu pada pengurangan ongkos produksi, dalam hal ini upah pekerja? Jika Permenaker bisa membatasi upah pekerja 75%, dapatkah pemerintah membuat aturan yang membatasi keuntungan perusahaan?” tegasnya.

Baca Juga: BPS: Disumbang Bensin dan Beras, Inflasi Maret 0,18%

Di sisi lain, menurutnya, Permenaker 5/2023 jelas melanggar Pasal 90 jo Pasal 185 UU No 13/2003 dan Pasal 88E jo Pasal 185 UU Cipta Kerja.

“Permenaker ini melanggar undang-undang dan peraturan pemerintah yang telah ditandatangani presiden, di mana kebijakan presiden hanya ada upah minimum. Bukankah ini artinya Menaker membuat peraturan yang isinya bertentangan dengan peraturan di atasnya?” tanya Netty.

Karena itu, sebutnya lagi, kebijakan tersebut dalam kondisi ekonomi seperti sekarang tentu berdampak buruk karena merugikan dan mencederai rasa keadilan bagi pekerja. Selain itu, terbitnya Permenaker 5/2023 juga mengisyaratkan seolah pemerintah lepas tangan.

“Pemerintah seolah lepas tangan begitu saja. Padahal ada banyak cara yang bisa dilakukan. Kalau mau mengurangi biaya produksi perusahaan, pemerintah dapat mengurangi bea masuk bahan impor untuk produksi dan memberikan insentif pajak,” usulnya.

Ia pun menekankan, agar pemerintah jangan sampai menciptakan situasi yang dapat ditafsirkan dengan sengaja membuat perusahaan dan pekerja ‘berselisih’.

Menurutnya, ketentuan pengupahan 75% baru bisa diterapkan, jika adanya kesepakatan antara perusahaan dan pekerja menjadi pasal karet yang berpotensi jadi bahan perselisihan. “Kalau pekerja tidak sepakat, bagaimana?” pungkasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar