c

Selamat

Jumat, 29 Maret 2024

EKONOMI

05 November 2019

19:36 WIB

Yang Muda Bersenang dan Tak Lupa Tabungan

Kemudahan membayar kerap membuat milenial tak berpikir panjang untuk membeli apapun 

Editor: Fin Harini

Yang Muda Bersenang dan Tak Lupa Tabungan
Yang Muda Bersenang dan Tak Lupa Tabungan
Karyawan toko mengesekan kartu debit di mesin Electronic Data Capture (EDC) di Jakarta, Selasa (5/9/2017). ANTARAFOTO/Muhammad Adimaja

JAKARTA – Pria berusia 25 tahun ini menjejakkan kaki ke sebuah mal di bilangan Jakarta Pusat, Sabtu malam (1/11) lalu. Menonton film adalah tujuan utamanya. Sekadar rekreasi ringan di ujung pekan.

Usai menonton film, pria bernama Denny ini beranjak menuju food court. Aroma wangi makanan yang menguar dari beragam resto sontak menggoda perutnya yang nyaris kosong. Makan menjadi kegiatan dadakan. Perut kenyang, hati senang, tinggal pulang. 

Namun, langkahnya terhenti di depan sebuah merchant minuman. Tawaran cashback kalau membayar dengan sebuah aplikasi pembayaran digital membuatnya tertarik membeli, bahkan antre.

Seperti kebanyakan generasi milenial lainnya, pria bernama lengkap Denny Aprianto ini dibesarkan dengan berbagai kemudahan. Di ponsel, mereka dunia tersimpan. Ada “perpustakaan” yang bisa ditanya nyaris semua hal. Ada sekolah hingga forum jual beli ijazah, ada pula yang menawarkan jasa medis sampai paranormal. Dunia perbankan pun kian mudah. Mau pinjam uang juga sangat cepat. Bayar nanti, barang pesanan sampai duluan.

Dari banyak kemudahan, persoalan kemudahan pembayaran kerap kali menggoda. Apalagi, bila ada iming-iming diskon atau cashback.

Denny, seorang fotografer kelahiran 1994 ini mengakui tak suka jajan, Tapi, kemudahan pembayaran itu mendorongnya untuk lebih sering membeli makanan dan minuman. Salah satu ‘menu wajibnya’ adalah kopi.

"Kemudahan membayar sih menurut gua cukup membuat gua pribadi tertarik buat jajan ya. Tinggal pesan, enggak pakai cash, sudah gitu sering ada potongan kalau enggak cashback gitu," tuturnya kepada Validnews, Senin (4/11).

Adetya Indah Eka Putri (23), mengaku tak seberapa terpengaruh segudang diskon yang ditawarkan, Ia justru hanya terdorong untuk jajan kalau ia sedang bersama teman-teman.

"Kalau sama teman-teman mungkin iya, tapi kalau sendiri enggak lah karena aku tuh sebenarnya orangnya pelit untuk diri sendiri. Kalau sama teman, itu mungkin bisa sih, di tempat baru ada diskon gitu. Ayo aja lah. Gas," katanya melalui sambungan telepon pada Validnews, Senin (4/11).

Kuatnya ‘magnet’ diskon digital diakui oleh konsultan keuangan, Tejasari. Membayar secara digital mendorong orang untuk lebih banyak mengkonsumsi. Hal ini pun menjadi salah satu pembeda pola konsumsi generasi milenial dengan generasi sebelumnya.

"Jadi zaman dulu kan enggak ada seheboh ini. (Sekarang.red) semuanya, marketplace, membabi buta, terus kasih diskon ini, segala macem. Jadi orang tuh bergerak untuk mengikuti itu dan trend-nya itu memang trend konsumtif," katanya saat ditemui setelah launching Financial Health Index GoBear pada Rabu (30/10) lalu.

Sayangnya, di tengah gempuran godaan berbelanja, generasi milenial justru jarang mengelola keuangan dengan baik. Meski sudah bekerja dan berpenghasilan, mereka kesulitan mengutamakan menabung untuk dana pendidikan anak ataupun pensiun. Jalan-jalan jadi prioritas. Hal ini berbeda dengan generasi sebelumnya, yang rata-rata baru akan berpikir tentang jalan-jalan setelah memiliki investasi dan tabungan.

"Lebih ke apa yang diutamain itu agak shift, ada pergeseran," ucapnya.

Kecenderungan ini dianalisis Risza Bambang, Chairman dari OneShildt Financial Planning. Ia menilai, tendensi berbeda ini disebabkan karakteristik milenial yang suka mencoba hal baru. Mereka juga tipikal generasi yang mengapresiasi keindahan alam dan berkehendak menjaga keberlanjutannya. Milenial belum memiliki keinginan yang kuat untuk memiliki aset berjangka panjang, seperti mobil, tanah, dan rumah. Mereka lebih senang menggunakan produk-produk yang bisa berbagi sehingga aplikasi peer to peer lending digemari.

"Kalau misalnya kaya golongan saya atau yang satu dua angkatan di bawah saya, sampai umur di atas sekarang 35-an, itu mereka masih ingin memiliki. (Tapi milenial-red) mereka lebih sadar akan bahayanya hidup di masa depan," katanya melalui sambungan telepon kepada Validnews, Senin (4/11).

Survei Financial Health Index (FHI) yang dilakukan oleh GoBear Indonesia bekerja sama dengan Kadance Internasional menguatkan fenomena ini. Survei ini diikuti sekitar seribu masyarakat Indonesia. Hasilnya, ada 28% responden yang berusia 18-25 tahun sama sekali belum memulai rencana keuangan untuk pensiun.

Namun, responden yang lebih tua, berusia 26–35 tahun tampak ada keinginan merencanakan dana pensiun. Tampak dari hanya 8% yang mengaku belum memulai merencanakan keuangan.

Risza  menyarankan, agar milenial sebaiknya mulai mengumpulkan pengetahuan tentang keuangan. Selain meningkatkan literasi, ia juga menyarankan supaya milenial memiliki dana darurat, sebesar tiga sampai enam bulan gaji. Dana itu sebaiknya disimpan di tempat yang tidak akan mudah diakses.

“Dia hanya bisa diakses kalau datang ke bank,” terangnya.

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, memandang konsumsi milenial akan menjadi buruk apabila tidak diimbangi oleh produksi. Akibatnya, Indonesia akan kesulitan menjadi negara berpendapatan tinggi yang terbebas dari middle income trap.

“Tidak ada negara yang bisa bebas dari middle income trap itu milenialnya cuma jadi pengguna, pasti mereka pencipta,” terangnya kepada Validnews Senin (4/11). 

Di kacamatanya, kebanyakan milenial Indonesia saat ini hanya menjadi pengguna internet, terutama media sosial. Tak banyak yang berinovasi dan berproduksi. Dari mengkonsumsi itu, banyak pula milenial yang tergoda untuk beralih profesi menjadi influencer atau youtuber.

“Ya ini bagus dalam konteks potensi, tapi kalau enggak bisa massive ya nanti ini yang menikmati hanya sedikit,” imbuhnya.

Fenomena ini dibedah Alvara Strategic Research. Riset mereka mendapati bahwa pengguna internet Indonesia didominasi oleh generasi milenial. Sebanyak 85,4% dari responden berusia 17–25 tahun mengaku sebagai pengguna internet dengan konsumsi internet di atas 7 jam sehari. Sebanyak 65,6% dari responden berusia 26–35 tahun juga mengaku sebagai pengguna internet.

Sementara itu, hanya 52% responden berusia 36–45 tahun yang menggunakan internet. Selanjutnya, pengguna internet yang berusia 45 tahun ke atas semakin sedikit. Sebanyak 30,8% dari responden berusia 45–55 tahun saja yang menggunakan internet dan dari responden yang berusia 56–65 tahun, hanya 19,6% yang mengaku menggunakan internet.

Generasi milenial juga merupakan penggemar transaksi non tunai. Dari presentasi yang sama, didapati bahwa 59% responden milenial menyukai transaksi non tunai.

Rencana Standar
Apakah benar kesimpulan bahwa milenial tak punya rencana keuangan? Sepertinya ini tak bisa menjadi kesimpulan valid. Adetya, salah satunya, mengaku setiap bulan menyisih Rp1,5 juta untuk tabungan. Uang itu disimpannya di tempat ATM yang berbeda dengan yang sehari-hari digunakan. Nilai itu setara 50% dari total gajinya, sedangkan sisanya ia gunakan untuk konsumsi sehari-hari.

Hanya saja, ia mengakui tidak pernah membedakan dana tabungan dengan dana darurat. Uang yang ia sisihkan juga diambilnya saat sedang ada keperluan seperti membeli ponsel. Namun, apabila tak bisa menabung karena pengeluaran membengkak, ia akan menyisihkan uang gaji lebih banyak di bulan berikutnya untuk ditabung sebagai pengganti atas pengeluaran di bulan sebelumnya.

“Misalnya bulan kemarin cuma (menabung) sejuta karena beli handphone, bulan ini dua juta karena untuk menutup kemarin yang terpakai buat beli handphone,” ucap perempuan yang tinggal dan bekerja sebagai karyawan swasta di Yogyakarta ini. 

Serupa, Salman, lelaki berusia 30 tahun yang tengah merintis usaha travelling, mengaku kontinu dalam mengatur keuangannya. Selain kebutuhan sehari-hari, pendapatannya biasanya ia bagi untuk hiburan, tabungan, dan modal usaha. Tak punya dana darurat, keperluan mendadak biasanya ia tutup dengan uang tabungan yang ada.

“Misalnya ada barang-barang yang tiba-tiba butuh banget kayak mouse atau ada promo apa yang benar-benar butuh misalnya sepatu emang enggak ada dan butuh, pakai dana tabungan itu. Jadi sifatnya kalau diperlukan, dipakai sebenarnya, dana tabungan itu,” ucapnya pada Validnews Senin (4/11).

Denny yang berprofesi sebagai fotografer juga hanya membagi gaji yang diterima apabila memiliki keperluan tertentu. Ia biasanya menyisihkan 50% dari gaji untuk tabungan sekaligus dana darurat yang akan ia gunakan setiap hendak membeli keperluan yang mendadak. Biasanya sehari, ia hanya membutuhkan Rp30 ribu.

Melirik Investasi
Denny mengaku, saat ini ia juga mulai menyisihkan gaji yang ia terima untuk membuka usaha kecil-kecilan.

“Hitung-hitung buat tambahan uang jajan,” terangnya.

Pun Salman yang telah menginvestasikan sekitar Rp2 juta dari gaji yang ia terima untuk merintis usaha agen perjalanannya. Ia mengaku tak membutuhkan dana yang terlampau besar untuk mengawali usahanya. Karena hanya menawarkan jasa perjalanan, modal awal itu pun paling-paling ia gunakan untuk membuat company profie, mencetak kartu nama, dan menjemput orang yang hendak menggunakan jasanya. Sebelumnya, ia bahkan mendahulukan berinvestasi untuk usaha yang akan ia geluti daripada menabung.

Lain halnya dengan Adetya. Ia berencana menggunakan uang yang sudah ia tabung untuk membeli sebidang tanah di dekat rumah orang tuanya. Saat ditanya soal tabungan untuk menikah, ia mengaku tidak memikirkannya.

Salman, Adetya, Denny dan lainnya mengakui, milenial memang sebaiknya mulai belajar investasi. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Tejasari. Buat dia, investasi dalam bentuk reksa dana cocok untuk bekal berinvestasi ke depan bagi milenial.

“Jadi kalau memang mau emas, bagus, tapi saya sarankan untuk tetap belajar investasi. Karena di investasi itu bukan hasil investasinya aja tapi juga belajar mengerti apa itu investasi, seberapa penting, dan bagaimana sih sebenarnya investasi itu,” katanya.

Kementerian Keuangan juga menunjukkan data ada tren lain. Ada keinginan jelas kalangan milenial untuk berinvestasi. Salah satunya adalah lewat Surat Berharga Negara (SBN). Terbukti dari sebanyak 10,21 ribu investor Savings Bond Ritel (SBR) 008, 52% merupakan generasi milenial yang berusia 19–39 tahun. Sementara Generasi X yang berusia 40–55 tahun hanya sebanyak 28% dari total investor. Bahkan, baby boomers hanya sebanyak 18%.

Namun, secara volume, generasi baby boomers masih mendominasi pembelian SBR008. Sebanyak 42% volume pembeli SBR008 adalah baby boomers, 35% adalah Generasi X, dan volume pembelian SBR008 generasi milenial sebanyak 18%.

Menyiasati ini, ke depan, Lead Financial Trainer QM Financial Ligwina Hananto memproyeksikan akan semakin banyak milenial yang tertarik dengan kegiatan investasi yang menggunakan metode digital.

“Contoh pembelian reksa dana dan saham melalui digital hingga penggunaan P2P Platform,” ungkapnya.

Sementara itu, Resza justru mengatakan yang penting bagi milenial adalah memiliki dana darurat. Pasalnya, ia khawatir apabila milenial gagal dalam investasi, selanjutnya mereka malah sama sekali tak mau menabung untuk dana darurat.

Lagipula, sekarang sudah ada instrumen tabungan yang baru bisa diambil beberapa tahun ke depan dengan disertai bunga. “Itu kan dana darurat juga tapi bunganya bisa dinikmati di depan,” ucapnya. (Sanya Dinda, Kartika Runiasari, Bernadette Aderi, Agil Kurniadi, Rheza Alfian)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentar Login atau Daftar





TERPOPULER