27 September 2019
12:38 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) menyebutkan potensi wakaf di Indonesia mencapai Rp180 triliun. Karena itu, jumlah yang besar ini harus disalurkan menjadi aset-aset produktif agar manfaat wakaf dapat terus mengalir. Termasuk dalam bentuk wakaf tunai linked sukuk yang sudah diperkenalkan sejak Desember 2018 lalu.
Direktur Bidang Keuangan Inklusif, Dana Sosial Keagamaan, dan Keuangan Mikro Syariah Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) Ahmad Juwaini menyatakan potensi wakaf tunai setara 37,5% aset perbankan syariah.
“Jika dana wakaf sebesar itu masuk ke perbankan syariah, market share perbankan syariah bisa naik jadi 28,25%,” katanya saat konferensi pers “Potensi Ekonomi Wakaf dalam Ekosistem Ekonomi Syariah Indonesia” di Jakarta, Kamis (26/9).
Sebagai informasi, menurut catatan Otoritas Jasa Keuangan, pangsa pasar bank syariah per Juni 2019 masih di angka 5,9%. Pangsa pasar pada Juni 2019 membaik ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya. Pada Juni 2018, pangsa pasar perbankan syariah sebesar 5,7%.
Sayangnya, Ahmad menilai saat ini wakaf produktif masih sangat minim. Terbukti dengan program ‘Cash Waqaf Linked Sukuk’ (CWLS) yang belum mencapai target sebesar Rp50 miliar. Instrumen ini merupakan salah satu bentuk investasi sosial di Indonesia di mana wakaf uang yang dikumpulkan oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI) selaku Nazhir akan dikelola dan ditempatkan pada instrumen Sukuk Negara atau SBSN (Surat Berharga Syariah Negara) yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
“Kita lihat kembali tujuan, produknya, segmen pasarnya, kita harus duduk bersama untuk cash wakaf linked sukuk ini,” tambahnya.
Menurutnya, jika kendala dalam pencapaian ini tidak segera diselesaikan akan menghilangkan potensi wakaf produktif itu sendiri. Dia menegaskan semua wakaf yang produktif bisa dilakukan melalui investasi. Hal ini harus diarahkan menuju pengembangan ekonomi syariah khususnya industri halal.
“Investasi ini harus halal produknya, prosesnya, halal pendanaannya,” ucapnya.
Ahmad menyatakan pengembangan ekonomi syariah harus paripurna kehalalannya termasuk dalam hal pendanaan, penempatan dana di bank syariah, serta instrumen syariah seperti saham syariah.
Ke depan, Ahmad juga mengharapkan perkembangan wakaf tunai akan sejalan dengan perkembangan teknologi. Bukan tidak mungkin, menurutnya, wakaf tunai dikemas dalam bentuk aplikasi seperti halnya fintech peer to peer lending. Selain itu, dia juga mengharapkan wakaf tunai bisa mendukung pembayaran digital syariah. "Teknologi wakaf tunai kita harus sampai ke situ," ujarnya.
Di tempat yang sama, Direktur Pembiayaan Syariah Kementerian Keuangan Dwi Irianti Hadiningsih menegaskan angka wakaf tunai di tanah air masih sangat rendah. Terbukti dari nilai himpunan wakaf BWI yang semula ditargetkan Rp250 miliar lalu turun menjadi Rp50 miliar untuk membeli wakai tunai linked sukuk belum terealisasi.
”Kalau uang sudah terkumpul minimal Rp50 miliar bisa beliin sukuk," katanya.
Dia menegaskan posisi Kemenkeu hanya memfasilitasi agar wakaf tunai menjadi produktif dengan instrumen sukuk. Bukan dengan pemerintah memanfaatkan dana wakaf untuk berhutang.
"Kalau kami cari duit enggak perlu lewat wakaf," cetusnya.
Dia menjelaskan sukuk khusus wakaf ini strukturnya berbeda dengan sukuk yang sudah diterbitkan pemerintah selama ini. Di mana saat penempatan dana awal terdapat diskon sekitar 2%. Dia menghitung akan ada Rp1 miliar dana hasil diskon yang langsung bisa dimanfaatkan nazir untuk kemaslahatan umat.
"Cash waqaf linked sukuk platformnya sudah diluncurkan Desember 2018. Pertanyaannya, BWI untuk ngumpulin Rp50 miliar belum dapat. Apakah kurang promosi, atau trust?" ujarnya.
Padahal menurutnya, pemerintah tidak pernah kesulitan dalam menerbitkan sukuk yang jumlahnya bisa mencapai Rp20-an triliun. Karenanya, dia meminta semua pihak terutama BWI dapat lebih menjaring wakaf tunai untuk membeli sukuk ini. (Kartika Runiasari)