c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

08 Juni 2020

21:00 WIB

Tuduhan Trade Remedies Sebabkan Indonesia Rugi Rp26,5 triliun

Selama masa pandemi covid-19, Indonesia menghadapi 10 tuduhan antidumping dan enam investigasi safe guard

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Tuduhan Trade Remedies Sebabkan Indonesia Rugi Rp26,5 triliun
Tuduhan Trade Remedies Sebabkan Indonesia Rugi Rp26,5 triliun
Sebuah peti kemas dinaikkan ke dalam kapal kargo di Pelabuhan Pantoloan, Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (2/5/2020). Aktivitas bongkar muat peti kemas di pelabuhan tersebut tetap berjalan dan untuk pengangkutan penumpang dihentikan sementara waktu untuk mengantisipasi penyebaran COVID-19. ANTARAFOTO/Mohamad Hamzah

JAKARTA – Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mencatat hingga 31 Mei 2020 terdapat 16 inisiasi tuduhan baru trade remedies selama pandemi covid-19 kepada Indonesia.

Trade remedies merupakan instrumen yang digunakan secara sah untuk melindungi industri dalam negeri suatu negara dari kerugian akibat praktik perdagangan tidak sehat, di antaranya bea masuk antidumping (BMAD), bea masuk tindak pengamanan sementara (BMTP) atau safeguards.

Plt. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan Srie Agustina mengatakan, dengan 16 tuduhan baru tersebut Indonesia kehilangan potensi devisa negara hingga US$1,9 miliar atau setara dengan Rp26,5 triliun.

"Semua tuduhan tersebut berpotensi menyebabkan hilangnya devisa negara US$1,9 miliar atau setara Rp26,5 triliun, suatu angka yang tak sedikit di tengah kebutuhan dumper devisa untuk pendapat negara," katanya saat webinar Trade Remedi di Masa Pandemi: Peluang dan Tantangan, Senin (8/6).

Selama masa pandemi covid-19, Indonesia menghadapi 10 tuduhan antidumping dan enam investigasi safe guard. Adapun dari kasus tersebut, 14 kasus merupakan investigasi baru pada 2020 dan dua kasus lainnya merupakan investigasi review.

Ia memaparkan, produk ekspor Indonesia yang dikenakan tuduhan antidumping dan safeguards tersebut antara lain adalah produk mono sodium glutamat, produk baja, produk alumunium, produk kayu, benang tekstil, bahan kimia, hingga produk otomotif.

"Sungguh angka kehilangan devisa yang besar hanya dalam lima bulan ini," ujarnya.

Srie menjelaskan, negara yang paling sering menerapkan aturan bea masuk anti-dumping dan safeguards terhadap produk ekspor Indonesia adalah India 54 kasus, Amerika Serikat 37 kasus, Uni Eropa 34 kasus, Australia 28 kasus, dan Turki 23 kasus.

Meningkatnya laporan terkait antidumping sendiri semakin massif sejak terjadinya perang dagang antara AS dengan China, dan bertambah sejak meluasnya pandemi covid-19 di berbagai negara di dunia.

Hal ini membuat sejumlah negara mengambil langkah proteksi untuk melindungi produk dalam negerinya dari serbuan produk impor, serta menjaga produk ekspornya untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri karena terbatasnya produksi di masa pandemi.

"Negara lain di dunia melakukan pelarangan ekspor dan impor dan penggelontoran berbagi insentif guna mencegah keterpurukan ekonomi semakin dalam," ucapnya.

Perdagangan Tumbuh Negatif
International Monetary Fund (IMF) memprediksi ekonomi dunia 2020 akan tertekan hingga negatif 3% akibat pandemi covid-19 dan perdagangan dunia diprediksi tumbuh negatif 11%.

Sedangkan, WTO juga memperkirakan pertumbuhan perdagangan dunia akan terkoreksi cukup dalam akibat pagebluk.

"WTO bahkan meramalkan perdagangan dunia akan terhempas sangat dalam yaitu antara negatif 13% sampai negatif 32%," kata Srie.

Di tengah prediksi perlambatan pertumbuhan perdagangan dunia, Srie mengungkapkan perdagangan Indonesia dinilai masih menunjukkan pertumbuhan yang positif. Hal itu terlihat dari neraca dagang periode Januari–April 2020 mencatatkan surplus sebesar US$2,2 juta.

Surplus tersebut disumbang oleh peningkatan ekspor produk Indonesia sebesar 0,44% (year on year/yoy) menjadi US$53,95 miliar. Sedangkan impor mengalami penurunan 7,78% yoy menjadi US$51,71 miliar.

"Kalau kita lihat impor di April 2020 ternyata menurun cukup dalam, sebesar minus 18,6%," ujarnya.

Bila impor Indonesia digolongkan dalam penggunaan barang, pada periode Januari–April 2020 terdiri dari bahan baku sebesar 75,5%, barang modal dan konsumsi masing-masing 15,1% dan 9,4% dari total impor.

Adapun untuk nilai impor bahan baku selama Januari sampai April 2020 mencapai US$39,05 miliar atau turun 7,3% dibandingkan tahun lalu. Sementara impor barang modal turun 14,1% dan untuk impor barang konsumsi tidak begitu mengalami perubahan dibandingkan periode tahun lalu.

Kendati demikian, Srie mengatakan, penurunan sejumlah impor bahan baku dan barang modal tersebut perlu diwaspadai. Karena, hal tersebut merupakan indikator terganggunya produksi sejumlah industri akibat pandemi covid-19.

"Dengan indikator penurunan impor bahan baku dan barang modal ini perlu kita waspadai karena menunjukkan kegiatan industri dalam negeri tidak terlalu bergerak dan kemungkinan terganggu," ucapnya. (Rheza Alfian)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar