02 September 2017
14:38 WIB
Editor: Rikando Somba
BANDUNG - Julukan Paris Van Java yang diberikan pada Kota Bandung bukan tanpa alasan. Istilah tersebut digunakan oleh orang-orang Eropa khususnya Belanda yang tinggal di Indonesia pada zaman kolonial dulu untuk menggambarkan bagaimana suasana Bandung yang bagi mereka mirip dengan Paris, Perancis. Paris Van Java sendiri memiliki arti Paris of Java atau Paris-nya Pulau Jawa.
Bandung kala itu tengah dibangun menjadi sebuah kota yang lengkap dengan keindahan dan sarana prasarana bagi warga Eropa untuk menjaga suasana dan kenyamanan khas Eropa di saat mereka tengah tinggal di antara kaum pribumi Indonesia.
Oleh orang-orang Belanda, Bandung dijadikan sebagai pusat kegiatan mereka, mulai dari kegiatan politik, intelektual, kesenian, budaya, hingga hiburan dan rekreasi.
Pada tahun 1920-an, di Bandung diadakan sebuah Jaarbeurs atau semacam pasar malam di sebuah komplek di Jalan Aceh. Di pasar malam tersebut diselenggarakan berbagai macam acara, mulai dari teater sandiwara, musik, sampai pada pameran dan penjualan pakaian-pakaian model terbaru dari Paris. Inilah cikal bakal Bandung dijuluki sebagai Parisnya Pulau Jawa.
Lepas dari masa colonial, perkembangan mode di Bandung tetaplah pesat. Di dunia fashion, kalangan mampu di Bandung saat itu memiliki selera yang “sangatlah Paris” sehingga Bandung dikatakan sebagai pusat mode, seperti halnya Paris.
Hingga kini, saat bicara soal mode fashion dan bisnis pakaian, Bandung tentu menjadi tujuan banyak orang. Banyak toko-toko baju, distro, dan factory oultet bertebaran di Kota Kembang ini. Factory Outlet atau yang lebih dikenal dengan singkatan FO, menjadi salah satu tujuan wisata favorit bagi wisatawan domestik khususnya warga Jakarta.
Banyak wisatawan yang berburu pakaian, tas, dan sepatu dengan model-model terbaru yang dijual di FO. Menurut mereka, Bandung sebagai pusat mode di Indonesia memiliki rasa dan suasana khas yang tidak mereka rasakan di kota lain.
“Bandung ini kan terkenal dengan Paris Van Java, terkenal dengan modelnya, jadi kiblatnya di Indonesia lah hitungannya. Di Jakarta, di Depok sih ada (factory outlet-red), tapi hawanya nggak dapet,” kata Hari, warga Jakarta yang sedang berkunjung ke FO Heritage Bandung, kepada Validnews, Sabtu (26/8).

Demikian pula dengan Alo, warga Nusa Tenggara Timur yang juga sedang menikmati suasana akhir pekan di beberapa FO di kawasan Jalan Riau Bandung. Ia mengatakan bahwa ia mengunjungi FO kalau sedang berlibur di Bandung.
“Jalan Riau di sini kan terkenal dengan pakaiannya apa semuanya ada di sini, jadi saya kemari dengan teman-teman saya,” ujarnya.
Akan tetapi berdasarkan pantauan Validnews suasana di beberapa FO khususnya di kawasan Jalan Riau, sudah tidak seramai beberapa tahun lalu. Bisa dibilang antusiasme warga atas FO khususnya, terlihat menurun. Bahkan ada beberapa FO yang terlihat sudah gulung tikar.
Ketika ditanyakan mengenai semakin sepinya FO beberapa waktu belakangan, Hari dan Alo menyetujui dan memiliki pandangan tersendiri soal alasan mengapa FO terlihat sepi bahkan di akhir pekan sekalipun. Hari berpendapat bahwa faktor eksternal seperti kemacetan lalu lintas di Bandung menjadi alasan mengapa warga menjadi “malas” berkunjung ke FO.
“Orang ke Bandung tuh , macetnya itu yang udah bisa dikatakan 90% udah mirip Jakarta, mungkin dari situ juga bisa dijadikan indikator penurunan di beberapa FO di Bandung. Apalagi kita kan bawa anak, bawa keluarga, kadang anak udah rewel karena macet,” ujar Hari.
Sementara itu Alo berpendapat bahwa trend toko online zaman sekarang juga bisa menyebabkan turunnya tingkat pengunjung FO.
“Dulu sekitar tiga tahun lalu saya datang dengan keluarga pas liburan sih masih ramai. Cuma kalau dikatakan menurun, saya rasa bukan di sini saja. Kami di sana (NTT) juga semua pengusaha mengeluh, omset menurun. Mungkin karena ada bergesernya pola transaksi ke beberapa toko online juga, tapi itu juga untuk beberapa jenis barang saja sih,” ungkapnya.
Untuk melihat seberapa besar penurunan tingkat penjualan yang dialami FO di Bandung, Validnews mencoba mendatangi salah satu FO masih di kawasan Jalan Riau dan bertemu dengan penyelia atau supervisor di sana. Hanya saja ia tidak ingin nama dan FO tempat ia bekerja disebutkan namanya. Sebagian besar FO di kawasan tersebut memang tertutup ketika ditanyakan tentang hal ini.
Menurut penyelia tersebut, sejak tahun 2016 lalu omset mereka menurun sekitar 50%. Ada beberapa faktor yang menyumbang penurunan tersebut. Salah satunya adalah semakin ketatnya persaingan yang berdampak ke omset mereka.
“Ada penurunan, setengahnya, sekitar 50% lah. Bandung ini kan tempatnya orang kreatif. Kreatif maksudnya dari baju aja misalkan, kita jalan sedikit ke sebelah udah ketemu FO lain berjamur. Kalau weekend sekarang juga udah banyak yang jual-jual baju pakai mobil di pinggir jalan. Masyarakat pasti lebih memilih berbelanja ke sana karena mereka bisa beli dengan harga lebih murah dibanding kita,” ungkapnya.
“Saat ini kalau dihitung per hari di weekend, kita dari Rp 100 juta, sekarang hilang sekitar dari Rp 30-40 juta,” imbuhnya.
Ia juga menambahkan bahwa hadirnya toko-toko daring atau e-commerce juga berdampak pada omset FO. Hal yang menarik ketika ia menyampaikan bahwa banyak wisatawan asing yang datang ke FO mereka hanya untuk membandingkan harga jual di FO dengan harga dalam toko daring yang sudah mereka akses.
“Iya, kita juga ada tamu-tamu dari luar, kan kita ada lokal, ada dari luar juga. Kadang orang luar tinggal buka HP lihat harga di online lalu dibandingkan ke sini, itu jelas benar-benar beda”, ungkapnya.
Ia mengatakan bahwa kebanyakan warga asing yang datang dari luar kebanyakan dari Malaysia, Singapura, Cina, dan Arab. Namun, kedatangan wisatawan asing itu bergantung pada mobil-mobil travel yang membawa para wisatawan ke FO mereka.
“Kita di sini juga ngandelin travel, travel yang ngebawa orang-orang dari luar Bandung. Kalau untuk ngandelin lokal orang-orang Bandung sendiri jarang belanja di outlet-outlet. Tapi kalau orang luar Bandung pasti mampir ke sini supir-supir travel yang bawa, jadi kita selalu komunikasi dengan travel. Cuma sejak masuk 2017 ini volumenya aja yang berkurang untuk ke sininya,” tambahnya.
Berbagai upaya pun dilakukan demi bertambahnya angka kunjungan dan belanja di FO. Salah satunya adalah dengan promosi model-model baju yang pernah dikenakan para artis yang tengah naik daun.

Bertahan berkat Online
Tidak hanya FO, Validnews juga coba mendatangi beberapa distro di kawasan Jalan Dewi Sartika. Salah satu distro dengan brand Threshold menyebutkan bahwa beberapa bulan terakhir omset juga turun sebesar 50%.
“Tiga bulan ke belakanglah, karena mungkin bertepatan dengan masuk sekolah, 17-an, lalu mau Idul Adha, jadi omset kita turun, tapi kalau sebelum-sebelumnya masih amanlah,” ungkap Tantan, penanggungjawab Distro Treshold.
Ditanya mengenai isu tutupnya beberapa bisnis pakaian di Bandung, Tantan mengatakan bahwa kondisi manajemen beberapa distro yang perlu dibenahi. Distro tempat ia bekerja sendiri memiliki cara untuk tetap bertahan lewat penjualan daring dan persiapan stok yang cukup untuk penjualan.
“Itu memang ada yang tutup, tapi itu karena barangnya nggak berputar, sedangkan biaya produksi terus membengkak. Harus ada dana cadangan kalau seperti itu. Kita di sini yang penting online-nya jalan, stok-nya jalan, penjualan kita komplitlah di sini,” tuturnya.
Meski menurutnya penjualan distronya masih dalam kategori aman, Tantan berkata bahwa para pebisnis distro harus mewaspadai kehadiran toko-toko daring saat ini yang juga membuat mereka harus lebih aktif lagi dalam mencari pembeli. Termasuk, menyediakan produk yang sesuai minat pembeli.
“Kita sekarang lebih baik kita yang jemput bola, jangan nunggu. Kalau dulu misalkan pas bulan puasa banyak orang datang, sekarang mah kita harus nyari. Itu yang online store kan ngehajar kita habis-habisan, kita nggak boleh kalah. Mereka itu berani jual baju bisa murah, itu bisa mematikan kita,” ungkapnya khawatir.
Sebagai informasi, Threshold ini masih satu manajemen dengan brand yang sempat digandrungi kawula muda di Bandung, Prapatan Rebel. Brand ini sempat mendominasi penjualan kaos, jaket, tas, dan lain sebagainya yang bertemakan musik-musik rock dan metal.
Meredupnya sinar dan kejayaan musik rock dan metal saat ini menurut Tantan tidak begitu berpengaruh terhadap penjualan mereka. Menurutnya, kebanyakan orang hanya mengikuti trend saja, hanya sedikit yang betul-betul fanatik terhadap musik tertentu.
“Itu nggak terlalu ngaruh. Banyak orang kan juga cuma ikut-ikutan aja. Dulu metal, punk, emo, sekarang mah anak-anak muda nyari-nya baju-baju hiphop, kita sediain, kita juga ada. Apa yang orang mau, kita ada,” tuturnya. (Maynard Kevin)