c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

24 September 2018

17:03 WIB

Tawarkan Public Private Partnership, Kemenperin Gaet Investor Teluk Bintuni

Sejauh ini, hanya ada PT. Kaltim Methanol Indonesia yang memasok metanol dari Indonesia untuk kebutuhan domestik, dengan jumlah hanya sebanyak 330 ribu ton per tahun

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Tawarkan Public Private Partnership, Kemenperin Gaet Investor Teluk Bintuni
Tawarkan Public Private Partnership, Kemenperin Gaet Investor Teluk Bintuni
Ilustrasi kawasan industri Teluk Bintuni, Papua Barat. Ist

JAKARTA – Masuk dalam daftar proyek strategis nasional, pengembangan Kawasan Industri Petrokimia di Teluk Bintuni, Papua Barat kini mulai digencarkan oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin).

Demi mendorong percepatan pembangunan di kawasan industri tersebut, skema kerja sama antara Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) atau lazim disebut Public Private Partnership (PPP) pun mulai digarap.

“Kawasan industri Teluk Bintuni difokuskan untuk pengembangan industri petrokimia. Apalagi, ini telah menjadi proyek strategis nasional,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto seperti dikutip dari rilisnya, Senin (24/9).

Hal itu disampaikan Airlangga dalam acara Market Sounding Pengembangan Kawasan Industri Petrokimia di Teluk Bintuni, yang berlangsung di Jakarta, Senin (24/9). Kegiatan itu dihadiri oleh 180 orang, yang terdiri dari instansi pemerintah, pelaku usaha, perwakilan negara sahabat, asosiasi, kontraktor, perbankan, hingga stakeholder lainnya.

Market sounding ini sebagai sarana sosialisasi kepada para pemangku kepentingan sekaligus menarik investor terkait akselerasi pembangunan kawasan industri Teluk Bintuni,” ungkap Airlangga.

Airlangga juga mengatakan, pembangunan kawasan industri Teluk Bintuni ini beriringan dengan program prioritas pemerintah dalam memacu pembangunan infrastruktur serta pertumbuhan industri di luar Jawa. Lewat pembangunan yang merambah luar Jawa tersebut, diharapkan nantinya juga terjadi pemerataan ekonomi yang inklusif.

Untuk diketahui, kawasan industri yang difokuskan sebagai basis industri pupuk dan petrokimia ini rencananya dibangun di Kampung Onar Baru, Distrik Sumuri, Teluk Bintuni. Wilayah Teluk Bintuni sendiri diprediksi mempunyai cadangan gas bumi sebanyak 23,7 triliun kaki kubik (TCF).

Terkait dengan potensi itu, Airlangga dengan tegas menekankan bila pemanfaatan cadangan tersebut akan diutamakan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Maka dari itu, dapat menggerakkan ekonomi dalam negeri.

“Pabrik petrokimia yang akan berada di kawasan industri Teluk Bintuni nanti menjadi salah satu sumber penghasilan daerah tersebut, dan menjadi anchor pertumbuhan pabrik-pabrik downstream lainnya,” tutur Airlangga.

Airlangga melanjutkan, pemilihan pabrik yang akan menjadi anchor ini menjadi penting. Lewat analisis suplai dan demand, tampak bahwa metanol merupakan produk yang layak untuk dijadikan sebagai anchor industry tahap pertama.

“Selain mengenai kebutuhan dalam negeri, pemilihan metanol sebagai anchor industry juga mempertimbangkan potensi metanol untuk dijadikan sebagai produk turunan seperti polietilen atau polipropilen, dimetil eter (DME), methyl tertiary butyl ether (MTBE) dan lain-lain,” paparnya.

Sebagai rencana pengembangan awal, dari total 200 ha yang telah dibebaskan, ada sebanyak 50 ha dari kawasan industri Teluk Bintuni yang akan digunakan untuk pengembangan anchor industry berupa pabrik metanol. Pembangunan pabrik tersebut didukung oleh suplai gas dari BP Tangguh.

Lebih rinci pada tahap pertama, BP Tangguh akan berkomitmen untuk menyediakan gas sebanyak 90 MMSCFD di tahun 2021. Dan kembali menyediakan dalam jumlah yang sama di tahun 2026 sebagai tahap keduanya.

Lalu, sisa cadangan lahan dapat digunakan untuk tahap III sebesar 176 MMSCFD dari Genting Oil dan potensi industri lain yang bisa dikembangkan. Tercatat, nilai capital expenditure dari pengembangan kawasan industri tersebut diperkirakan sebesar Rp1,7 triliun.

Kemenperin mencatat, kebutuhan metanol di Indonesia pada tahun 2021 diprediksi mencapai 871.000 ton. Sejauh ini, hanya ada PT. Kaltim Methanol Indonesia yang memasok metanol dari Indonesia untuk kebutuhan domestik, dengan jumlah hanya sebanyak 330 ribu ton per tahun.

Airlangga berharap, kawasan industri petrokimia di Teluk Bintuni akan berkembang seperti kawasan industri petrokimia yang sudah berkembang pesat. Dirinya mencontohkan klaster industri petrokimia di Bontang, Kalimantan Timur, yang mampu bertahan hingga lebih dari 30 tahun.

Hingga saat ini, telah terdapat lima industri petrokimia yang berada di kawasan Kaltim Industrial Estate (KIE) Bontang dengan menghasilkan komoditas yang beragam, antara lain amoniak, pupuk urea, metanol, dan amonium nitrat.

Menperin yakin, kehadiran sektor hulu di kawasan industri petrokimia di Teluk Bintuni dapat memenuhi kebutuhan bahan baku metanol dalam negeri.

“Selain itu, mengurangi ketergantungan impor bahan baku dan memacu pertumbuhan industri hilir lainnya, yang memberikan nilai tambah lebih besar terhadap perekonomian nasional,” terang Airlangga.

Kemenperin mencatat, pada tahun 2017, industri kimia menjadi salah satu sektor penyumbang utama terhadap PDB sebesar 1,73%  atau senilai Rp236 triliun. Di mana industri petrokimia menjadi salah satu penghasil komoditas bahan baku penting untuk sektor industri lainnya.

Selain itu, pertumbuhan industri kimia mencapai 3,48% dengan pertambahan nilai investasi mencapai Rp42,2 triliun.

Sekadar informasi, berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sepanjang Januari-Desember 2017 industri kimia dan farmasi mampu menjaring penanaman modal dalam negeri (PMDN) dengan total nilai investasi mencapai Rp13,73 triliun lewat 564 proyek.

Sedangkan, untuk penanaman modal asing (PMA) ada sebanyak 1.134 proyek investasi industri kimia dan farmasi yang nilainya mencapai US$2,57 miliar.

Skema PPP
Terkait dengan bentuk skema kerja sama, Menperin menambahkan jika bentuk yang dipilih dalam pengembangan kawasan industri Teluk Bintuni, antara lain adalah Design, Build, Maintain, and Transfer (DBMT).

Nantinya, Badan Usaha Pelaksana (BUP) yang ikut dalam proyek ini diberikan tanggung jawab penuh untuk merancang, membangun, dan memelihara infrastruktur. Lebih rinci, cakupan infrastruktur itu meliputi ketenagalistrikan, pengelolaan limbah dan air limbah, sistem penyediaan air minum, transportasi, hingga telekomunikasi.

“Infrastruktur itu sesuai dengan spesifikasi output yang telah dipersyaratkan, serta menyerahkan aset yang dikerjasamakan kepada Penanggung Jawab Proyek Kerja sama (PJPK) setelah berakhirnya Perjanjian KPBU,” jelasnya.

Tidak hanya itu, BUP juga berkewajiban untuk memberikan layanan yang berasal dari infrastruktur kawasan kepada tenant sesuai dengan spesifikasi keluaran dan indikator kinerja tertentu.

Selain itu, demi proyek tidak ini mangkrak, BUP berkewajiban untuk memiliki mitra yang bertanggung jawab untuk melakukan pembangunan anchor industry berupa pabrik metanol. Nantinya, pabrik metanol tersebut memiliki kapasitas produksi hingga 900 kiloton per annum (KTA), dengan mendaya gunakan pasokan gas sebesar 90 MMSCFD dari BP Tangguh.

Sementara itu, Badan Layanan Umum (BLU) Kemenperin akan melakukan pengelolaan atas kawasan industri tersebut, sehingga tarif layanan yang berasal dari infrastruktur kawasan industri menjadi hak BLU Kemenperin.

Di sisi lain, BUP diberikan hak atas pengembalian investasi berupa pembayaran ketersediaan layanan (availability payment) dari Kemenperin sebagai penanggung jawab proyek kerja sama.

“Pemerintah akan prioritaskan pembangunan infrastrukturnya, seperti pelabuhan untuk supporting kawasan industri itu sendiri. Di dalam kawasan industri juga dipastikan sudah ada izin lingkungan hidup,” tutupnya. (Shanies Tri Pinasthi)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar