09 Januari 2020
20:26 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Hingga penghujung 2019, kinerja lifting minyak dan gas (migas) nasional meleset dari target capaiannya dalam APBN. Realisasi lifting migas tercatat sebesar 1,806 MBOEPD atau 89% dari target yang dipatok dalam APBN. Capaian lifting migas tersebut 6,28% lebih rendah dari realisasi tahun 2018.
“Untuk produksi dan lifting tentu yang kita butuhkan adalah adanya cadangan. Jadi produki dan lifting selama belum ada cadangan yang signifikan maka proses decline-nya (penurunan.red) tidak bisa dihindarkan,” kata Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto dalam Konferensi Pers Capaian Kinerja Hulu Migas Tahun 2019 dan Target Tahun 2020, di Kantor SKK Migas Jakarta, Kamis (9/1).
Melesetnya target 2019 lalu terjadi baik pada lifting minyak maupun gas. Realisasi lifting minyak mencapai 746 ribu BOPD, atau 96,3% dari target APBN. Sementara realisasi lifting gas mencapai 5,934 MMSCFD atau 84,8% dari target APBN.
Target APBN tersebut, menurut Dwi, memang dipatok tinggi jauh di atas usulan dari KKKS serta kemampuan teknis yang tertuang dalam Work, Program & Budget (WP&B). Jika mengacu pada kemampuan teknis dalam WP&B, target lifting minyak adalah sebesar 729,5 ribu BOPD dan lifting gas sebesar 5,937 MMSCFD.
Dwi Soetjipto menjelaskan dalam pelaksanaannya berbagai langkah dalam mencapai tingkat operasi yang maksimal di hulu sudah coba dilakukan. Antara lain yaitu melalui Filling the Gap (FTG), Production Enhancement Technology (PET), Management Work Through (MWT), Optimisasi Planned Shutdown dan lainnya. Upaya itu mampu mendorong KKKS mencapai kemampuan teknis yang tertuang dalam Work, Program & Budget (WP&B).
“SKK Migas dan KKKS telah bekerja keras, di tengah tantangan decline rate yang secara alamiah mencapai 20% per tahun. Capaian lifting minyak 2019 yang 102,3% di atas target WP&B menunjukkan effort maksimal dari seluruh pelaku usaha hulu migas,” kata Kepala SKK Migas.
Untuk gas, lebih lanjut ia menjelaskan kinerja lifting gas di 2019 pada awalnya sempat mencapai angka 6,002 MMSCD. Capaian ini diperoleh setelah SKK Migas dan KKKS melakukan berbagai terobosan dan inovasi melalui kegiatan FTG, PET, manajemen, optimisasi planned shutdown dan lainnya.
Namun, kemudian ada curtailment gas 60,8 MMSCFD seperti yang terjadi di JOB PMTS, Pertamina EP dan ENI. Kemudian kejadian H2S Spike EMCL dan accident di lapangan YY memberikan penurunan sebesar 7,2 MMSCFD. Meskipun kinerja gas kurang menggembirakan, secara keseluruhan lifting migas di tahun 2019 yang mencapai 1,806 MBOEPD disebut masih 101,1% di atas target WP&B.
Lebih lanjut, Dwi mengatakan untuk memberikan kontribusi yang optimal bagi pendapatan negara, SKK Migas terus melakukan efisiensi dan mendorong KKKS untuk dapat menerapkan praktek opersional terbaik. Realisasi biaya cost recovery tahun 2019 yang mencapai US$10,9 miliar atau 92,66% dari target dalam APBN.
Biaya cost recovery tahun lalu lebih kecil dibanding 2018 yang sebesar US$12,5 miliar. Sementara jika mengacu pada pada target WP&B SKK Migas tahun 2019, biaya cost recovery sebenarnya diperkirakan akan mencapai US$12,5 miliar.
Penurunan realisasi cost recovery tersebut memberikan dampak positif berupa semakin besarnya pendapatan yang diterima oleh negara. Hal itu juga menunjukkan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh SKK Migas telah dapat dilaksanakan secara efektif dengan tetap menghasilkan target lifting yang optimal di atas WP&B.
“Kami senantiasa bekerja keras dan terus menerapkan corporate governance dalam menjalankan tugas, agar target dapat dipenuhi dan dalam pelaksanaanya memenuhi ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan,” pungkas Dwi Soetjipto. (Bernadette Aderi)