c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

10 Juli 2017

10:59 WIB

Tak Mati Karena "Nggak Jajan, Nongkrong Doang"

Ada penyebab lain dari lesunya penjualan ritel-ritel di Indonesia yang juga menimpa Sevel. Beberapa di antaranya adalah peraturan-peraturan pemerintah yang sensitif sehingga menimbulkan suasana kurang kondusif bagi industri ritel.

Editor: Rikando Somba

Tak Mati Karena "Nggak Jajan, Nongkrong Doang"
Tak Mati Karena "Nggak Jajan, Nongkrong Doang"
Seluruh gerai 7-Eleven di Indonesia di bawah PT Modern International Tbk resmi tutup pada 30 Juni 2017. ANTARA FOTO/Paramayuda/aww/17.

JAKARTA - Berhenti beroperasinya seluruh gerai 7-Eleven (Sevel) 30 Juni lalu menjadi kado libur Idul Fitri yang cukup mengejutkan masyarakat. Semua media memberitakannya. Kabar kebangkrutan Sevel sebenarnya sempat menyeruak sejak akhir tahun kemarin. Hanya saja isu tersebut sempat mereda tatkala ada kabar PT Charoen Pokphand Restu Indonesia (CPRI) berniat mengakuisisi Sevel dari PT Modern International Tbk.

Suratan takdir berkata lain. Gagalnya kesepakatan dengan CPRI membuat tempat ‘nongkrong’ masyarakat urban ini harus rela berhenti bernafas. Sekalipun fase “sakit” sudah sekian lama terdengar, menurut survei yang dilakukan terhadap netizen oleh pusat kajian Visi Telti Saksama, kematian Sevel di Indonesia tetap saja mengejutkan. Bahkan, dari 306 responden yang kerap “nongkrong” di Sevel, mayoritas mengaku kecewa dan sangat kecewa dengan penutupan semua gerai Sevel di Jakarta dan sekitarnya. (lihat infografis).

Hipotesis selama ini yang menyatakan cara berjualan Sevel yang terlalu “murah hati” menyediakan meja dan kursi untuk pelanggan serta jaringan Wi-fi gratis sebagai penyebab kebangkrutan, tak sepenuhnya benar.

Masih menurut survei di atas, mayoritas responden (34%) mengaku sekali kunjungan ke Sevel menghabiskan uang sekitar Rp 20.000—30.000. Bahkan 40,3% lagi mengaku membelanjakan uangnya lebih dari Rp 30.000 sekali kunjungan ke Sevel. Itu pun dengan durasi “nongkrong” dari 60,2% responden yang relatif singkat, yakni kurang dari satu jam.

Ragam pilihan makanan, murah tanpa batas waktu “nongkrong”, lokasi mudah dijangkau dan tempat yang nyaman menjadi alasan responden memilih Sevel sebagai tempat singgah sejenak. Hal yang mengejutkan, alternatif pilihan “nongkrong” responden selain Sevel sebagian besar (45,7%) menyebut gerai J Co Donuts and Coffee.

Seperti diketahui, harga makanan dan minuman di J Co sendiri tidaklah bisa dibilang murah. Pendeknya hasil survei di atas, sekalipun mungkin tak menjaring keseluruhan fakta, bisa sedikit mengambarkan sedikit kondisi yang terjadi pada Sevel.

 

 

Dihubungi Validnews, CEO Sogo Indonesia Handaka Santosa membenarkan hal tersebut.  Ia menampik adanya anggapan bahwa “mati”-nya Sevel ini karena kesalahan konsep yang disajikan. Menurut Handaka, penggabungan antara toko kelontong modern dan tempat makan di Sevel sejatinya justru dianggap sebagai karakteristik yang menjadi pembeda.

“Nongkrong kan cuma tambahan. Ya sekarang ini orang jalan-jalan ke tempat ritel, ada tempat duduknya lebih nyaman dong, malah melengkapi. Justru menurut saya bukan hanya karena itu (sevel tutup), tetapi karena penurunan di dalam penjualan,” tutur Penasihat Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) tersebut di Jakarta, Kamis (6/7).

Handaka menuturkan, ada penyebab lain dari lesunya penjualan ritel-ritel di Indonesia yang juga menimpa Sevel. Beberapa di antaranya adalah peraturan-peraturan pemerintah yang sensitif sehingga menimbulkan suasana kurang kondusif bagi industri ritel. Misalnya saja soal pelarangan menjual minuman keras hingga sentimen negatif yang menganggap ritel modern akan membunuh usaha kecil dan menengah (UKM).

Handaka menganggap, pelarangan penjualan alkohol memang menjadi salah satu penyebab turunnya penjualan Sevel.

Kan ada (peraturan) yang nggak boleh jual bir, ada yang yang nggak boleh jual ini-itu,” serunya.

Ia menambahkan, peraturan yang mengatur tentang minimarket alangkah baiknya dibikin lebih kondusif. “Kalau Anda lihat di luar negeri, minimarket kan juga bertebaran di mana-mana. Jadi, nggak dibilang mematikan usaha UKM dan lainnya. Kan saling melengkapi. Kalau diatur dari awal dengan aturan-aturan yang lebih jelas, mestinya nggak masalah,” ucapnya.

Tutupnya Sevel, lanjutnya, seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk membuat peraturan yang lebih pro bisnis. Bagaimanapun di balik gulung tikar atau keputusan tutupnya suatu usaha ritel, bukan pengusaha yang menjadi sorot utama, melainkan adanya dampak peningkatan pengangguran.

“Saya rasa apa kesulitan yang dihadapi oleh 7-Eleven juga secara umum dihadapi oleh bisnis minimarket yang lain, sih. Hanya saja, mereka masih bisa bertahan,” kata Handaka.

Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta menyatakan, tutupnya Sevel tidak perlu dikhawatirkan oleh convenience store lainnya. Menurutnya, tutupnya brand ini di Indonesia adalah keputusan pribadi perusahaan yang pasti memiliki pertimbangan tersendiri. 

“Ini bukan penyakit menular. Sekali lagi saya katakan, masing-masing punya perhitungan bisnis sendiri. Model bisnisnya masing-masing. Mereka pertimbangan bisnis untung tidaknya pasti punya alasan tersendiri,” tuturnya kepada Validnews di Jakarta, Kamis (6/7).

Ia yakin, matinya Sevel tidak akan berefek banyak ke usaha ritel lainnya. Menurut Tutum, setiap usaha ritel memiliki karakteristiknya masing-masing. Hanya saja, ia tidak menampik adanya penurunan daya beli konsumen yang mesti menjadi perhatian peritel lainnya agar tidak mengalami nasib serupa dengan Sevel.

“Saya kira sangat dipengaruhi oleh daya beli yang belum pulih kalau ditanya secara umum dari situasi saat ini. Saya kira itu kuncinya. Penyebab itu yang mesti kita pelajari, apa yang menjadi penyebab daya beli ini yang masih belum baik,” katanya.

 

 

Terseok Lebih Dulu

Penurunan daya beli ini dapat dilihat dari laporan keuangan PT Modern Internasional Tbk. Berdasarkan data keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, induk usaha 7-Eleven, PT Modern International Tbk (MDRN) mencatatkan rugi bersih sebesar Rp447,932 miliar dalam tiga bulan pertama di tahun 2017. Padahal, di periode yang sama tahun sebelumnya, perseroan masih meraup untung sebesar Rp21,704 miliar.

Penyebab kerugian tersebut karena angka penjualan yang merosot. Di kuartal I-2017, perseroan mencatat angka penjualan menjadi sebesar Rp138,62 miliar. Angka tersebut anjlok sekitar 37,18% dari perolehan angka penjualan di periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp220,66 miliar. Di 2016 lalu, penjualan dari seluruh lini dagang perseroan ini mengalami penurunan sebesar 27,45% dari angka Rp1,228,7 triliun menjadi Rp891,421 miliar.

Terseoknya Sevel sejatinya mulai terjadi pada 2015 lalu. Saat itu total penjualan bersih Sevel turun menjadi Rp886,84 miliar. Untuk pertama kalinya 7-Eleven melakukan penutupan gerai. Di tahun itu, bahkan ada 20 gerai yang ditutup karena underperform. Sementara gerai baru hanya dibuka sebanyak 18, penambahan gerai paling sedikit sejak tahun 2011.

Secara umum, data Aprindo menyebutkan, penjualan ritel di Indonesia hingga Mei 2017 masih di bawah performa.  Penjualan ritel pada Januari tercatat hanya tumbuh sebesar 4,4%, kemudian di Februari 1,1%, Maret 5,6%, April 4,15%, dan Mei 3,6%. Sepanjang tahun lalu, pertumbuhan penjualan ritel masih bisa di angka 10% dengan nominal di kisaran Rp200 triliun.

Untuk diketahui, sektor ritel mencakup minimarket, supermarket, hypermarket, department store, dan wholesale atau kulakan. Sekalipun ada momen Lebaran, di minggu pertama dan kedua Juni kemarin, Aprindo menyebut rata-rata pertumbuhan minimarket bahkan minus 1-1,5%, sedangkan supermarket dan hypermarket minus 11-12%.

Namun, ketimbang menyalahkan penurunan penjualan dan daya beli, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution di sela acara halalbihalal Idul Fitri di kantornya, Jakarta, Senin (3/6) menilai, ada yang salah dari business model yang diterapkan Sevel di Indonesia. Pasalnya keterpurukan penjualan tak terjadi di negara lain.

Sevel di lain negara menurutnya tak menjual produknya di atas harga convenience store lain. “Bisnis modelnya (di negara lain) mungkin bukan restoran. Tetapi di sana mereka lebih banyak mengandalkan profit dari perdagangan itu sendiri, margin tipis karena dapatnya dari perusahaan yang masukan barang ke mereka,” ujarnya.

Menurut Darmin, kesalahan business model juga pernah terjadi pada perdagangan wholesale modern yang menjual secara kulakan. Ternyata, model seperti itu tak bisa tumbuh dengan baik di Indonesia yang akhinya membuat usaha tersebut gulung tikar.

Sevel awalnya berdiri pada tahun 1927 di Oak Cliff, Texas. Nama 7-Eleven mulai digunakan pada 1946. Toko pertama kali dibuka di Austin, Texas pada 1962 dan belum beroperasi 24 jam atau hanya buka dari pukul 7 pagi hingga 11 malam.

Pada 1991, Southland Corporation yang merupakan pemiliki 7-Eleven menjual sebagian besar sahamnya kepada perusahaan jaringan supermarket Jepang, Ito-Yokado. Southland Corporation diubah namanya menjadi 7-Eleven, Inc pada 1999.

Masuk ke Indonesia pada tahun 2008, Sevel dikelola oleh PT Modern Sevel Indonesia, anak usaha dari PT Modern International Tbk yang ingin mentransformasi usaha setelah bisnis fotonya mengalami kelesuan di era digital.

Sejak awal masuk sampai sekarang, Sevel hanya ada di Jakarta. Kota-kota besar lain seperti Surabaya, Medan, Bandung, Semarang, Balikpapan, dan Palembang sejauh ini masih dijadikan rencana ekspansi, tetapi belum terealisasi sampai akhirnya ‘menutup mata’ di akhir Juni 2017. (Teodora Nirmala Fau, Faisal Rachman)

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar