c

Selamat

Senin, 17 November 2025

EKONOMI

05 Maret 2019

14:44 WIB

Tak Hanya Unicorn, Ada Enam Level Startup Berdasarkan Valuasi

Gojek, Traveloka, Tokopedia, dan BukaLapak, empat startup Indonesia yang telah menyabet gelar unicorn. Gojek sebentar lagi akan mencapai level decacorn mengingat valuasinya sudah mencapai US$9,5 miliar

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Tak Hanya Unicorn, Ada Enam Level Startup Berdasarkan Valuasi
Tak Hanya Unicorn, Ada Enam Level Startup Berdasarkan Valuasi
Ilustrasi startup. www.startups.ie

JAKARTA – Startup atau perusahaan rintisan kini selalu menarik untuk diulas. Apalagi, kehadiran berbagai jenis startup di tengah masyarakat ini bukan hanya untuk bisnis saja, namun juga menjadi sebuah alternatif untuk memudahkan urusan penggunanya dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Indonesia Digital Creative Industry Society, jumlah startup yang berkembang di Indonesia hingga akhir tahun 2018 mencapai 992 startup yang menjangkau berbagai macam sektor. Mulai dari sektor transportasi, pendidikan, teknologi, hingga travelling.

Banyaknya demand atau permintaan konsumen terhadap jasa dari startup, membuat perusahaan-perusahaan ini mendapatkan atensi dari pemodal atau investor untuk terus berkembang dan berinovasi. Karena pertumbuhan dari startup sangat erat kaitannya dengan pendanaan, tidak mengherankan jika startup selalu identik dengan nilai atau valuasi.

Beberapa istilah dari tingkatan valuasi startup, seperti unicorn dan decacorn juga mulai familiar terdengar saat ini. Namun, sebenarnya apakah itu valuasi perusahaan rintisan?

Social Media Specialist Dailysocial.id Prilita Kamalia, seperti dilansir Antara (5/3) menjelaskan, valuasi merupakan nilai dari suatu perusahaan rintisan.

“Startup saat ini masih tergolong semi-enterprise sehingga nilai valuasinya ditentukan berdasarkan persetujuan antara founder dengan investor yang kemudian membuat perhitungan nilai valuasi startup menjadi beragam, tergantung dari persetujuan tersebut," kata Prilita.

Nilai atau valuasi dari sebuah perusahaan menurutnya dapat dihitung melalui beberapa cara, dan cara yang paling mudah adalah dengan menunjukkan profit bisnisnya. Misalnya sudah berapa banyak fitur yang telah dibuat dan dikembangkan, bagaimana respons masyarakat sebagai pengguna, seperti apa pertumbuhan user-nya, dan sebagainya.

Dengan pertumbuhan yang signifikan, perusahaan tersebut akan terus mendapatkan dukungan dari investor dan secara langsung juga menambah nilai perusahaannya.

“Karena itu, startup yang muncul saat ini sangat gencar untuk mempromosikan produknya kepada publik. Interaksi dengan pengguna menambah kredibilitas perusahaan dan tentu dapat meyakinkan investor untuk mendukungnya,” tambahnya.

 

Valuasi Startup
Tingkatan nilai atau valuasi dalam dunia startup sendiri bukan hanya unicorn dan decacorn seperti yang kita kenal. Saat ini terdapat enam sebutan dalam tingkatan valuasi perusahaan rintisan; yaitu cockroach, pony, centaurs, unicorn, decacorn, dan hectocorn. Tiga tingkatan awal dari perusahaan rintisan merupakan langkah pertama dari pertumbuhan suatu startup.

Dalam level cockroach, perusahaan rintisan memulai usahanya dan giat untuk melakukan promosi kepada publik. Prilita menambahkan, pertumbuhan nilai dari perusahaan biasanya mulai terlihat ketika perusahaan tersebut berada di level pony dengan valuasi sebesar US$10 juta dolar atau sekitar Rp141 miliar.

“Ketika sebuah perusahaan startup berada di level ini, perusahaan tersebut memiliki tantangan untuk mempertahankan atau malah mampu mengembangkan nilainya ke tingkatan selanjutnya, seperti centaurs atau bahkan unicorn,” terangnya.

Kemudian, startup disebut centaur ketika ia memiliki valuasi US$100 juta, unicorn US$1 miliar, decacorn US$10 miliar, dan hectocorn memiliki valuasi lebih dari US$100 miliar. Tiga level teratas dari valuasi startup adalah unicorn, decacorn dan hectocorn. Memerlukan waktu yang tidak sebentar bagi perusahaan-perusahaan rintisan untuk mendapatkan gelar-gelar tersebut.

Gojek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak merupakan empat perusahaan rintisan Indonesia yang telah menyabet gelar unicorn. Sementara Grab, startup asal Singapura telah menjadi pemilik predikat decacorn pertama di Asia Tenggara.

Gojek sebentar lagi akan mencapai level decacorn karena saat ini valuasi Gojek sudah mencapai US$9,5 miliar. Sementara untuk hectocorn dengan valuasi mencapai US$100 miliar, masih dipegang oleh Apple, Google, dan Microsoft.

Asal tahu saja, Indonesia merupakan pasar dengan pertumbuhan e-commerce yang menarik dari tahun ke tahun. Pasar e-commerce di Indonesia merupakan yang terbesar terutama di Asia Tenggara.

Bahkan dalam empat tahun terakhir mengalami kenaikan sebesar lima kali lipat. Sejak tahun 2014, Euromonitor mencatat, penjualan online di Indonesia sudah mencapai US$1,1 miliar.

Data sensus Badan Pusat Statistik (BPS) juga menyebut, industri e-commerce Indonesia dalam 10 tahun terakhir meningkat hingga 17% dengan total jumlah usaha e-commerce mencapai 26,2 juta unit. Pada tahun 2018, e-commerce di Indonesia tercatat mengalami pertumbuhan sangat pesat dan diperkirakan akan terus meningkat seiring berkembangnya jumlah pengusaha dan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di tanah air.

Potensi besar industri e-commerce di Indonesia juga dipengaruhi oleh gaya belanja online, terutama dari generasi milenial. Menurut Indonesia Millenial Report 2019, milenial sangat suka mencari perbandingan harga, fitur, program promo dan kualitas produk di beberapa e-commerce sebelum memutuskan membeli sebuah barang. Para milenial juga tidak segan untuk merekomendasikan e-commerce atau toko online favorit mereka kepada teman-teman mereka.

Hambatan dalam pertumbuhan e-commerce di Indonesia terkait jumlah transaksi yang masih kurang untuk industri yang sangat besar ini. Transaksi e-commerce di Indonesia perlu ditingkatkan lagi mengingat pertumbuhannya masih di bawah 10% dibandingkan dengan pertumbuhan pengguna internet yang sudah mencapai 50%.

Menurut pakar e-commerce, Ignatius Untung terdapat 31,6 juta pembelian melalui e-commerce. Jumlah ini tidak sampai separuh pengguna internet yakni sebanyak 140 juta pengguna. Dia menjelaskan rata-rata belanja pengguna dalam setahun, yaitu Rp1 juta sampai Rp1,5 juta. Jumlah transaksi ini dinilainya terlalu sedikit untuk pasar yang besar seperti di Indonesia.

 

 

Modal Asing
Sementara itu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong menilai, kekhawatiran investasi modal asing yang diberikan kepada perusahaan e-commerce dan startup, termasuk yang telah bergelar unicorn, akan mudah kembali keluar, tidak perlu terlalu dirisaukan.

"Perlu saya tekankan, modal yang ditanam ke e-commerce dan startup ini sangat beda sekali dengan deposito di perbankan yang istilahnya bisa kapan saja ditarik. Investor di e-commerce dan startup itu sadar, sekali masuk tidak mudah keluar," ujar Lembong beberapa waktu lalu.

Ia menuturkan, hanya ada tiga cara agar modal e-commerce berubah yakni dengan melakukan penawaran saham perdana atau Initial Public Offering (IPO), jual ke investor lain, atau nilainya diminimalkan.

"Jadi investor yang masuk ke startup dan e-commerce sudah sadar sekali masuk harus commit total dan potensi keuntungannya mencukupi. Keuntungan yang dikejar cukup besar sehingga mereka siap menghadapi risiko tersebut," katanya. 

Pria yang merintis kariernya di industri modal ventura itu juga mengatakan, sumber pendanaan domestik dan asing di sektor e-commerce dan start up digital relatif sudah berimbang. Selain itu, lebih dari 95% pemilik dan pekerja di unicorn adalah orang Indonesia. 

Ia menjelaskan, penempatan dana melalui modal ventura memang berbeda dengan konsep bisnis konvensional. Pendiri atau inovator dari perusahaan e-commerce dan start up menjadi penopang dari bisnis yang didanai modal ventura.

"Peran pemodal ventura lebih pasif dibandingkan pemodal di bisnis lainnya. Mereka lebih percaya pendiri dan pelaksana bisnis e-commerce sebagai pengendali perusahaan. Investor modal ventura tidak mau membuat pendiri atau inovator dari bisnis e-commerce kehilangan peran," ujar Lembong.

ia mengakui, baru sekitar tiga tahun lalu ia mulai menyadari betapa besarnya arus modal ke industri e-commerce dan startup. Saat itu, tiba-tiba muncul banyak berita-berita ada perusahaan start up yang mendapat suntikan dana dengan nilai triliunan. 

"Kalau dijumlah besar sekali, tapi di BKPM tidak ada datanya. Mayoritas pendiri e-commerce adalah anak-anak muda yang kebanyakan tidak tahu ada prosedur pendaftaran di BKPM. Pertumbuhan arus modal unicorn begitu cepat, terus terang kita kewalahan untuk memonitor dan tracking," ujar Lembong.

Selain dinamisnya data modal masuk untuk e-commerce dan startup, ia juga mengatakan struktur finansial e-commerce dan startup juga cukup rumit, di mana antar kendali usaha dan modal yang disetor dibedakan.

"Strukturnya cukup ruwet dan menganalisis ini semua tidak gampang," katanya.

Berdasarkan data BKPM, rata-rata total investasi langsung asing (Foreign Direct Investment/FDI) setiap tahunnya mencapai US$9 miliar sampai US$12 miliar. Dari jumlah tersebut, investasi yang masuk ke e-commerce dan startup sekitar 15-20% dari total FDI tersebut.

"Jadi sekitar US$2 sampai US$2,5 miliar dolar per tahun total perkiraan kami masuk ke e-commerce dan startup company," tandasnya. (Faisal Rachman)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar