c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

02 Juni 2020

19:58 WIB

Seretnya Fulus di Tengah Merebaknya Virus

Menurun drastisnya jumlah pasien rawat jalan dan rawat inap non-covid-19, membuat pemasukan RS anjlok. Hingga Juni diperkirakan bakal ada RS swasta yang kolaps

Seretnya Fulus di Tengah Merebaknya Virus
Seretnya Fulus di Tengah Merebaknya Virus
Petugas rumah sakit bersiap membuka pelayanan kembali di Rumah Sakit Qim, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Senin (18/5/2020). Pihak rumah sakit akan membuka kembali layanan poli rawat jalan setelah ditutup selama 14 hari karena terdapat 13 staff klinis positif COVID-19. ANTARAFOTO/Harviyan Perdana Putra

JAKARTA – “Pemasukan rumah sakit berkurang. Gaji kami dipotong 30%. THR (tunjangan hari raya) juga dikasih cuma 30%. Sisanya katanya mau dicicil, tapi belum ada kabar itu juga,” ujar seorang perawat salah satu rumah sakit swasta di Lampung.

Pernyataan seorang perawat, sebut saja Citra, menjadi bagian dari potret kelam bisnis rumah sakit di tengah pandemi covid-19 saat ini. Rumah sakit swasta yang umumnya mengandalkan biaya berobat sebagai pemasukan utamanya, harus merintih karena kehilangan banyak pasien selama kurang lebih dua bulan terakhir.

Maklum, pada saat perhatian berfokus ke penanganan covid-19, RS diarahkan untuk sesedikit mungkin menerima pasien non-covid-19, termasuk pasien rawat jalan.

Imbasnya, para petinggi rumah sakit tempatnya bekerja, sempat terpikir untuk memangkas gaji karyawan hingga 50%. Namun, Citra dan sesama pekerja rumah sakit kompak membuat serikat pekerja dan menolak keputusan itu.

“Kami tolak akhirnya. Jadi, gaji bulanan dipotong 30% saja. Tapi, bonus tahunan enggak dapat juga. Seharusnya bonusan itu kan hasil kerja tahun kemarin, tapi enggak dikasih,” papar Citra melalui pesan singkat dengan Validnews, Kamis (28/5).

Turunnya jumlah pasien yang datang ke rumah sakit itu, menurut pantauan Citra bisa mencapai 90%. Jumlah pasien rawat inap selama Maret dan April 2020 bahkan paling banyak hanya berisi empat orang. Sebelum covid-19 melabrak Indonesia, rata-rata pasien rawat inap mencapai 45 orang.

Barulah jelang Lebaran, jumlah pasien sedikit meningkat menjadi tujuh sampai sepuluh orang.

“Kalau di poli rawat jalan itu sehari ada sekitar 10 orang. Sementara sebelum corona, banyak banget, lorong poli itu bisa sampai penuh orang. Ada mungkin lebih dari 100 orang dalam satu waktu,” sebut Citra.

Selain imbauan pemerintah untuk seminimal mungkin berkontak dengan RS, ketakutan tertular penyakit infeksi yang disebabkan virus corona baru, SARS-CoV-2, disinyalir menjadi sebab sepinya pasien yang datang ke rumah sakit. Setidaknya hal itu yang diungkapkan seorang karyawan Klinik Pratama Rawat Jalan (KPRJ) Abdullah, Depok.

Karyawan di bagian manajemen klinik tersebut mengatakan, selama pandemi covid-19 terjadi di Indonesia, lebih banyak pasien datang untuk meminta surat sakit dari pada surat rujukan.

“Tidak ada yang mendapat surat rujukan selama pandemi karena pada takut dengar isu RS langsung diindikasikan corona,” ujar Dimas, panggil saja begitu.

KPRJ Abdullah Depok pun mencatat, penurunan kunjungan pasien mencapai 80%. Dari yang biasanya berjumlah 70–100 orang menjadi sekitar 20 orang saja per harinya.

“Karena jam setengah lima sore klinik sudah tutup. Tidak sampai jam sembilan malam seperti biasanya,” sambung Dimas.

Ancaman Kolaps
Penurunan jumlah pasien di berbagai fasilitas kesehatan di Indonesia, dibenarkan oleh Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Lia Gardenia Partakusuma. Melalui sambungan telepon, Lia menyebut, jumlah kunjungan pasien di hampir seluruh rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan drastis.

“Bulan Maret–April jumlah pasien turun. April itu yang hebat sekali, sampai kalau dilihat rumah sakit sepi sekali. Karena, mereka khawatir datang ke rumah sakit. Takut. Kemudian orang rumah sakitnya juga banyak yang positif,” jelas Lia, Senin (1/6).

Bahkan, Persi mencatat, rata-rata keterisian hunian rumah sakit yang bukan rujukan covid-19 selama April dan awal Mei, hanya berkisar antara 20% hingga 40%. Lain halnya dengan rawat inap rumah sakit dengan rujukan covid-19, yang keterisiannya bisa mencapai 50% atau lebih.

Namun, menurut Lia, susutnya jumlah pasien juga disebabkan adanya pembatasan yang diterapkan pihak rumah sakit itu sendiri. Hal ini dilakukan agar tak ada kumpulan orang banyak, sehingga prosedur physical distancing tetap bisa dijalankan dengan baik. Pengaturan jarak tempat duduk juga bisa memenuhi standar.

“Artinya di sebuah rumah sakit, tentu jarak (antar pasien) kita perhatikan. Jadi, misalnya berapa jauh mereka boleh duduk, boleh antre. Terpaksa harus ada pembatasan jumlah pasien,” ujarnya.

Alhasil, turunnya jumlah pasien membuat pemasukan RS seret, tergerus hingga 80%. Persi pun tak heran, jika saat ini sudah ada rumah sakit yang merumahkan tenaga kesehatannya, karena minimnya jumlah pasien yang berobat.

“Waktu itu kita sudah kalkulasi. Kalau sampai dengan Juni masih seperti ini juga, terutama untuk rumah sakit-rumah sakit swasta yang tidak disubsidi oleh pemerintah, bisa banyak yang kolaps,” ujar Lia.

Paling Rentan
Menurunnya jumlah pasien dan pemasukan rumah sakit juga dibenarkan oleh Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI). Kompartemen Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ARSSI Fajaruddin Sihombing menyebutkan, pemasukan rumah sakit swasta di Indonesia rata-rata turun 30-50%.

Prosedur dan regulasi penanganan covid-19 terutama di ruang lingkup fasilitas kesehatan, menurutnya juga mejadi faktor yang menyebabkan masyarakat takut datang ke rumah sakit.

“Harus kita sadari bahwa covid-19 ini hal baru bagi semua sektor. Terlebih RS yang menjadi benteng terakhir dalam menangani covid-19. Karena hal baru tersebut, harus dimaklumi kalau pola penanganan dan prosedurnya masih belum baku dan berubah-ubah,” ujar Fajar kepada Validnews melalui sambungan telepon, Jumat (29/5).

Ia menilai, ada musabab lain yang turut memangkas pemasukan rumah sakit. Yakni, pengurangan jadwal praktik dokter spesialis, terutama dokter yang sudah berusia lanjut. Hal ini memang merupakan himbauan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Dampak paling besar, lanjut Fajar, ditanggung rumah sakit dengan kepemilikan tunggal. Pasalnya rumah sakit jenis ini harus menanggung beban operasional sendiri. Berbeda dengan rumah sakit yang sudah membentuk grup kecil atau besar, yang bisa mengatasi beban operasional secara kolektif atau subsidi silang.

Merujuk data terbaru Kemenkes, saat ini setidaknya ada 79 rumah sakit di Indonesia yang status kepemilikannya perorangan. 

Selain itu, kata Fajar, RS swasta yang merupakan penyedia layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, juga lebih terdampak ketimbang RS yang tak terkoneksi layanan asuransi rakyat tersebut. Ini karena RS swasta rekanan BPJS, biasanya bergantung pada pasien yang mengandalkan layanan BPJS. Sementara, BPJS saat ini belum mendukung kegiatan rawat jalan versi virtual.

“Jadi, mereka ini yang sangat merasakan dampak penurunan pendapatan ini di satu sisi. Sementara, biaya operasional kan juga meningkat. Karena ada (penyediaan) Alat Pelindung Diri dan lain sebagainya,” ucapnya.

ARSSI mencatat, dari 2.914 rumah sakit yang ada di Indonesia, 63,3% atau sebanyak 1.847 di antaranya dimiliki swasta. Dari total rumah sakit swasta itu, sekitar 80% atau 1.477 merupakan penyedia layanan BPJS.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio pun menilai lumrah, atas kondisi ketergantungannya rumah sakit swasta terhadap pasien sebagai sumber utama pemasukannya. Sekalipun ada cabang bisnis seperti laboratorium dan apotek, hal tersebut juga tetap berkaitan dengan bisnis jasa diagnosis yang tergantung pada jumlah pasien yang datang berobat.

“Bisnis RS swasta ini termasuk bisnis mahal, karena modal awalnya juga sudah cukup besar. Makanya kenapa penyebaran RS swasta di Indonesia masih berpusat pada Jawa. Dan memang core business mereka bergantung besar pada pasien,” ungkap Andry melalui pesan singkat kepada Validnews, Senin (1/6).

Ia juga menilai masing-masing rumah sakit swasta memiliki tingkat ketahanan yang berbeda dalam menghadapi krisis penurunan pendapatan ini. Menurutnya, ketahanan itu berbanding lurus dengan besarnya sokongan dana yang dimiliki perusahaan pemilik rumah sakit.

“Kalau cash flow itu di firm level ya. Analisisnya per perusahaan. Rumah sakit yang merupakan bagian dari konglomerasi besar, akan cenderung bisa bertahan,” ujarnya.

Berobat Virtual
Untuk mengatasi krisis pada bisnis rumah sakit yang bukan rujukan covid-19, para pengelola rumah sakit melakukan beragam upaya untuk bisa bertahan hidup dan beroperasi secara maksimal. Salah satunya adalah membangun sistem konsultasi dan pengobatan secara virtual, atau biasa disebut telekonsultasi dan telemedicine.

Saat ini, lanjut Fajar, sejumlah rumah sakit swasta sudah mengembangkan sistem pengobatan tersebut dan bisa dipakai oleh pasien lama (langganan), dengan rekam jejak medis yang sudah tercatat di rumah sakit tersebut. Sehingga kegiatan berobat jalan dari jarak jauh bisa dilakukan pada kondisi dokter sudah mengetahui sakit yang diderita pasiennya.

“Jadi hanya kontrol saja untuk meneruskan obat. Atau, untuk mengetahui tensinya dia terkontrol enggak? Jadi itu harusnya pasien kontrol dapat obat juga setiap bulan yang harus dia konsumsi. Ini yang harus kita fasilitasi,” ucap Fajar.

Upaya ini dilakukan demi mendapatkan kembali pemasukan rumah sakit yang hilang akibat menurunnya jumlah kunjungan pasien ke rumah sakit. Meski Fajar menyebutkan, terobosan ini baru bisa memulihkan pemasukan rumah sakit sekitar 15%–20% saja.

Ia pun berharap sistem ini dapat segera dirasakan juga oleh pasien BPJS. Sayangnya, sistem klaim pada BPJS Kesehatan belum mendukung kegiatan berobat jarak jauh.

“Kan sistemnya pasien BPJS harus ada rujukan dari faskes 1 ke faskes 2. Kemudian ada surat egibilitas peserta. Keabsahan bahwa pasien ini memang peserta BPJS, iurannya masih aktif, kartunya masih aktif, dan segala macam. Nah, itu belum bisa difasilitasi oleh BPJS untuk sistem berobat seperti itu,” terang Fajar.

Harapannya bila BPJS sudah bisa memfasilitasi jenis rawat jalan seperti itu, pemasukan ke kas rumah sakit juga bisa bertambah. Terutama rumah sakit penyedia BPJS, meski tak mengkompensasi semua penurunan pendapatan.

Menurutnya, pasien dengan penyakit menahun, membutuhkan kontrol rutin untuk menjaga kondisi kesehatan tubuhnya. Bila terlalu lama tak kontrol, dikhawatirkan kondisi kesehatan pasien memburuk dan akhimya membutuhkan perawatan yang lebih serius.

Imbasnya, justru menjadi bom waktu bagi BPJS karena klaim ke depannya bisa meningkat, ketika peserta dengan penyakit menahun bersama-bersama memberanikan diri kembali ke rumah sakit untuk periksa kesehatan.

“Kalau sekali masuk rawat inap, bisa Rp3-4 juta itu. Jumlah yang sebetulnya bisa menutupi biaya rawat jalan selama 2 tahun. Makanya kami harap telemedicine dan telekonsultasi ini bisa berjalan untuk pasien BPJS juga,” tukasnya.

Sistem pengobatan jarak jauh seperti telemedis juga menjadi salah satu masukan Andry Satrio, sebagai upaya mengatasi minimnya pemasukan rumah sakit akibat pasien takut berkunjung secara fisik. Telemedis sendiri kata Andry, memang sudah menjadi salah satu jalan keluar yang disarankan pemerintah melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018.

“Hanya saja memang belum ada petunjuk teknisnya. Jadi mungkin problemnya tidak hanya di swasta tapi juga di RS pemerintah dan RSUD yang mana telemedicine juga akan terbatas pada pasien lama,” sambung Andry.

Selain menggencarkan telemedis, Andry menyarankan seluruh rumah sakit untuk tetap beroperasi dengan protokol kesehatan yang ketat. Mengingat, tidak semua konsultasi dapat dilakukan secara virtual.

“Sekarang kan sudah ada persiapan ke protokol adaptasi kebiasaan baru. Nah, pemerintah bisa mendorong misalnya agar perusahaan bisa memfasilitasi karyawan untuk tes cepat dan PCR sebelum masuk kantor. RS swasta bisa ikut bekerja sama menyediakan paket juga di sini untuk perusahaan,” imbuhnya.

Kelaziman Baru
Di sisi lain, sedikit angin segar diungkapkan Lia Gardenia. Kini, ia menyebut, jumlah pasien yang berobat ke rumah sakit utamanya di kawasan Jabodetabek, mulai akhir Mei 2020 sudah berangsur normal. Hal ini disebabkan oleh strategi yang sudah dibuat dan dijalankan sejumlah RS swasta maupun pemerintah, termasuk persiapan menjalankan protokol new normal atau kelaziman baru.

“Kalau yang tadinya pasien bisa sehari 10, tiap 1 poli, mungkin sekarang sudah mau naik menjadi 15. Nah, ini kenapa demikian karena tetap harus ada physical distancing,” tegasnya.

Diharapkan pada era kelaziman baru nanti, protokol kesehatan di lingkungan rumah sakit, semakin tertib dilakukan dan lebih dipersiapkan untuk mengatasi kemungkinan peningkatan jumlah pasien. Lia pun berharap, insentif yang dijanjikan pemerintah kepada tenaga medis bisa didapat dalam waktu singkat dan dengan prosedur yang tidak terlalu sulit.

Persi memandang, proses pencairan bantuan dari pemerintah untuk tenaga medis masih terlalu sulit dan memakan waktu lama dan dengan beragam persyaratan detail yang harus dibuktikan. Selain itu, belum semua rumah sakit mengerti cara pengajuan klaim.

Berdasarkan informasi yang ia peroleh, uang insentif dari pemerintah maupun bantuan biaya penanganan pasien covid-19, sebenarnya sudah diturunkan dari Kementerian Kesehatan. Hanya saja para tenaga medis dan rumah sakit masih kesulitan menjalani proses klaim, dengan perlengkapan berkas yang mendetail.

“Ya kami mengertilah, bahwa itu untuk pembuktian. Tapi kalau terlalu detail itu, kamarnya pakai kamar ICU apa bukan, ada ventilator atau bukan, berapa hari. Itu detail sekali, hasil labnya harus terlampir. Jadi harus diverifikasi lagi oleh BPJS, panjang banget,” papar Lia.

Padahal, imbuhnya, kemudahan pencairan klaim penagihan penanganan pasien juga dapat memperlancar arus kas rumah sakit yang sudah terganggu mulai Maret hingga Mei 2020 kemarin.

Hal lain yang tak kalah penting, kata Lia, tenaga medis dan rumah sakit berharap pemerintah bisa memenuhi kebutuhan APD yang mumpuni.

“Untuk tenaga kesehatan yang penting buat kita adalah masalah alat pelindung diri. Agar kami bisa melayani semua pasien dengan baik. Bila tidak ada APD kami agak sulit bergerak,” ujar Lia.

Hal yang sama juga diminta oleh rumah sakit swasta yang tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah. Tak muluk-muluk, bila pemerintah tidak bisa memfasilitasi APD untuk rumah sakit swasta, ARSSI berharap, setidaknya pemerintah bisa membuat harga APD di pasaran menjadi ekonomis dan terjangkau. Dengan begitu, biaya operasional RS tak makin membengkak.

“Tolong kebutuhan kami dipenuhi, kecepatan pengadaannya itu dipercepat. Ini tidak hanya operasional, jadi jangan sampai garda terdepan APD dan kebutuhan lainnya itu tidak terpenuhi,” tandas Fajar. (Zsazya Senorita, Rheza Alfian, Fitriana Monica Sari)

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar