08 Maret 2018
20:11 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Deru kendaraan bermotor memenuhi jalanan ibu kota hampir tiap pagi, mulai dari berbagai angkutan kota, transportasi massal yang digagas pemerintah, mobil-mobil pribadi, dan yang paling tampak lincah adalah deretan sepeda motor.
Lebih berbodi kecil dan ramping, jenis kendaraan bermotor yang satu ini tampil gesit di jalanan Jakarta yang penuh sesak kendaraan. Tak jarang sejumlah pengemudi harus menyalip guna bisa mempercepat waktu tempuh.
Menyalip dan mencari celah di ruang yang sempit, memang menjadi keunggulan dari sepeda motor. Tak jarang, hal tersebut membuat iri para pengemudi kendaraan roda empat yang harus lebih banyak bersabar menghadapi ganasnya kemacetan ibu kota.
Namun, makin ke sini, kendaraan bermesin dengan dua roda yang jadi andalan masyarakat tersebut, tak jarang menjadi kambing hitam atas segala kemacetan yang terjadi. Alasannya, jumlahnya kian hari bertambah banyak.
Di Jakarta saja berdasarkan Statistik Indonesia 2017 yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah sepeda motor sampai akhir 2016 sudah mencapai 13,12 juta unit Angka ini setara dengan 73,50% dari total kendaraan bermotor ibu kota yang berjumlah 17,85 juta pada tahun yang sama. Saat ini jumlahnya dipastikan terus bertambah, wong tahun kemarin penjualan motor nasional saja mencapai sekitar 5,8 juta unit.
Secara nasional, persentase sepeda motor terhadap total kendaraan bermotor, memang mendominasi, yakni sebesar 81,56% pada tahun 2016. Jumlahnya mencapai 104,81 juta unit pada 2016. Sementara itu, total kendaraan bermotor di periode yang sama tercatat sebanyak 128,50 juta unit.
Sementara itu, berdasarkan paparan Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), jumlah sepeda motor secara global telah mencapai 455,49 juta unit pada tahun 2010. Mayoritas atau tepatnya sebanyak 78,94%, berada di Asia.

Sepeda Bermesin
Merujuk sejarahnya, bodi kompak dari sepeda motor memang karena kendaraan yang satu ini merupakan modifikasi dari sepeda. Seorang berkebangsaan Prancis Ernest Michaux, pada 1867 mencoba menempelkan sebuah mesin tabung uap di bagian belakang sepedanya.
Harapan untuk memacu sepeda lebih cepat kala itu memang belum terlihat signifikan. Mesin bertenaga uap itu ternyata hanya mampu sedikit mempercepat laju sepeda dengan kecepatan maksimal 14 kilometer per jam, tidak lebih cepat dari rata-rata kecepatan manusia berlari.
Namun, hanya berselang setahun, Sylvester Howard Roper yang merupakan warga negara Amerika kembali mencoba memasang mesin di sepeda miliknya. Kali ini ia menggunakan mesin uap dengan dua silinder yang ditaruh di bagian depan tunggangan sepeda.
Hasilnya jauh lebih baik. Mesin pada sepeda mampu membuat kendaraan tersebut melaju hingga kecepatan 64 kilometer per jam. Sayangnya, bodi mesin yang terlalu besar membuat pengendara sulit mengayuh sepedanya.
Belum sempurna memang, namun percobaan yang dilakukan Roper membuat banyak pihak terinspirasi. Beberapa pihak mulai bernyali untuk kian menyempurnakan pemasangan mesin di sepeda-sepeda guna bisa mempercepat laju.
Di Amerika pada sekitaran tahun 1881, Lucius Copeland bahkan dengan gigih memodifikasi mesin uap agar bentuknya lebih mungil. Tujuannya jelas, agar sepeda bermesinnya bisa lebih nyaman ditunggangi.
Merasa sukses dengan sepeda bermesin uapnya yang lebih mungil, enam tahun kemudian pria asal Benua Merah ini mulai berani membangun usaha sepeda bermesinnya. Ia membuat usaha manufaktur yang memang menjual sepeda-sepeda berdesain mesin uap kecil.
Walaupun lebih awal berhasil memasangkan mesin uapnya ke sepeda, karya Copeland tetap tidak dipandang sebagai asal mula sepeda motor pertama di dunia. Kawasan Eropa-lah yang justru dianggap mampu mencetak sejarah menciptakan sepeda motor sebenarnya. Bukan lagi hanya memasangi mesin di sepeda, melainkan membentuk rangka yang berbeda.
Adalah Gottlieb Daimler dan Wilhelm Maybach yang dikenang sebagai pencipta kendaran bermotor roda dua tersebut pada 1885. Pria-pria berkebangsaan Jerman ini menciptakan desain rangka kendaraan yang hampir mirip sepeda, namun lebih besar. Kayu menjadi material utamanya.
Tidak lagi menggunakan mesin bertenaga uap, Dailer dan Maybach memasangi kendaraan berangka kayu mereka dengan mesin pembakaran internal (internal combustion) berbahan bakar bensin. Mesin yang mereka gunakan adalah mesin 4 tak yang merupakan temuan Nicolaus Otto pada 1876.
Purwarupa
Mesin yang ditaruh di antara roda depan dan belakang sepeda bermotor tersebut membuat penunggangnya lebih nyaman sebab kayuhannya menjadi tidak terganggu. Sayangya, sepeda motor pertama karya duet Dailer dan Maybach tidak diproduksi massal.
Cikal bakal sepeda motor modern yang disebut masyarakat Jerman sebagai Reitwagen (mobil tunggangan) ini, ibaratnya hanyalah sebuah purwarupa alias prototipe.
Menurut buku Ensiklopedia Transportasi Dunia yang ditulis Nuri Mentari Dini, meski tak dianggap sebagai kawasan penemu sepeda motor, Benua Amerikalah yang tercatat mulai memproduksi sepeda motor secara massal pada tahun 1902. George M Hendee dan Oscar Hedstorm asal Massachusetts, Amerika, menciptakan sepeda motor yang dijual bebas ke pasaran.
Sepeda motor yang dibawa Belanda ke Indonesia. ist
Dari segi bentuk dan mesin, tidak ada ubahnya dengan prototipe yang dibuat Dailer dan Maybach. Hal yang membedakannya adalah rangkanya yang menggunakan besi, sehingga tampil lebih kuat. Mereka pulalah yang pertama kali memperkenalkan istilah motorcycle untuk produk buatannya.
Hanya perlu dua tahun bagi Hendee dan Hedstorm lewat Hendee Manufacturing Company merebut minat kaum the have dunia. Tahun 1904, masterpiece mereka, yakni sepeda motor dengan rangka berwarna merah mencolok sangat mencuri perhatian. Tidak kurang dari 500 sepeda motor ini tiap tahunnya diproduksi guna memenuhi pesanan.
Perusahaan tersebut kemudian berubah nama menjadi Indian Motorcycle Manufacturing Company pada 1906. Lalu akhirnya menjadi produsen sepeda motor terbesar di dunia pada 1910. Tiga tahun kemudian, perusahaan ini sudah mampu memproduksi sebanyak 32 ribu sepeda motor.
Namun, sebelum India Manufacturing meluncurkan produk sepeda motornya yang ikonik pada awal 1900-an tersebut, Jerman sejatinya sudah selangkah lebih maju. Berbekal prototipe dari Dailer dan Maybach, muncullah perusahaan produsen sepeda motor dengan nama Hildebrand und Wolfmuler yang mulai berproduksi sejak 1893.
Asal tahu saja, sepeda motor buatan Hildebrand und Wolfmuller ini belum menggunakan rantai dan belum dilengkapi dengan persneling. Perlu usaha juga untuk tiap kali menghidupkan sepeda motor yang belum memiliki aki sebagai sumber setrum. Setidaknya dibutuhkan sekitar 20 menit guna bisa mestabilkan mesinnya hingga siap ditunggangi.
Meskipun demikian, sepeda motor dari perusahaan ini yang akhirnya akrab digunakan oleh masyarakat Jerman dan sekitarnya.
Masuk Indonesia
Tak hanya di Jerman, sepeda motor asal Jerman pun bisa dibilang menguasai dunia. Bagaimana tidak, produksi pertama dari Hildebrand und Wolfmuler bahkan masuk ke Indonesia pada tahun 1894.
Pemesannya adalah John C. Potter. Pria berkebangsaan Inggris tersebut memesan langsung sepeda motor tersebut ke pabriknya di Munchen, Jerman. Potter yang bekerja sebagai masinis pertama di pabrik gula Oemboel, Jawa Timur, menggunakan kendaraan bermotor roda duanya tersebut untuk mobilisasi sehari-hari.
Singkat kata, hingga menjelang kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, masih sangat sedikit sepeda motor yang hilir mudik di berbagai seluk jalan senusantara. Jumlahnya bahkan lebih sedikit dibandingkan banyaknya mobil.

Asal tahu saja, transportasi pada masa ketika itu masih didominasi sepeda, becak, andong dan mobil buat para penggede. Sedangkan sepeda motor, biasanya hanya dibeli untuk menunjukkan status sosial alias untuk ajang pamer.
Sepeda motor dari Jerman, menjadi mayoritas pilihan masyarakat yang memberanikan diri mengimpor kendaraan tersebut dari luar. Disusul beberapa merek asal Negeri Paman Sam, seperti Harley Davidson, Indian, hingga Norton.
Sepeda-sepeda motor tersebut mayoritas dimiliki oleh pengusaha gula di Pulau Jawa. Peruntukkannya pun sekadar untuk touring dengan kalangan sederajat.
Fungsi motor di Indonesia kemudian berubah ketika Indonesia memasuki masa kemerdekaan. Tahun 1950, ribuan motor BMW masuk ke Indonesia lewat pesanan pemerintah. Pengguna kendaraan bermotor roda dua ini pun kebanyakan hanya kalangan tertentu, yang pada waktu itu lebih diarahkan kepada perwira-perwira tentara.
Salah satu merek sepeda motor yang banyak masuk Indonesia adalah BMW satu silinder 249 cc dengan series R25, R26, dan R27. Jenis BMW tersebut kerap menjadi kendaraan resmi pembuka jalan (voorijder) acara kenegaraan.
Setahun kemudian, barulah sepeda motor mulai dapat dinikmati masyarakat yang lebih luas. Dimulai dari masuknya Zundapp ke Indonesia. Zundapp merupakan merek sepeda motor produksi Dr Fritz Neumever und Friedruch Krupp AG di Nuremberg.
Awalnya perusahaan ini merupakan produsen bahan peledak. Namun, selepas Perang Dunia I, produksinya berganti menjadi alat transportasi. Apalagi di masa tersebut, permintaan moda transportasi di Jerman cukup tinggi.
Perusahaan tersebut sudah mulai memproduksi sepeda motor Zundapp sejak tahun 1921. Sepeda motor-sepeda motor dari perusahaan ini pun diakui sebagai sepeda motor masyarakat Jerman.
Namun, sepeda motor Zundapp baru masuk ke Bumi Pertiwi di kisaran tahun 1951. Berwarna biru dengan mesin dua tak, hanya perlu sedikit waktu series motor ini merebut hati masyarakat Indonesia. Hingga tahun 1965-an, bahkan Zundapp mampu merajai pasaran Indonesia.
Zundapp yang masuk pertama ke Indonesia memiliki mesin 50 cc. Seiring perjalanan waktu, impor Zundapp yang masuk memiliki mesin lebih besar. Terakhir pada 1965-an, jalanan ibu kota sempat diwarnai motor Zundapp berwarna biru dengan mesin 100 cc.
Eropa juga sempat mewarnai pasar motor di Indonesia dengan menghadirkan skuter Vespa pada awal tahun 1960-an. Kemudian disusul dengan skuter Lambretta pada akhir tahun 1960-an.
Sayangnya, pamor Zundapp dan motor Eropa lainnya menurun drastis ketika sepeda motor Jepang mulai membanjiri nusantara. Memiliki model simpel, harga murah, dan tahan lama membuat dominasi motor Eropa dan Amerika tergerus. Sejurus kemudian, pasar Indonesia telah menjadi pelanggan setia untuk berbagai produk sepeda motor asal Negeri Sakura tersebut, hingga saat ini.
Jepang Berkuasa
Sekadar informasi, sepeda motor Jepang mulai masuk ke Indonesia di sekitaran akhir tahun 1960-an. Kala itu ada beberapa jenis motor Honda yang mulai masuk ke Indonesia, seperti series CB 100 dan 750 yang dikenal sebagai superbike.
Lalu pada 1970, jenis s90Z yang diproduksi Honda mulai terlihat hilir mudik di berbagai sudut jalan, khususnya ibu kota. Pengirimannya sendiri pada waktu itu dibuat semi knock-down sehingga ada beberapa bagian motor yang baru dirakit setelah sampai ke Nusantara.

Dalam buku Man of Honor: Kehidupan, Semangat, dan Kearifan William Soeryadjaya karya Teguh Sri Pambudi, dijelaskan impor motor Honda yang pertama dipesan oleh PT Gaya Motor. Untuk pengimporan pertama, dicatat ada empat sepeda motor Honda yang tiba di Pelabuhan Tanjung Priok.
PT Gaya Motor sendiri tak lain adalah bagian dari Astra. Perusahaan yang dibesut oleh William Soeryadhaya dan Kian Tie ini pada memang sejak awal sudah berkonsentrasi pada bisnis otomotif di Indonesia. Setelah sukses menggandeng Toyota sebagai mitra bisnis untuk produk mobilnya, kedua bersaudara ini pun berencana berekspansi ke bisnis sepeda motor.
Atas saran kepala mekanik Astra, Ban Tjian, kedua bersaudaran ini memutuskan untuk bekerja sama dengan Honda, yang menurut Tjian dianggap lebih kuat dan harganya miring. Sejak Juni 1970, akhirnya Astra dipercaya menjadi distributor tunggal sepeda motor Honda. Sampai akhirnya, tibalah empat sepeda motor dalam bentuk semi knock-down di akhir tahun yang sama.
Tidak hanya Honda, berturut-turut kemudian merek-merek Jepang lainnya seperti Kawasaki, Yamaha, hingga Suzuki pun kemudian masuk ke tanah air. Meski sampai saat ini, Hondalah yang tetap merajai pasar sepeda motor di Indonesia.
Berdasarkan data dari Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), pada tahun 2017 saja, tidak kurang dari 4.385,88 ribu unit berhasil terjual. Angka ini sukses mengambil 74,51% dari total penjualan sepeda motor di Indonesia.
Di urutan kedua ada Yamaha yang sukses mengambil pangsa pasar sebanyak 22,90%. Itu berarti kedua merek sepeda motor dari Jepang ini saja sudah mengambiL 97,4% dari penjualan sepeda motor di nusantara.
Tidak lagi sebagai lambang prestisius semata, sepeda motor kini sudah terlanjur akrab dengan masyarakat Indonesia. Kemudahan berkendara dengan harga yang lebih terjangkau daripada mobil menjadi pilihan paling realistis masyarakat kebanyakan.
Tengok saja, di setiap persimpangan, jika lampu lalu lintas berwarna hijau menyala, sudah sulit buat mata kita menghitung dengan pasti jumlah sepeda motor dengan ragam jenis, ukuran kubikasi dan merk yang berhamburan, layaknya laron menyerbu cahaya.
Tapi, sayang seribu sayang, tanpa perlu banyak mencermati, hampir semua merek motor yang beredar di jalan saat ini bukan merek lokal. Padahal, sudah lebih dari seratus tahun sepeda motor ada di Bumi Pertiwi.
Rasanya tak masuk akal jika Indonesia tak bisa membuat sepeda motor untuk pasar sendiri yang begitu besar. Toh, sejak puluhan tahun lalu, Pak Habibie saja sudah bisa membuat pesawat terbang.
Harus diakui, produsen-produsen besar sepeda motor yang selama ini kenyang menangguk untung, pasti tak mau kehilangan pasar yang gemuk ini. Penciptaan kondisi sedemikian rupa pun pasti akan dilakukan mereka yang sudah mapan agar dominasinya tak goyah.
Tapi, anak bangsa butuh pengakuan dan dukungan. Jangan sampai semua kemampuan dan keinginan harus hilang tertiup angin hanya karena membela keuntungan sesaat. (Teodora Nirmala Fau, Berbagai Sumber)