29 Mei 2019
11:38 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
SINGAPURA – Harga minyak di perdagangan Asia dibuka melemah pada Rabu (29/5). Masih tingginya ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China menjadi pemicunya.
"Investor khawatir dari perspektif makro tentang permintaan di seluruh dunia, khususnya dalam menghadapi sengketa perdagangan yang berkembang antara AS dan China," ujar Direktur Pelaksana dan Manajer Portofolio Energi Perusahaan Investasi AS Tortoise, James Mick, seperti dilansir Antara, Rabu (29/5).
Patokan internasional untuk harga minyak mentah berjangka Brent guna pengiriman Juni diperdagangkan di US$69,85 pada pukul 01.01 GMT atau 08.01 WIB). Nominal tersebut turun 26 sen atau 0,4% dibandingkan penutupan sesi sebelumnya.
Sementara itu, minyak mentah berjangka AS, West Texas Intermediate (WTI) diperdagangkan di level US$58,70 per barel. Penurunannya lebih tajam, yakni mencapai 44 sen atau 0,7% dibandingkan penutupan hari sebelumnya.
Di samping kekhawatiran akan ekonomi karena perang dagang negara adikuasa, pelemahan harga minyak disebut juga karena masih tren bearish yang membayangi perdagangannya.
“Terutama karena bearish permintaan lebih unggul dibandingkan dengan kenaikan pada pasokan," ulasnya.
Meskipun kekhawatiran ekonomi menyeret pasar minyak, ia menambahkan, harga minyak mentah tetap relatif ketat. Namun, pasokan minyak yang relatif ketat di tengah pengurangan produksi OPEC dan ketegangan politik di Timur Tengah menawarkan sejumlah dukungan bagi harga.
"Risiko pasokan tetap pada tingkat tinggi dengan berlanjutnya ketidakpastian geopolitik di Timur Tengah, serta Venezuela yang dikenal berjuang keras," kata Mick lagi.
Sementara itu menurut analis di pialang berjangka Forex.com, Fawad Razaqzada, turunnya mata uang pasar negara berkembang turut memberi sumbangsih pada penurunan harga minyak mentah. Pasalnya dengan anjloknya kus mata uang negara berkembang, harga minyak yang dipatok dalam dolar AS dirasa terlalu tinggi untuk dibeli negara-negara tersebut.
“Harga minyak mentah bisa jatuh kembali,” ia mengingatkan seperti dilansir Antara, Rabu (29/5).
Terlepas dari kekhawatiran ekonomi, permintaan minyak global sejauh ini bertahan dengan baik. Produksinya berdasarkan data Badan Informasi Energi AS (EIA) mencapai kisaran 100 juta barel per hari (bph) tahun ini.
Terlepas dari itu, tetap ada bayang-bayang pemotongan pasokan berkelanjutan yang dipimpin oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) sejak awal tahun untuk menopang pasar. OPEC dan beberapa sekutu termasuk Rusia akan bertemu pada akhir Juni atau awal Juli untuk membahas kebijakan produksi ke depan.
Analis sendiri khawatir bahwa pengetatan kredit di tengah perlambatan ekonomi akan menghambat perdagangan komoditas.
"Kami tetap berhati-hati mengenai lingkungan ekonomi makro jangka pendek. Ketersediaan kredit di pasar komoditas fisik menjadi perhatian khusus," tegas broker komoditas Marex Spectron dalam sebuah catatan. (Teodora Nirmala Fau)