c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

EKONOMI

22 Mei 2018

19:53 WIB

Redupnya Pesona Rempah Nusantara

Pada periode Januari—November 2017 saja, total ekspor rempah Indonesia sebesar US$486 juta. Angka ini sesungguhnya turun 11,02% dibandingkan raihan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$546,2 juta

Editor: Fin Harini

Redupnya Pesona Rempah Nusantara
Redupnya Pesona Rempah Nusantara
Ilustrasi. Rempah-rempah. (Pixabay)

JAKARTA – Rempah dari Tanah Air sejak dahulu kala memang bagaikan gadis cantik yang jadi rebutan banyak pria. Menilik jauh ratusan tahun lalu, eksistensi komoditas ini bermula dari keberhasilan bangsa Portugis sebagai pelopor pelayaran dari Eropa dalam menemukan Maluku sebagai surga rempah-rempah.

Kabar pun terdengar hingga jauh. Keberhasilan Portugis mencari rempah-rempah ke Nusantara ini membuat pedagang dari Spanyol, Inggris, dan Belanda mengikuti jejak Portugis untuk memperoleh rempah. Berbagai ekspedisi lantas dikirim untuk menemukan sang pulau rempah, tempat cengkih dan pala tumbuh subur.

Tak hanya Eropa, China dan India juga menjadi pasar rempah-rempah nusantara yang sangat prospektif.

Dikutip dari buku Sejarah Nasional Indonesia jilid IV, pada abad ke-15 tepatnya antara tahun 1570 hingga 1630, rempah-rempah asal Indonesia mulai menjadi primadona ekspor. Komoditas cengkih, pala (beserta fuli), dan juga lada asal nusantara meraih puncak kejayaan perdagangannya.

Selang ratusan tahun kemudian, popularitas dari rempah-rempah di ranah Internasional nyatanya tidak terkikis seiring dengan berjalannya waktu. Terbukti, rempah-rempah saat ini masuk ke dalam daftar sepuluh komoditas potensial ekspor asal Indonesia.

Pada periode Januari—November 2017 saja, total perdagangan komoditas ini sebesar US$486 juta. Angka ini sesungguhnya turun 11,02% dibandingkan raihan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$546,2 juta. Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat Amerika Serikat, Vietnam, dan India menjadi pasar utama bagi perdagangan rempah Indonesia.

Tidak hanya itu, rempah Indonesia juga diminati pasar Eropa, seperti Belanda, Jerman, dan Perancis. Rempah nusantara juga jadi pilihan bagi negara Asia untuk mengisi kebutuhan rempah di negaranya, yakni Jepang, Singapura, Malaysia, dan Pakistan.

Lebih rinci, Amerika serikat menjadi pasar utama dengan menguasai 34,09% dari total perdagangan rempah Indonesia di tahun 2017, meningkat dibanding tahun sebelumnya yang hanya sebesar 28,8%. Adapun nilainya mencapai US$165,7 juta selama 11 bulan pertama 2017, tumbuh dibandingkan Januari-November 2016 sebesar US$157,5 juta.

Dari sesama ASEAN, Vietnam menjadi mitra terbaik Indonesia terkait dengan perdagangan rempah. Negara ini tercatat sebagai pasar kedua terbesar rempah nusantara. Nilai ekspor ke Vietnam pada Januari—November 2017 lalu mencapai US$97,5 juta. Bahkan, pada Januari—November 2016 menembus angka US$127,7 juta.

 

 

Dominasi Perkebunan Rakyat
Rempah Indonesia memang memiliki keunggulan tersendiri yang selalu menjadi daya tarik bagi pasar internasional, salah satunya adalah dari sisi kekayaan jenis.

“Indonesia ini kaya, ada 2.000 lebih spesies rempah. Dewan Rempah Indonesia Pusat baru membukukan sekitar 360-an jenis. Terlebih lagi, rata-rata tanaman ini sebenarnya endemik atau memang tumbuhnya di Indonesia,” ungkap Sigit Ismaryanto yang merupakan salah satu pengurus Dewan Rempah Indonesia kepada Validnews pada Senin, (21/5).

Namun, terlepas dari prestasi dan peluang ini, dalam realitanya terdapat banyak sekali hal yang masih perlu disoroti terkait dengan seluk-beluk rempah-rempah. Sama seperti komoditas pertanian lainnya, ketersediaan lahan dan kemampuan produksi menjadi poin penting bagi keberlanjutan perdagangan komoditas ini.

Mengenai gambaran umum komoditas rempah di Indonesia, Agus Wahyudi yang merupakan Direktur Tanaman Semusim dan Rempah Kementerian Pertanian (Kementan) memberikan sedikit pandangannya.

“Kondisi umum produksi rempah di Indonesia itu hampir lebih dari seluruhnya diproduksi oleh perkebunan rakyat, yang produk-produknya dihasilkan secara tradisional,” ungkap Agus.

Data dari Statistik Perkebunan Indonesia yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan, tercatat memang kepemilikan lahan rempah nasional didominasi oleh perkebunan rakyat.

Pala misalnya. Sekitar 99,73% dari lahan yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara dimiliki oleh rakyat. Sedangkan, perkebunan rakyat cengkih mencapai 98% dari total luasan lahan cengkih. Dan, sebanyak 96% untuk komoditas lada.

Bukan lagi menjadi rahasia umum bahwa di balik kepemilikan berbasis rakyat ini akan ada banyak kendala yang dapat memengaruhi tingkat produktivitas. Beberapa masalah klasik, seperti minimnya kualitas juga senantiasa menghantui produksi perkebunan rakyat.

Dalam pandangan Agus, rempah produksi dalam negeri masih sangat konvensional, baik dalam produk maupun cara pemasaran.

“Produk dalam arti kualitasnya, standardisasi, kemudian cara-cara pemasarannya. Pemasarannya itu masih sangat konvensional. Ini menyebabkan para produsen, petani, sulit berhadapan dengan international market,” terangnya.

Senada, dalam pandangan ekonom pertanian Catur Sugiyanto, proses produksi yang masih tradisional ini dapat menurunkan nilai dari sisi higienitas. Hal ini juga lah yang menjadikan produk rempah Indonesia selalu mendapat pengawasan ketat dari luar negeri, khususnya Eropa.

“Sisi kualitas itu sekarang menjadi tren konsumen, sementara ini sebagian dari produsen rempah masih tradisional. Peningkatan processing pasca-panen di level petani adalah kunci awal,” papar Catur.

Tidak hanya itu, akademisi dari Universitas Gajah Mada ini juga menegaskan bahwa trade ability juga menjadi salah satu hal yang dilihat oleh buyer dari komoditas hasil perkebunan rakyat. Dalam pandangannya, buyer ingin mengetahui kondisi petani seperti apa, serta bagaimana jalur dari petani ke eksportir.

Kondisi perkebunan rakyat ini juga diperkeruh dengan total luas area dengan tanaman yang rusak. Secara rinci, pada tahun 2016 untuk komoditas cengkih terdapat sebanyak 79.323 ha atau sebesar 14,57% tanaman rusak dari total 545.027 ha lahan yang ada.

Sedangkan untuk lada, di tahun 2016 jumlah tanaman rusak mencapai 10,28% dari areal lahan seluas 181.390 ha. Dari 178.333 ha lahan pala yang tersebar di Indonesia, tanaman yang rusak sebanyak 13.516 ha (7,57%). Kerusakan tanaman bagi komoditas kayu manis tergolong rendah, yakni hanya sebesar 2,66% atau 2.625 ha dari total luas tanam 98.502 ha.

Vanili memiliki persentase kerusakan tertinggi, mencapai 3.623 ha atau sebesar 32,22% dari total areal seluas 11.227 ha.

 

Kerusakan tanaman dan pengelolaan yang masih konvensional ini dalam kenyataannya mampu menurunkan target dan potensi rempah nusantara.

“Produktivitas rempah kita pada umumnya masih jauh dari yang diharapkan. Sebagai contoh pala, bisa berpotensi menghasilkan 2 ton/ha, saat ini masih kurang dari 500 kg/ha. Lada kita potensinya bisa 3 ton/ha, kondisi saat ini rata-ratanya hanya mencapai 1 ton bahkan bisa kurang. Cengkih juga begitu, sebenarnya bisa mencapai 1,5 ton/ha, saat ini baru sekitar 400 kg/ha,” rinci Agus.

Meskipun tingkat produktivitasnya belum mencapai target potensi, ditambah lagi realita persentase tanaman yang rusak, dalam pandangan Agus belum diperlukan adanya perluasan lahan bagi pengembangan komoditas rempah.

“Lain cerita dengan komoditas seperti kelapa sawit, sebenarnya kebutuhan lahan untuk rempah ini tidak besar. Sebagai contoh tanaman lada jika nanti memiliki total lahan seluas 200.000 ha itu sudah besar, akan tetapi nilai tambah dari komoditas rempah itu memang besar,” terang Agus.

Sama seperti Agus, Dwi Andreas yang merupakan pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor juga mengemukakan hal yang sama.

“Lahan untuk komoditas rempah ini adalah lahan-lahan agroforestik, di mana masih bisa untuk dikembangkan lebih luas. Potensi untuk pengembangan rempah-rempah ini juga cukup besar, banyak rempah-rempah yang dikembangkan di luar Jawa, di Pulau Jawa juga ada,” kata Dwi.

Dilihat dari sebarannya, komoditas rempah ini memang banyak tersebar di luar Pulau Jawa. Cengkih misalnya, sentra komoditas ini terdapat di Pulau Sulawesi yang untuk lahannya sendiri mencapai 243.864 ha atau sekitar 44,74% dari luas areal nasional. Sentra cengkih tersebar di Pulau Sulawesi, seperti Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan.

Untuk lada, luas lahan paling besar terdapat di Kepulauan Bangka Belitung, dengan luasan mencapai 50.879 ha atau sebanyak 29,15% dari luas lahan nasional. Produksinya mampu menembus 33.181 ton, menyebabkan Bangka Belitung sendiri mampu menyumbang sebanyak 40,83% dari total produksi nasional sebesar 82.808 ton.

Wilayah Maluku dan Papua menjadi tumpuan bagi komoditas pala, di mana dari total luas lahan sebesar 89.943 ha (50,43% dari lahan pala nasional), mampu menghasilkan sebanyak 17.220 ton pala atau sebanyak 51,70% dari total produksi seluruh Indonesia.

 

 

Impor Rempah
Mirisnya, dari sisi produksi ini nyatanya masih ada celah dari negara lain untuk memasukkan produk rempahnya ke Indonesia. Produk asing yang masuk ke negara yang dikenal sebagai produsen besar rempah dunia ini merupakan produk olahan yang memiliki nilai tambah lebih.

“Basis rempah yang diproduksi dalam negeri ini umumnya kita sudah bisa ekspor. Namun, kita ada impor dalam bentuk olahan, ini yang menjadi tidak berimbang. Kita ekspor dalam bentuk komoditas, tetapi ketika masuk ke Indonesia sudah menjadi bentuk olahan,” terang Agus.

Data dari Statistik Perkebunan 2016-2018 mencatat, pada 2016 Indonesia mengimpor lada putih bubuk dari negeri Belanda sebanyak 2,65 ton, nilainya mencapai US$43.835. Lebih ekstrem lagi, Indonesia juga menjadi sasaran Vietnam untuk memasarkan produk kayu manis dalam bentuk bubuk ataupun giling sebanyak 1,13 juta ton dengan nilai US$4,295 juta.

Tidak hanya terancam dijajah oleh produk olahan lain, ke depannya masih ada banyak tantangan terkait dengan rempah Indonesia. Catur memaparkan, perlu tercipta adanya hubungan yang erat antara jalur dari petani ke kelompok tani, dari buyer lokal ke processing, hingga sampai ke eksportir.

Dalam pandangan Catur, melalui hubungan erat tersebut dapat mempermudah dalam melacak titik kesalahan yang terjadi sehingga dapat segera dibenahi.

Di sisi lain, Dewan Pengurus Rempah Indonesia lebih menyoroti tentang harga dan keterbatasan biaya sebagai kendala dalam pengembangan rempah Indonesia.

“Kalau kita mau regenerasi produk dengan nilai tambah ataupun branding, itu juga butuh cost. Tapi caranya bagaimana? Kalau kita invite perusahaan luar agar mau investasi di Indonesia, kita nanti bisa mati,” ungkap Sigit.

Bagi Sigit yang juga merupakan eksportir, keberadaan pihak asing yang mendirikan perusahan besar di Tanah Air menjadi ancaman tersendiri meskipun akan memberikan banyak keuntungan bagi petani.

“Tapi kalau buat petani sebetulnya ada advantage-nya, namun loss benefit-nya nanti harus dikaji, harus ditimbang-timbang. Apakah nanti akan bisa mendongkrak harga atau ada value adding disitu,” jelas Sigit.

Sigit juga memaparkan bahwa komoditas rempah memiliki rata-rata harga yang jeblok. Sebagai contoh lada, yang pada tahun lalu kisaran harganya bisa mencapai Rp160—180 ribu/kg, kini hanya dihargai senilai Rp50—60 ribu/kg. Sedangkan, pala yang sebelumnya bisa mencapai Rp110 ribu/kg, turun drastis hingga berada di angka Rp40 ribu/kg.

Terkait dengan harga, Direktur Tanaman Semusim dan Rempah juga mengakui ini merupakan tantangan terbesar bagi Kementan. Menurutnya, ketidakstabilan harga ini dapat mempersulit petani untuk melakukan perencanaan produksi, terlebih lagi mengingat sebagian besar tanaman rempah ini adalah tanaman tahunan.

“Itu penting bagi kami. Meningkatkan kesejahteraan petani menjadi fokus utama kita, pendapatan petani bisa terjamin melalui rempah. Kesejahteraan petani itu tidak hanya dari produksi, tetapi juga di pemasaran. Secara kelembagaan, semua harus terlibat dalam peningkatan produksi, meningkatkan daya saing juga penting bagi kita,” papar Agus.

Ke depannya dari penuturan Agus, industri-industri berbasis pada rempah-rempah harus segera dibangun sehingga bisa menghadapi pasar internasional.

“Kondisi ini yang harus kita perbaiki, industri ke depan harus kita bangun, baik industri untuk ekspor, maupun industri untuk konsumsi dalam negeri. Ini harus kita bangun ke depan, karena jika produk rempah dikemas dengan bagus, ada mereknya, ada jaminannya dan sesuai Standar Nasional Indonesia, semuanya akan lebih mudah dikelola,” ungkap Agus.

Dari kacamata ekonom, Dwi Andreas melihat bahwa ke depannya pemerintah perlu untuk berkonsentrasi pada keunggulan daerah masing-masing.

“Jangan terpicu oleh keinginan pusat yang fokus mengamankan pangan saja. Pemerintah daerah juga perlu mengembangkan produk-produk keunggulan pemerintah yang bersangkutan, banyak sekali produk unggulan ini berkaitan dengan rempah-rempah yang belum banyak disentuh,” jelas Dwi Andreas.

Memiliki nama besar sebagai pusat penghasil rempah dunia di mana lalu, Indonesia sesungguhnya memiliki potensi untuk menjadi penguasa pasar rempah di masa kini. Sayangnya, potensi itu kini tak dimanfaatkan maksimal.

Perlu perhatian pemerintah untuk meningkatkan produktivitas perkebunan rakyat, begitu pula dengan penanganan paska panen sehingga kualitas rempah nusantara tetap mumpuni. Jika upaya lebih tak diambil, bisa jadi nama besar Spice Island hanya dikenal di buku-buku sejarah. (Shannies Tri Pinasthi, Dimas Satrio, Teodora Nirmala Fau, Mahatma D Putra)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar