06 Maret 2018
19:59 WIB
JAKARTA – Meskipun masih kerap menimbulkan kontroversi mengenai penerapannya, hingga saat ini pungutan terhadap ekspor produk sawit tidak terhenti. Pada awal tahun 2018 ini pun, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) menargetkan akan ada pundi-pundi Rp10,9 triliun dari ekspor komoditas tersebut. Optimisme akan pencapaian pungutan sawit demikian besar.
Memasuki bulan ketiga 2018, BPDP-KS bahkan memproyeksikan nilai yang bisa dituai dari pungutan sawit tahun ini mencapai Rp13 triliun. Angka ini lebih tinggi 19,27% dibandingkan target 2018 yang telah ditetapkan Rp10,9 triliun.
Direktur Penyaluran Dana BPDP Kelapa Sawit, Edi Wibowo mengatakan, adanya kenaikan proyeksi pendapatan disebabkan telah keluarnya pencapaian pungutan sawit 2017. Sementara itu, total pungutan ekspor produk sawit 2017 berada di angka Rp14,2 triliun.
"Dengan kondisi agak mirip dengan tahun 2017, kami asumsikan tahun 2018 kurang lebih sekitar Rp13 triliun. Sementara itu, target terkumpul dana sebesar Rp10,9 triliun," papar di Jakarta, Selasa (6/3), seperti dilansir Antara.
Edi menjelaskan, komposisi ekspor produk kelapa sawit pada tahun lalu, yakni 75% merupakan produk turunan. Sisanya sebanyak 25% merupakan crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah. Nilai ekspor CPO, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Januari—Desember 2017 menyentuh angka US$4,70 miliar. Volume CPO-nya mencapai 7,08 juta ton.
Sementara itu, pada periode Januari-Februari 2018, total ekspor CPO beserta turunannya tercatat sebanyak 6,5 juta ton. BPDP-KS mencatat, realisasi penerimaan dana pungutan dari perusahaan ekspor kelapa sawit pada Januari—Februari 2018 total mencapai Rp 2,1 triliun. Angka tersebut setara dengan 19,26% dari target tahun ini sebesar Rp 10,9 triliun.
"Untuk Januari pungutan sebesar Rp1,1 triliun dan pada Februari sebanyak Rp1 triliun," imbuhnya.

Sekadar informasi, BPDP-KS merupakan badan layanan umum (BLU) yang dibentuk pemerintah untuk menghimpun, menyimpan, dan menyalurkan dana sawit. Penghimpunannya sendiri bersumber dari pelaku usaha perkebunan kelapa sawit, dana lembaga pembiayaan, dana masyarakat, serta dana lain yang sah.
Pembentukan badan ini merupakan upaya pemerintah mengembangkan sektor sawit nasional secara berkelanjutan sejak tiga tahun lalu. Pasalnya, pada 2015, sektor komoditas ini mengalami masa sulit akibat penurunan harga CPO yang cukup tajam.
Tarif pungutan yang diberlakukan untuk ekspor sawit sudah ditentukan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 33/PMK.05/2016 tentang Tarif BLU BPDP-KS. Tiap tahunnya dipastikan ada kenaikan tentang pungutan yang diberlakukan untuk sawit-sawit yang diekspor.
Terhitung mulai tanggal 1 maret 2016—28 Februari 2017, tarif yang dikenakan sebesar US$3 per ton. Lalu terhitung 1 Maret 2017—28 Februari 2018, pungutannya sebesar US$5 per ton. Hingga saat ini, per 1 Maret 2018, tarif pungutannya menjadi US$10 tiap ton.
Nantinya pundi dari hasil pungutan ekspor tersebut akan disalurkan untuk berbagai program yang masih berhubungan dengan industri kelapa sawit. Beberapa diantaranya, yakni peremajaan sawit rakyat, penyaluran biodiesel, pelatihan dan pengembangan petani. Ada juga dukungan fasilitas infrastruktur, riset dan pengembangan, sampai promosi dan advokasi.
Khusus untuk dana yang diperoleh sepanjang 2017, alokasi dana selama tahun ini akan digunakan untuk kegiatan peremajaan lahan perkebunan sawit seluas 185.000 hektare. Tidak hanya itu, akan ada pula alokasi untuk mandatori biodiesel sebesar 3,5 juta kiloliter dengan target penyerapan maksimal 70%. (Teodora Nirmala Fau)