27 Januari 2018
10:28 WIB
DAVOS – Pengembangan industri di kawasan ASEAN yang sekaligus menjadi jawaban untuk tantangan revolusi industri keempat (Industry 4.0) menjadi salah satu kesepakatan negara-negara di Asia Tenggara dalam World Economic Forum (WEF). Sektor industri yang mendapat perhatian khusus dalam kesepakatan tersebut, antara lain makanan dan minuman, otomotif, serta textile clothes footwear (TCF).
“Sektor industri tersebut dipilih mengingat pentingnya peran sektor tersebut terhadap perkembangan ekonomi di kawasan ASEAN,” ucap Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Ngakan Timur Antara, di Davos, Jumat (26/1), seperti dilansir dari siaran pers Kemenperin.
Instrumen yang tengah diusung untuk pengembangan kerja sama ini adalah standardisasi. Yang dianggap akan mampu menjawab kebutuhan perdagangan di ASEAN guna menjadi pasar tunggal.
Dengan adanya kesepakatan pengembangan industri Asia Tenggara ini, SNI yang pada dasarnya bersifat sukarela di beberapa sektor menjadi diberlakukan secara wajib khususnya untuk segala produk komersial. Tidak hanya dalam rangka keselamatan, kesehatan kerja, dan lingkungan; SNI lebih khusus harus diperoleh sebagai penjaminan terhadap keamanan penggunanya.
“Pada hakekatnya pemberlakuan SNI secara wajib. Selain melindungi konsumen dari banyaknya produk-produk yang tidak sesuai dengan standar, juga digunakan untuk perlindungan industri dalam negeri melalui penciptaan persaingan usaha yang sehat,” papar Ngakan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana Industri, pemberlakuan SNI pada prinsipnya diperuntukkan bagi barang yang diperdagangkan. Namun, ini dikecualikan untuk barang-barang yang tidak diperdagangkan, seperti barang untuk keperluan contoh uji, penelitian, atau pameran termasuk barang pribadi penumpang.
Saat ini, Kemenperin telah memberlakukan sebanyak 105 SNI wajib yang terbagi dalam 253 pos tarif pada sektor industri manufaktur. Beberapa di antaranya untuk makanan, minuman, tekstil dan aneka, logam, kimia dasar, kimia hilir, otomotif, serta elektronika.
Di Indonesia sendiri, standardisasi meliputi tiga cara berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, yani Standar Nasional Indonesia, spesifikasi teknis, dan pedoman tatacara SNI.
Ngakan mengingatkan, penerapan SNI wajib di lapangan harus ditunjang dengan pemahaman yang cukup dari semua pihak. Dengan Demikian, munculnya kesalahpahaman soal hal ini dapat diminimalkan.
Tidak hanya petugas pengawas lapangan, masyarakat pun harus sadar akan esensi dan tujuan dari pemberlakuan SNI wajib. Untuk itu, koordinasi dan sinergi antara pemangku kepentingan, yaitu pelaku usaha, konsumen dan, pemerintah dalam meningkatkan pemahaman terhadap hakekat pemberlakuan SNI wajib terus dilaksanakan secara berkesinambungan.
Pengecualian Mainan Impor
Koordinasi terbaru terkait penerapan SNI terlihat dari disepakatinya ketentuan pengecualian SNI yang diberikan kepada mainan impor. Kesepakatan tersebut diputuskan oleh Kemenperin bersama Kementerian Perdagangan, Ditjen Bea dan Cukai, serta Badan Standardisasi Nasional.
Pendorong diambilnya kesepakatan tersebut adalah viralnya video tentang seseorang, yang diketahui bernama Faiz Ahmad, yang merusak mainan bawaannya dari luar negeri. Alasannya, karena mainan tersebut dilarang masuk oleh petugas Bea dan Cukai di Bengkulu, 11 Januari 2017.
Bea Cukai berargumen, larangan tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 55/M-IND/PER/11/2013 tentang SNI Mainan secara Wajib. Di mana siapapun yang membawa mainan impor diwajibkan untuk mengurus izin SNI dari Kemenperin terlebih dahulu.
Dirjen Industri Kecil dan Menengah Kemenperin, Gati Wibawaningsih, pun tak menampik pentingnya SNI, tak terkecuali dalam mainan impor. Bagaimanapun, hal ini demi terciptanya perlindungan bagi pihak-pihak terkait.
“SNI merupakan salah satu instrumen regulasi teknis yang bertujuan dapat melindungi kepentingan konsumen dan produsen dalam negeri,” ujar Gati di Jakarta, Selasa (23/1), seperti dilansir Antara.
Namun, di dalam kesepakatan pengecualian terhadap mainan impor, diputuskan ada dua poin di mana mainan impor tersebut diperkenankan tidak ber-SNI. Pertama jika dibawa melalui barang bawaan penumpang maksimal lima buah per orang dengan menggunakan pesawat udara. Kedua, melalui barang kiriman maksimal tiga buah per pengiriman untuk satu penerima per 30 hari.
“Aturan ini memberi batasan kuantitas sebanyak lima pieces untuk barang bawaan pribadi melalui pesawat terbang dan tiga pieces untuk barang kiriman melalui jasa ekspedisi. Konsumen diberikan tenggat waktu 30 hari untuk bisa melakukan impor barang mainan melalui jasa ekspedisi,” tuturnya menegaskan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani juga sempat berkomentar soal SNI mainan impor ini. Ia menganggap ini sebuah dilema. Di satu sisi, Kementerian Perindustrian mengharapkan adanya suatu proteksi terhadap industri di dalam negeri. Di sisi lain, masyarakat yang melakukan perjalanan juga membawa mainan anak.
“Dalam hal ini tidak ada pembedaan antara membawa mainan untuk kebutuhan pribadi dengan yang diperjualbelikan," kata Sri Mulyani usai rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, Selasa.
Hal ini menjadi tantangan besar sebab sebagian penjual yang memperdagangkan barangnya melalui media sosial juga membeli barang impor dalam partai kecil. (Teodora Nirmala Fau)