14 Oktober 2017
22:01 WIB
TABANAN- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan sebanyak 64 bank umum dan bank perkreditan rakyat terdampak status awas Gunung Agung di Kabupaten Karangasem, Bali. Sejumlah kredit macet dan potensi kredit macet akibat bencana ini pun sudah dilaporkan perbankan nilainya mencapai bisa mencapai Rp 2 triliun
"Ada beberapa bank yang sudah melakukan langkah sejak status awas, dan kami sudah merapatkan hal itu dengan perbankan," kata Deputi Direktur Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan II OJK Regional 8 Bali dan Nusa Tenggara Rohman Pamungkas seperti dikutip dari Antara, Sabtu (14/10)
Menurut Rohman, perbankan yang terdampak langsung itu yakni dua bank umum yang berkantor pusat di Bali yakni Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali dan Bank Mandiri Taspen Pos (Bank Mantap), empat BPR dan delapan bank umum serta 50 BPR di luar kawasan rawan bencana.
Ia menjelaskan BPD Bali ada dua kantor cabang pembantu dan tiga kantor kas yang terdampak karena berada di daerah rawan bencana. Sementara Bank Mantap, lanjutnya, melaporkan ada enam kantor cabang pembantu di antaranya berada di Desa Selat dan Kantor Fungsional UMK di Desa Menanga, Kubu, Bebandem dan Subagan.
OJK juga mencatat ada empat Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang terdampak yakni BPR Sandi Raya Utama, BPR Mitra Bali Arta Mandiri, BPR Dana Master Dewata, dan BPR Nusamba Manggis. Delapan bank umum yang merupakan kantor cabang di Kabupaten Karangasem dari kantor pusat di Jakarta, juga terdampak meliputi aktivitas perbankan yang ditutup sementara termasuk mempengaruhi kinerja kredit debitur.
Pihaknya mencatat jumlah total yang terdampak dari delapan bank umum itu mencapai Rp570,86 miliar baki debet atau saldo pokok dari plafon pinjaman yang telah disepakati dalam perjanjian kredit. Rohman memaparkan, untuk potensi kredit macet di BPD Bali diperkirakan total mencapai Rp781,12 miliar dan kredit macet yang timbul atau yang sudah terjadi mencapai sekitar Rp80 miliar atau sekitar 4,8% dari total potensi NPL tersebut.
Di Bank Mantap, imbuhnya, ada sekitar Rp479 miliar dana kredit yang diprediksi macet atau NPL dan yang sudah macet mencapai Rp54 miliar. Selain bank tersebut, OJK juga memprediksi sebanyak 50 BPR terdampak dengan baki debet mencapai Rp146,52 miliar. Ke 50 BPR itu ada di luar rawan bencana Karangasem namun memiliki debitur di daerah berbahaya itu.
Sejak ditetapkan status awas Gunung Agung pada 22 September 2017, sejumlah perbankan yang berada di daerah rawan bencana sudah melakukan sejumlah langkah. Di antaranya mengevakuasi pegawai ke kantor cabang terdekat, mengamankan aset dan berkas-berkas penting.

Penyaluran Kredit
Kendati di tengah ancaman bencana Gunung Agung, Otoritas Jasa Perbankan (OJK) mendorong perbankan di Provinsi Bali untuk mengoptimalkan penyaluran kredit. Ini lantaran realisasinya yang masih rendah sedangkan penghimpunan dana masyarakat cenderung lebih gesit.
"Perbankan belum mampu melakukan fungsi intermediasi dalam bentuk kredit dengan optimal," kata Rohman.
OJK mencatat dana pihak ketiga yang dihimpun perbankan umum dan BPR di Bali hingga Agustus 2017 mencapai Rp95,3 triliun atau tumbuh 8,5% jika dibandingkan posisi Desember 2016. Namun pertumbuhan realisasi kredit atau pembiayaan kepada masyarakat hingga Agustus 2017 mencapai 3,98% dengan jumlah total kredit bank umum dan BPR yang disalurkan mencapai Rp81 triliun.
Rohman menyebutkan belum optimalnya realisasi kredit disebabkan karena perbankan selektif menyalurkan kredit. Hal ini ta terlepas dari rasio kredit bermasalah hingga macet atau NPL makin meningkat.
"Ini menuntut bank berkonsentrasi lebih fokus bagaimana NPL tidak semakin besar. Mereka terpecah konsentrasinya antara menyalurkan kredit dan menjaga NPL," imbuhnya.
OJK mencatat NPL di Bali secraa umum hingga Agustus 2017 mencapai 3,6%. Terdiri dari NPL bank umum mencapai 3,02% atau meningkatkan dibandingkan posisi Desember 2016 yang mencapai 2,11%.
Sedangkan NPL BPR mencapai 7,63% atau melonjak dibandingkan posisi akhir tahun 2016 mencapai 4,91%. Menurut OJK, rasio NPL di Bali paling besar dari sektor perikanan dengan rasio mencapai 19,5%, pertambangan dan penggalian 14,6% serta sektor penyediaan akomodasi makan dan minum sebesar 10,4%.
Untuk itu pihaknya mengimbau perbankan untuk mencari sektor-sektor yang potensial dibiayai dan tidak berisiko tinggi menimbulkan NPL seperti di antaranya sektor pertanian, industri pengolahan dan bukan lapangan usaha yang mencapai rasio NPL di bawah tiga persen.
"Mereka harus mencari usaha yang bisa dibiayai yang tidak berisiko atau berisiko tetapi masih bisa dimitigasi. Itu sektor yang harus dikaji sebisa mungkin oleh perbankan," ucapnya.
Bank Indonesia sendiri melalui survei perbankan melihat pertumbuhan kredit baru perbankan pada triwulan III 2017 masih melambat, terutama pada kredit modal kerja dan konsumsi. Hal itu tercermin dari Saldo Bersih Tertimbang (SBT) permintaan kredit baru triwulan III 2017 yang sebesar 77,9%, menurun dibanding 83,4% pada triwulan II 2017.
"Ini dipengaruhi terbatasnya kebutuhan pembiayaan dari nasabah," tulis BI dalam laporannya berupa Statistik Survei Perbankan Triwulan III BI
Survei triwulanan tersebut melibatkan 41 responden bank umum yang berkantor pusat di Jakarta, dengan pangsa kredit 80 persen dari total nilai kredit bank umum secara nasional.
Sementara kredit modal kerja dan konsumsi melambat, kredit investasi tumbuh menguat. Indikasi itu tercermin dari SBT kredit investasi yang naik pesat menjadi 69,8% dari 40,8% di triwulan sebelumnya.
BI mendeteksi melambatnya kredit konsumsi karena menurunnya perintaan kredit pemilikan rumah/apartemen (KPR/KPA), terkontraksinya permintaan kartu kredit dan Kredit Tanpa Agunan (KTA). Bank Sentral memerkirakan peningkatan penyaluran kredit baru akan terjadi di triwulan IV 2017 karena membaiknya pertumbuhan ekonomi dan adanya penurunan suku bunga kredit sejalan dengan pelonggaran kebijakan moneter yang telah dilakukan.
Dari survei itu juga ditemukan perkiraan pertumbuhan penyaluran kredit sebesar 10,6% (year on year/yoy). Angka ini masih lebih rendah jika dibandingkan survei sebelumnya yang memperkirakan sebesar 12,4 persen (yoy). (Faisal Rachman)