10 November 2018
18:03 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA - Kondisi industri kecil dan menengah (IKM) saat ini dipandang tidak lagi sama dengan keadaannya di waktu-waktu krisis ekonomi, seperti tahun 1998 maupun 2008. Saat perekonomian nasional tengah terkoreksi kondisi global yang tak menentu, IKM di 2018 ini justru tidak mampu berucap banyak sebagai tulang punggung perekonomian nasional.
Peneliti Indef, Ahmad Heri Firdaus mengamini, kondisi IKM saat ini berbeda dengan kemampuannya di dasawarsa-dasawarsa sebelumnya. Beban ekonomi yang kian besarlah yang membuat sektor industri ini menjadi tampak kian lesu dibandingkan industri besar dan sedang (IBS).
“Beban ekonomi sudah semakin besar. Kalau dia mau bikin industri kecil, modal yang diperlukan sekarang sama waktu itu relatif berbeda. Sekarang relatif lebih mahal dan membuat daya saingnya mungkin tidak bergerak,” tuturnya kepada Validnews, Sabtu (10/11).
Ya, dibandingkan IBS, pertumbuhan IKM pada kuartal III-2018 memang tidak terlalu menggembirakan. Sektor industri ini dicatat BPS hanya tumbuh sebesar 3,88% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Padahal di sisi lain, pertumbuhan IBS di periode yang sama bisa moncer sampai 5,04% secara year to year.
Heri melihat, sebenarnya kedua kelompok industri ini sama-sama terguncang dengan labilnya kondisi ekonomi global di tahun 2018. Hanya saja, pertumbuhan IBS bisa lebih baik sebab mendapatkan banyak insentif dari pemerintah. Insentif tersebutlah yang tidak diperoleh oleh IKM.
“Insentif apa untuk IKM? Paling cuma yang keringanan pajak penghasilan 0,5% itu,” kata alumnus IPB tersebut.
IKM pun saat ini dipandang belum mampu keluar dari masalah klasiknya. Setidaknya menurut Heri, ada tiga masalah klasik sektor industri ini, yakni pembiayaan, pemasaran, hingga keahlian tenaga kerja. Para pelaku IKM pun dianjurkan untuk segera berbenah. Salah satunya dengan memanfaatkan teknologi digital untuk bisa menyelesaikan ketiga masalah klasik tersebut.
“Saya rasa industri kecil ini harus memanfaatkan digitalisasi ekonomi. Contohnya bagaimana mencari pembiayaan dari situ, kemudian marketing-nya, terus bisa mencari kemitraan. Tapi kan syaratnya harus melek teknologi dulu. Karena kalau kita lihat, kemampuan masyarakat di luar Jawa, ini kan juga cukup timpang dalam hal melek teknologi,” ungkapnya lagi.
Sebelumnya, Chief Executive Office IFC Philippe Le Houerou dalam Forum Inklusi Fintech Indonesia di Jakarta, menjelaskan saat ini pelaku UMKM di Indonesia masih kesulitan mendapatkan kredit pembiayaan dari sumber-sumber konvensional untuk mendorong perkembangan bisnis. Kesulitan tersebut, di antaranya terlihat dari kesenjangan pembiayaan untuk sektor usaha kecil dan menengah yang mencapai US$166 miliar sekitar 19% dari pendapatan domestik bruto (PDB) pada 2017.
“Usaha kecil dan menengah Indonesia “tetap secara signifikan terhambat dalam mendapatkan kredit," kata Le Houérou di The Darmawangsa, beberapa waktu lalu.
Fintech pun dianggap mampu mengatasi pembiayaan bagi usaha mikro, kecil dan menengah yang belum tersentuh perbankan ini.
Asal tahu saja, saat ini terdapat kurang lebih 58 juta UMKM di Indonesia. Usaha-usaha ini berpotensi memperkerjakan 89% tenaga kerja di sektor swasta dan memberikan kontribusi hingga 60% bagi PDB nasional.
Serap Tenaga Kerja
Meski tak menunjukkan pertumbuhan menggembirakan, Direktur Jenderal IKM Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Gati Wibawaningsih menyebutkan jumlah IKM nasional akan semakin meningkat seiring pertumbuhan kelas menengah yang diperkirakan mencapai 70% dari total penduduk Indonesia pada tahun 2025 nanti. Sebanding dengan itu, IKM ke depannya juga dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak lagi.
“Ketika mencapai 4 juta unit IKM di tahun 2016, tenaga kerja yang terserap lebih dari 10 juta orang. Tentunya, jumlah tersebut mendominasi dari populasi tenaga kerja industri di Indonesia,” ungkap Gati.
Secara jumlah, IMK memang kian menjamur. Kemenperin mencatat, jumlah IKM di Indonesia meningkat sebanyak 27,55% dalam kurun waktu 2014-2018.
Lebih rinci, industri kecil di tahun 2014 hanya sebanyak 3,52 juta unit usaha. Hingga semester I 2018, ada penambahan 970 industri kecil menjadi 4,49 juta unit usaha.
Penambahan jumlah tersebut turut menyumbang lapangan pekerjaan. Sebelumnya BPS mencatat jumlah tenaga kerja berdasarkan lapangan pekerjaan utama pada tahun 2016 mencapai 120.647.697 orang. Di mana 13% di antaranya atau sebanyak 15.975.086 orang bekerja di sektor industri.
Lebih lanjut, tenaga kerja itu terkonsentrasi di Pulau Jawa, dengan kontribusi terbesar dari Provinsi Jawa Barat sekitar 3.892.044 orang (24,93%), Jawa Tengah 3.219.793 orang (20,16%), dan Jawa Timur 2.948.203 orang (18,46%).
Demi memperluas serapan tenaga kerja, Kemenperin juga gencar menumbuhkan wirausaha baru khususnya pada sektor IKM. Sebelumnya, sejak awal tahun 2018, Kemenperin memang terus memacu pengembangan IKM nasional agar dapat tumbuh di atas 10%.
Seiring dengan perkembangan era revolusi industri 4.0, para pelaku IKM nasional dipacu untuk segera memanfaatkan teknologi terkini.
“Misalnya, kami telah memberikan pelatihan pemasaran digital bagi pengurus dan anggota Bhayangkari yang diikuti sebanyak 200 peserta di Surabaya beberapa waktu lalu,” terang Gati.
Dari penuturan Gati, para peserta pelatihan diberikan pemahaman tentang proses produksi, standarisasi produk dan kemasan, pendaftaran Hak Atas Kekayaan Intelektual (HKI), serta fasilitas restrukturisasi mesin dan peralatan IKM.
Selain itu, para peserta juga diperkenalkan tentang aplikasi “IKM Digital Learning” yang merupakan hasil kerja sama antara Ditjen IKM dengan Ruangguru.
“Mereka dapat me-refresh materi-materi yang diberikan di dalam kelas dengan menyaksikan video materi pada aplikasi tersebut,” imbuhnya.
Di samping itu, peningkatan kompetensi sumber daya manusia (SDM) adalah salah satu syarat mutlak dalam pemberdayaan IKM nasional agar lebih berdaya saing global di tengah era revolusi industri 4.0.
“Selain dengan pelatihan, pemberdayaan IKM juga perlu dilakukan melalui pendampingan. Untuk itu, dibutuhkan pembina industri yang memiliki pengetahuan dan kemampuan mumpuni,” kata Sekretaris Ditjen IKM Kemenperin Eddy Siswanto.
Eddy menyebutkan, sepanjang tahun ini, Ditjen IKM Kemenperin telah melakukan pembinaan kepada lebih dari 120 tenaga penyuluh untuk memacu daya saing IKM nasional. Peserta itu terdiri dari Pejabat Fungsional Penyuluh Perindustrian dan Perdagangan (PFPP), fasilitator manajemen mutu, analis kontrol industri pangan, dan konsultan HKI.
“Para PFPP ini harus memiliki tiga jenis kompetensi, yaitu tentang manajerial, teknis, dan sosio kultural. Saat ini, jumlah PFPP dari 20 provinsi sudah sebanyak 262 orang. Di tahun 2018 ini, pengembangan IKM akan difokuskan pada pembinaan peningkatan kualitas kemasan,” paparnya.
Dalam rangka meningkatkan nilai tambah produk IKM, sampai tahun 2017, Ditjen IKM telah membantu pembuatan 6.998 desain kemasan, 7.396 desain merek dan bantuan dalam bentuk kemasan cetak kepada 351 IKM.
Sementara di bidang HKI, Ditjen IKM telah membina sebanyak 1.045 orang fasilitator HKI. Sedangkan Klinik HKI IKM, hingga Agustus 2018, telah memfasilitasi pendaftaran HKI sebanyak 3.563 merek, 1.224 hak cipta, 16 paten, dan 69 desain produk industri. (Teodora Nirmala Fau, Shanies Tri Pinasthi)