24 September 2019
19:38 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Gedung bercat putih itu kelihatan bersih. Terdapat sekat-sekat yang membentuk ratusan ruangan dengan lebar kurang lebih dua meter di dalamnya. Ada beberapa lantai di bangunan berukuran panjang sekitar 700 meter tersebut.
Tak hanya lantai satu, dua lantai berikutnya ruangan berbentuk serupa. Kios-kios kecil yang nantinya digunakan untuk berdagang memenuhi dinding kanan dan kiri ruangan. Cat baru dan lantai yang bersih membuat ruangan tampak apik.
Bangunan tak hanya terhenti di lantai tiga. Tinggi menjulang di atasnya terdapat 22 lantai ruangan semacam rumah. Ya, ini adalah bangunan rumah susun sewa (Rusunawa). Yang disambangi Validnews kali ini, adalah Rusunawa Pasar Rumput, Jakarta Selatan, pada Minggu sore (22/9).
Di lokasi ini, warga ramai mengurus kiosnya. Ada yang menyiapkan barang dagangan. Ada pula yang memasang perkakas bangunan. Mereka bergiat, bersiap menyambut peresmian operasional tempat berdagang yang baru itu.
“Mulai buka pasarnya 1 Oktober (2019), Mas,” ungkap pria yang disapa Sariman itu kepada Validnews.
Bapak berumur 52 tahun ini menceritakan, gedung ini tak hanya dioperasionalkan untuk perdagangan pasar, tetapi juga ditujukan untuk hunian tempat tinggal.
Sariman bercerita, setidaknya minimal ada 700 kios lebih yang sudah tersedia untuk menampung pedagang yang berjualan di sekitar gedung tersebut. Dan sepengetahuan dia, ketersediaan kios itu cukup menampung pedagang pasar tampungan yang ada di sekitar wilayah Rusunawa tersebut.
Mereka, kata Sariman, sudah diberikan kunci kios untuk membuka toko. Tak hanya itu, skema dagang di pasar tersebut juga sudah ditentukan.
“Lantai satu untuk sembako. Lantai dua untuk pakaian dan elektronik, dan lantai tiga untuk jual emas,” kata bapak yang tinggal di sekitar wilayah pasar rumput itu.
Selama mengurus kios di sana, ia mengaku belum diberitahu harga sewa kios dan rusunawa yang ditempati. Katanya, belum ada kepastian dari pemerintah soal harga sewanya. Meski begitu, ia mengaku senang dengan rusunawa yang terintegrasi dengan pasar ini. Ia merasa ini jelas lebih baik ketimbang suasana pasar sebelumnya yang dirasa kumuh.
Sebelum pasar dibongkar, lantai empat pasar tersebut tak memiliki atap. Akibatnya, saat hari hujan, pasar selalu basah sampai di lantai 1.
Namun, setelah pembangunan rusunawa, semua berbeda. Lebih rapi. Lebih indah.
Sebagai pedagang, ia yakin pasar ini akan dipenuhi pembeli tetap yang berasal dari penghuni rusunawa kelak.
“Menurut aku, itu pemikiran yang modern. Itu dah enggak buang-buang ongkos. Sekarang kalau ke pasar, ongkos (berangkat) Rp3.000, bolak balik Rp6.0000. Ini kan tinggal turun lift doang,” papar pria berkulit sawo matang itu sambil terkekeh.
Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Rusunawa Pasar Rumput terdiri dari tiga tower yang mencakup 25 lantai. Terdapat 1.984 unit hunian bertipe 36 dan 1.314 unit kios secara keseluruhan.
Bangunan ini menjadi pilot project atau proyek percontohan antara Kementerian PUPR dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dalam mengembangkan pasar ini. Rusunawa ini dibangun melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kemudian dihibahkan kepada Pemprov DKI Jakarta untuk dikelola. Sejauh ini, perkembangan pembangunannya sudah hampir rampung atau mencapai 98%.
Nilai kontrak pembangunannya sebesar Rp961,3 miliar. PT Adhikakarsa Pratama menjadi perencana pembangunan, PT Waskita Karya menjadi kontraktor pelaksana, dan PT Ciria Jasa Cipta Mandiri menjadi konsultannya.

Hunian Murah
Keberadaan pasar di Rusunawa Pasar Rumput tersebut merupakan pengembangan pasar model baru berupa konsep mixed use. Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono, membenarkan mengenai pengimplementasian konsep mixed use tersebut.
Pembangunan konsep itu tak hanya di Pasar Rumput. Hal sama dilakukan di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
“Backlog kita ini kan masih banyak,” jelas Basuki di Auditorium PUPR, Jakarta, Senin (23/9), menyebutkan alasan mengawinkan hunian dan pasar dalam satu bangunan.
Untuk diketahui, konsep mixed use building adalah konsep bangunan yang mengintegrasikan area lebih dari satu fungsi dalam satu bangunan tersebut. Pada konsep ini, ada fungsi-fungsi lain seperti fungsi hotel, apartemen, dan pusat perbelanjaan.
Dikutip dari Jurnal “Konsep Mixed-Use Building dan Central Business District Sebagai Alternatif Penataan Bangunan dan Kawasan Untuk Keberlanjutan Kota”, salah satu poin yang ditekankan dalam konsep mixed use adalah optimalisasi lahan dan infrastruktur dalam kota di tengah laju kenaikan kepadatan penduduk.
Ditemui terpisah, Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR, Khalawi Abdul Hamid, menjelaskan bahwa pembangunan konsep mixed use menghubungkan dua persoalan yang kini dihadapi banyak kota besar, yakni sempitnya lahan dan tingginya kebutuhan.
Di kota besar umumnya, keberadaan lahan menjadi salah satu barang mewah. Luasan yang tetap, dengan jumlah peminat yang makin banyak, membuat alih fungsi kian laju dan harga terus membumbung.
Di Jakarta, misalnya, berdasarkan laporan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Jakarta (1971-2010) menyebutkan, lahan untuk kawasan hutan dan pertanian berkurang masing-masing 71% dan 16%. Sebaliknya, lahan yang digunakan sebagai permukiman bertambah 2.290%. Sementara, luas tanah di Jakarta tidak berubah, sebesar 662,3 kilometer persegi.
Tingginya permintaan akan tanah membuat harga tanah naik. Sejak tahun 2010, diketahui harga tanah di Jakarta tumbuh 16% per tahun.
Keberadaan konsep ini bertujuan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan ruang dan tanah. Sekaligus juga, konsep ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi yang menunjang kehidupan penghuni dan masyarakat sekitarnya. Konsep ini menurutnya unggul dalam hal efisiensi penggunaan lahan. Sisi lainnya adalah meningkatkan fasilitas umum, yakni pasar.
Sebagai informasi, jumlah pasar tradisional di Indonesia terus menyusut. Pada 2017, total jumlah pasar sebanyak 16.213 pasar dengan rincian 14.230 pasar tradisional, 695 pusat perbelanjaan, dan 1.130 toko modern.
Total jumlah pasar tersebut turun 0,07% menjadi 16.201 pasar dengan rincian 14.182 pasar tradisional, 708 pusat perbelanjaan, dan 1.131 toko modern pada 2018.
Pengembangan pasar dengan konsep mix used ini diyakini memiliki dasar hukum yang kuat. Khalawi mengutip Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, Pasal 50, yang menyebutkan bahwa pemanfaatan rumah susun selain digunakan sebagai hunian, juga bisa digunakan sebagai bukan hunian.
Sesuai dengan tujuan awal, Rusunawa Pasar Rumput ditujukan untuk MBR. Atau, sengaja ditujukan untuk masyarakat menengah ke bawah yang berpenghasilan tidak tetap. Jadi, warga yang menempati hunian di Rusunawa Pasar Rumput itu, kata Khalawi, berasal dari warga penggusuran kali Ciliwung. Ini dibenarkan oleh Sariman.
Pengembangan itu berbeda dari pengembangan konsep transit oriented development (TOD) di beberapa wilayah Jakarta yang menurut Khalawi ,lebih ditujukan untuk kepentingan komersial dan masyarakat mampu.
Rencananya, kata dia, rusunawa mixed use Pasar Rumput ini akan diresmikan Presiden Joko Widodo, sebagai contoh untuk di kota-kota lain.
“Mereka (MBR) juga bisa menikmati hal yang sama, tinggal di rumah vertikal, juga bisa beraktivitas, berusaha, dan berbelanja di tempat yang langsung di lingkungan itu,” kata Khalawi kepada Validnews di Kementerian PUPR, Selasa (23/9).

Peran Daerah
Konsep serupa ditawarkan juga ke swasta. Pemerintah daerah dan swasta bisa mengembangkan konsep mixed use ini. Untuk pemerintah daerah, ia ingin pemerintah daerah, khususnya DKI dengan anggarannya yang besar, mengembangkan konsep ini ke berbagai wilayahnya,
Untuk swasta, pihaknya mendorong skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dengan mengkolabarasikan melalui program sejuta rumah.
“Makanya, regulasi kita permudah, perizinan kita permudah, supporting kita, sharing kita dari infrastruktur dasar bisa ya,” terangnya.
Gayung bersambut. BUMD yang dimiliki DKI Jakarta tak mau ketinggalan dalam pengembangan pasar. Kepada Validnews, Selasa (24/9), Amanda Gita Dinanjar, Asisten Humas PD Pasar Jaya, menyebutkan setidaknya 21 pasar yang dimiliki Pasar Jaya akan direvitalisasi dengan skema Kerja Sama Operasional (KSO).
“Revitalisasi itu dilakukan dengan tujuan untuk lebih mengembangkan konsep pasar tradisional yang selama ini diterapkan di ibu kota. Sehingga bisa berkonsep modern dan dapat berkompetisi dengan yang lain,” ujarnya.
Menurutnya, sejumlah pasar akan dibangun terintegrasi dengan bangunan hotel dan hunian. Saat ini, PD Pasar Jaya berencana mengembangkan Pasar Jembatan Merah yang juga akan diintegrasikan dengan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) seperti halnya Pasar Rumput.
“Pasar di bawahnya diintegrasikan dengan hunian di atasnya,” katanya.
Konsep pasar terintegrasi dengan rusun memang sedang disusun. Salah satunya sebagai langkah BUMD untuk mendukung program gubernur dalam penyediaan affordable housing.
“Pemilihan pasarnya sendiri dinilai dari sejumlah perencanaan, yang salah satu alasannya adalah luas lahan pasar, kedekatan dengan area TOD, dll,” katanya.
Perlu Terobosan
Pengamat tata kota, Nirwono Yoga, menilai bahwa keberadaan konsep mixed used yang mengintegrasikan pasar dan rusunawa itu merupakan suatu terobosan. Konsep ini mengoptimalkan aset antara kebutuhan pasar dan kebutuhan hunian.
“Nah, konsep seperti itu yang harus dikembangkan supaya pasar juga mengikuti perkembangan zaman,” ungkap Yoga menanggapi Rusunawa Pasar Rumput, kepada Validnews lewat sambungan telepon, Senin (23/9).
Akan tetapi, ia memberikan beberapa catatan. Terkait konsep pasar misalnya, ia berpandangan, sejauh ini ada perubahan tentang fungsi pasar. Perubahan tersebut terjadi seiring perkembangan zaman dan munculnya generasi milenial yang berbeda dari sebelumnya. Generasi milenial memiliki minat meluangkan waktunya di tempat yang nyaman dan pasar tak menyediakan hal tersebut.
Tak hanya itu, lanjut dia, keberadaan pasar juga mendapat tantangan dari sisi teknologi digital yang memudahkan masyarakat untuk membeli barang melalui fasilitas online. Hanya dengan sebuah aplikasi digital, mereka sudah bisa mendapatkan barang yang diinginkan tanpa harus berkunjung ke pasar.
Persoalannya, pemerintah hanya berfokus kepada pembangunan fisik pasar, tetapi tidak melihat signifikansi pasarnya.
Ia menilai, pasar kini tak lagi sekadar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi harus lebih dari itu. Menurutnya, pasar selain harus tetap bersih, juga harus memfasilitasi kebutuhan anak muda milenial berupa fasilitas untuk mereka. Sebab, generasi milenial menjadi penentu hidup atau matinya pasar pada era kini.
Maka, perlu juga ada fungsi tambahan berupa fasilitas yang mendukung kegiatan warga terkhusus anak muda, seperti fasilitas coworking space, café, dan restoran.
Beda pandangan, Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Tradisional (Ikappi), Abdullah Mansuri, justru mengkritik keberadaan konsep mixed use tersebut. Menurutnya, pengelolaan pasar tidak mesti dicampur dengan hunian rusunawa. Artinya, keliru jika pasar tradisional dicampur dengan hunian rusunawa karena memperkecil segmen pembeli.
“Agak sulit kalau diperkecil segmennya untuk hanya orang-orang di rusunawa. Ini menurut saya sih perlu jadi catatan ya,” kritiknya, dalam perbincangan dengan Validnews, Senin (23/9).
Ia khawatir pembangunan tempat baru tak akan mewadahi pedagang lama pasar tersebut. Pandangan tersebut muncul berasal dari pengalamannya melihat perkembangan Blok M, Jakarta Selatan, yang akhirnya menyingkirkan pedagang-pedagang yang telah lama berdagang di tempat tersebut. Meski ada perbedaan konsep, Abdullah khawatir proyek revitalisasi pasar bisa mengulangi kejadian seperti di Pasar Blok M.
“Sekarang kita lihat bahwa pasar tradisional tergilas di situ, tidak ada yang jual sayur lagi,” ungkap Abdullah.
Namun, Direktur Logistik Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam negeri Kemendag Sihard Hadjopan Pohan meyakinkan, hal itu tak terjadi. Pasalnya, dalam pembangunan pasar, PUPR berkoordinasi dengan Kemendag.
“Tapi pembangunannya kita koordinasikan dengan PUPR, dananya ada di PUPR, kita hanya koordinasi dari sisi perdagangan, sisi penataan dagangan, sisi penataan jumlah pedagangnya. Jangan sampai mereka (PUPR) bangun, ada pedagang-pedagang yang tidak tertampung. Kita harus pastikan itu, itu yang akan kita urusi,” katanya kepada Validnews, Senin (23/9).
Abdullah sendiri mengakui bahwa kritiknya juga belum bisa terbukti sepenuhnya karena pengembangan konsep mixed use tersebut pun belum beroperasi. Abdullah sendiri masih meninjau perkembangan operasi pasar tersebut ke depannya.
Baginya, pasar tradisional merupakan pusat ekonomi. Pasar tradisional seharusnya dimaksimalkan pengembangannya dari segi peningkatan sumber daya manusia (SDM) pengelola dan SDM pedagang agar bisa mengikuti perkembangan zaman.
“Apapun yang terjadi kita akan bisa membuktikan, apakah yang menjadi acuan kami itu benar atau tidak setelah pasar itu jadi,” tandasnya. (Agil Kurniadi, Kartika Runiasari, Bernadette Aderi, Sanya Dinda, Zsazya Senorita)