23 November 2018
13:51 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JENEWA – Negara-negara anggota G20, kelompok ekonomi terbesar di dunia, terbukti menerapkan 40 langkah-langkah pembatasan perdagangan baru. Hal tersebut dilakukan antara pertengahan Mei hingga pertengahan Oktober tahun ini, dengan nilai US$481 miliar.
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Kamis (22/11) waktu setempat, menyebutkan, pembatasan-pembatasan baru dalam perdagangan, enam kali lebih banyak daripada periode sebelumnya. Catatan tersebut merupakan yang terbesar sejak WTO mulai memantau perdagangan G20 pada 2012.
"Laporan temuan-temuan harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah G20 dan seluruh komunitas internasional," kata Direktur Jenderal WTO Roberto Azevedo dalam pernyataannya yang dikutip Reuters.
Menurutnya, eskalasi lebih lanjut tetap menjadi ancaman nyata. “Jika kita terus berjalan di jalur sekarang, risiko-risiko ekonomi akan meningkat, dengan dampak-dampak potensial untuk pertumbuhan, lapangan pekerjaan dan harga-harga konsumen di seluruh dunia," tuturnya.
Untuk diketahui, WTO melakukan semua yang bisa dilakukan untuk membantu mengurangi situasi. Tetapi, imbuhnya, solusi akan membutuhkan kemauan politik dan kepemimpinan dari G20, yang para pemimpinnya akan bertemu di Argentina minggu depan.
Jumlah bulanan pembatasan-pembatasan perdagangan rata-rata terjadi delapan kali selama periode yang dicakup oleh laporan. Jumlah pembatasan tersebut naik dari enam pembatasan per bulan dalam laporan sebelumnya, pertengahan Oktober 2017 hingga pertengahan Mei 2018.
"Berkembangnya tindakan-tindakan pembatasan perdagangan dan ketidakpastian yang diciptakan oleh tindakan semacam itu dapat menempatkan pemulihan ekonomi dalam bahaya,” tambahnya,
Menurutnya, eskalasi lebih lanjut akan membawa risiko-risiko besar potensial bagi perdagangan global. “Dengan dampak tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, lapangan pekerjaan, dan harga-harga konsumen di seluruh dunia,” cetusnya.

Kenaikan Tarif
Sekadar informasi, tiga perempat dari pembatasan-pembatasan perdagangan terbaru adalah kenaikan tarif. Banyak dari hal tersebut diterapkan sebagai bagian dari pembalasan terhadap tarif baja dan aluminium yang diberlakukan oleh Presiden AS Donald Trump pada Maret lalu.
Hanya saja, WTO tidak menghitung langkah-langkah yang telah diumumkan dan belum dilaksanakan. “Satu negara G20 telah meminta pembalasan tarif untuk dihilangkan dari laporan pemantauan yang dilakukan untuk tujuan transparansi, kata WTO.
Negara-negara G20 juga telah menerapkan rata-rata bulanan dari hampir tujuh langkah liberalisasi perdagangan. Seperti mengurangi tarif impor dan bea ekspor yang sejalan dengan tren sejak 2012.
Perdagangan yang dicakup oleh langkah-langkah liberalisasi sendiri bernilai US$216 miliar. Jumlah ini sekitar dua setengah kali lebih banyak daripada di laporan sebelumnya. Dua pertiga dari nilai itu berasal dari China yang mengurangi lebih dari 1.400 tarif pada kendaraan, komponen, dan produk-produk lainnya.
“Perdagangan senilai US$541 miliar atau empat persen impor negara G20, ditutupi oleh perluasan Perjanjian Teknologi Informasi WTO, tindakan liberalisasi yang dikecualikan dari angka-angka utama laporan,” tandasnya.
Sebelumnya, di sela-sela Pertemuan Tahunan IMF-WB di Nusa Dua, Bali, beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G20 menekankan, kerja sama perdagangan internasional harus ditingkatkan karena dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi global.
"Kami menyepakati perdagangan internasional sangat penting sebagai mesin pertumbuhan. Untuk itu, perlu upaya untuk mengurangi tensi yang dapat menyebabkan sentimen negatif pasar dan meningkatkan ketidakpastian sektor finansial," kata Menteri Keuangan Argentina selaku Ketua Pertemuan Nicolas Dujovne.
Ia menambahkan kerja sama antarnegara G20 menjadi kunci untuk menjaga stabilitas keuangan global dan menghadapi tantangan tersebut. Dalam kesempatan ini, ia juga mengatakan proyeksi pertumbuhan ekonomi global tetap positif, meski risiko yang telah diprediksi pada awal tahun mulai terealisasi sepenuhnya.
"Normalisasi kebijakan moneter mulai berdampak di negara maju, namun kondisi keuangan ketat justru berdampak di negara berkembang dan beberapa diantaranya mengalami gejolak pasar," ujar Dujovne yang ikut didampingi oleh Deputi Gubernur Bank Sentral Argentina Veronica Rappoport.
Dujovne ikut mengingatkan pentingnya agenda infrastruktur untuk pemenuhan target kesejahteraan ekonomi, pencapaian pembangunan berkelanjutan dan pertumbuhan inklusif seperti yang diusung G20 selama berada dalam kepemimpinan Argentina.
"Kami fokus untuk mendorong keterlibatan pembiayaan sektor swasta dalam infrastruktur karena pengembangan infrastruktur ini penting sebagai aset," katanya.
Ikut hadir dalam Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G20 ini Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde, Presiden Grup Bank Dunia Jim Yong Kim, Presiden Bank Sentral Eropa Mario Draghi, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Menteri Keuangan Jepang Taro Aso.
Secara keseluruhan, pertemuan ini dihadiri 20 Menteri Keuangan dan 17 Gubernur Bank Sentral dari negara-negara anggota G20. Hasil dari pertemuan di Bali ini akan dibawa dalam Pertemuan Tingkat Pemimpin Negara G20 yang akan diselenggarakan pada 30 November-1 Desember 2018 di Buenos Aires. (Faisal Rachman)