c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

30 Mei 2018

12:33 WIB

Pengusaha RI-India Sepakat Dorong Kemitraan di Empat Sektor

Indonesia memiliki arti penting bagi ekonomi India, sebagai mitra dagang terbesar di ASEAN, tujuan ekspor kelapa sawit Indonesia, dan importir batu bara terbesar kedua bagi negara hindustan itu

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Pengusaha RI-India Sepakat Dorong Kemitraan di Empat Sektor
Pengusaha RI-India Sepakat Dorong Kemitraan di Empat Sektor
Presiden Joko Widodo (kiri) dan PM India Narendra Modi di India. Dok Biropers-Setpres

JAKARTAKamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan Confederation Industry of India (CII) sepakat mendorong kemitraan dagang di empat sektor. Keempatnya adalah manufaktur, pertambangan, farmasi, dan infrastruktur.

Melalui keterangan tertulis di Jakarta, Rabu, kedua perwakilan organisasi pengusaha dua negara itu melaporkan hal itu kepada Presiden Jokowi dan Perdana Menteri India Narendra Modi, sebagai hasil CEO Forum Indonesia-India yang dilakukan Selasa (29/5).

"Kami sepakat akan fokus di empat sektor untuk peningkatan kemitraan bisnis dari enam sektor sebelumnya. Fokus kerja sama bisnis yang disepakati pengusaha Indonesia dan India dalam pertemuan CEO Forum, yakni manufaktur, pertambangan, farmasi, dan infrastruktur," kata Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Roeslani seperti dilansir Antara, Rabu (30/5).

Rosan menjelaskan, CEO Forum merupakan pertemuan yang kedua setelah sebelumnya dilaksanakan pada 2016 dan merupakan tindak lanjut dari kemitraan strategis kedua negara.

Indonesia sendiri merupakan eksportir batu bara terbesar kedua UNTUK India setelah Australia. Berdasarkan data International Trade Centre, pada 2016, impor batubara dari Indonesia HS2701 (batu bara, briket, ovoid dan bahan bakar padat yang dibuat dari batu bara) mencapai US$3,3 miliar naik menjadi US$4,7 miliar pada 2017.

Dengan kebutuhan industri domestik India yang terus meningkat, Kadin berharap porsi ekspor batu bara Indonesia masih bisa ditambah. "Mereka juga tidak segan untuk melakukan investasi di Indonesia untuk sektor ini," serunya.

Sedangkan untuk produk farmasi, selama ini masih dikenakan tarif impor cukup tinggi sekitar 40%. Alhasil, obat-obatan Indonesia tidak kompetitif untuk dijual di India. Dengan tarif impor yang tinggi, karenanya lebih memungkinkan bagi pengusaha Indonesia untuk berinvestasi di sektor farmasi di India.

"Namun tantangannya adalah menemukan mitra usaha yang tepat. Oleh karena itu, dialog ini sangat penting untuk menyamakan persepsi atas berbagai tantangan yang masih ada," katanya.

Selain menghasilkan rekomendasi berupa sektor-sektor kunci untuk kemitraan bisnis, organisasi bisnis kedua negara itu juga melakukan penandatanganan nota kesepahaman kerja sama, guna mempererat hubungan keduanya.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani mengatakan, kerja sama kedua organisasi itu penting untuk peningkatan hubungan bisnis dan komunikasi bilateral yang dilakukan oleh pemerintah kedua negara.

"Selain itu, dengan target total perdagangan dan investasi 50:50 sebesar US$50 miliar pada 2025, kita harus mampu memaksimalkan semua kerangka kerja sama yang ada," ujarnya.

Shinta mengungkapkan, dalam nota kesepahaman yang ditandatangani disepakati, kedua organisasi yang menaungi para pengusaha India dan Indonesia, akan berbagi informasi. Khususnya terkait isu ekonomi, perdagangan, sektor spesifik (manufaktur, infrastruktur, pertambangan dan farmasi) dan memberikan dukungan untuk berbagai kegiatan yang dapat mendukung kemudahan bisnis untuk pengusaha dari kedua negara.

Indonesia sejatinya memang memiliki arti penting bagi ekonomi India. Ini karena Indonesia merupakan mitra dagang terbesar mereka di ASEAN, tujuan ekspor kelapa sawit Indonesia, dan importir batu bara terbesar kedua bagi negara hindustan itu.

Untuk investasi, India juga sangat penting bagi Indonesia dengan mencatatkan kenaikan yang sangat signifikan pada 2017 yakni, lebih dari lima kali lipat dibanding tahun sebelumnya dari US$55 juta menjadi US$286,6 juta.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2017, neraca perdagangan Indonesia-India mengalami kenaikan sekitar 28,7% dengan total ekspor US$14,08 miliar dan impor US$4,05 miliar. Neraca perdagangan Indonesia dan India per Januari sampai dengan Maret, mengalami penurunan sekitar 3,06% yakni dari US$4,46 miliar pada 2017 menjadi US$4,33 miliar pada 2018.

 

 

Minyak Sawit
Khusus untuk CPO, sebelumnya Duta Besar Indonesia untuk India Sidharto R Suryodipuro meminta India tidak bertindak diskriminatif terhadap minyak sawit. Hal ini merespon adanya kebijakan menaikkan bea masuk oleh negara itu.

Pemerintah India menaikkan bea masuk minyak sawit mentah (CPO) hingga 44% dan produk turunannya sebesar 54%.

"Jadi kita harus terus meminta agar bukan hanya tarif yang bersifat adil, tetapi juga nondiskriminatif. Jangan hanya tarif minyak sawit yang naik, tetapi minyak nabati lainnya juga naik, karena India bukan produsen minyak sawit," kata Sidharto seperti dikutip Antara, Senin (28/5).

Pemerintah Indonesia telah menyampaikan surat keberatan terkait kebijakan India yang dinilai akan memukul bisnis kelapa sawit Tanah Air, mengingat India adalah pasar terbesar CPO Indonesia. Menurutnya, Pemerintah India menanggapi keberatan tersebut dengan meminta Indonesia melihat bahwa impor CPO India cenderung naik, hanya volume produk turunannya saja yang berkurang.

"Kami juga melakukan riset pasar terhadap harga eceran produk turunan, dan di situ tampak bahwa harga eceran produk turunan minyak sawit harganya naik dibanding minyak nabati yang lain seperti minyak kedelai dan minyak bunga matahari," tuturnya.

Meski demikian, kedua negara sepakat akan menyelesaikan isu itu melalui konsolidasi bilateral karena minyak sawit adalah produk strategis yang diprioritaskan oleh Pemerintah maupun Perwakilan RI di India.

Sebelumnya dilaporkan, India menaikkan tarif impor CPO pada tingkat tertinggi dalam waktu lebih dari satu dekade. Kebijakan ini dimaksudkan untuk memberikan dukungan pada petani lokal mereka. Pada November 2017, India menaikkan tarif impor menjadi 30% dari sebelumnya hanya 15%. Kemudian pada awal Maret 2018, tarif impor kembali dinaikan menjadi 44% per kilogram.

Angka ini sebenarnya masih dalam batas bound tariff World Trade Organization (WTO) yang mengizinkan pemerintah menaikan tarif impor hingga 300%. Namun, penerapan kebijakan itu dinilai Indonesia perlu dikaji ulang, karena bukan hanya akan menurunkan pendapatan para pengusaha sawit Indonesia, tetapi juga merugikan masyarakat India sendiri.

Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita berpendapat, pemberlakuan tarif itu cukup memukul perekonomian India. Pasalnya, biaya pemenuhan bahan pokok yang berasal dari minyak sawit seperti minyak goreng dan sabun dipastikan ikut naik.

India adalah negara importir terbesar CPO asal Indonesia dengan permintaan yang terus meningkat. Pada 2017 ekspor CPO Indonesia ke India mencapai 7,6 juta ton, atau meningkat 1,84 juta ton dibanding tahun 2016 sebesar 5,7 juta ton. Rata-rata, India membutuhkan hingga 27 juta ton minyak nabati per tahun dari seluruh dunia.

 

Sekadar infomasi, harga referensi produk crude palm oil (CPO) untuk penetapan bea keluar (BK) periode Juni 2018 tercatat sebesar US$687,39 per metrik ton (MT). Angka tersebut melemah US$15,81 atau 2,25% dari periode sebelumnya yang sebesar US$703,20/MT.

“Saat ini harga referensi CPO melemah dan berada pada level di bawah US$750 dolar AS/MT. Untuk itu, Pemerintah mengenakan BK CPO sebesar nol dolar AS/MT untuk periode Juni 2018,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (30/5) seperti dilansir Antara.

Penetapan tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 60 Tahun 2018 tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor (HPE) atas Produk Pertanian dan Kehutanan yang Dikenakan Bea Keluar.

BK CPO pada bulan Juni 2018 tercantum pada Kolom 1 Lampiran II Huruf C Peraturan Menteri Keuangan No. 13/PMK.010/2017 sebesar nol dolar AS/MT. Nilai tersebut sama dengan BK CPO untuk periode Mei 2018, dengan besaran yang sama. (Faisal Rachman)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar