15 Januari 2020
18:50 WIB
JAKARTA - Pemerintah pastikan sengketa dagang nikel dengan Uni Eropa tidak akan berdampak apa-apa terhadap stabilitas kinerja produksi di dalam negeri. Bahkan, pihaknya siap membentuk tim solid untuk menghadapi sengketa yang bakal terjadi di masa depan.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, sengketa dagang yang sudah dinaikan kepada WTO oleh UE tidak akan berkonsekuensi apa-apa terhadap produsen pengolahan nikel lokal.
"Dalam waktu dekat, kita pastikan tidak ada dampak langsung (laporan sengketa nikel). Kita akan terus berkompetisi dan menciptakan nilai tambah," katanya dalam konferensi pers daring 'Perkembangan Kasus Sengketa Nikel Indonesia–Uni Eropa', Jakarta, Jumat (15/1).
Sepanjang 2020, lanjutnya, Indonesia berhasil menghasilkan pemasukan devisa sebanyak US$9,6 miliar dari pengiriman besi-baja ke dunia. Kondisi ini menggambarkan proses transformasi dagang Indonesia kepada dunia yang berulang kali selalu Lutfi tegaskan.
"Dari penjual barang mentah dan setengah jadi menjadi barang industri berteknologi tinggi," ujarnya.
Sementara itu, ia juga menegaskan, peraturan yang sedang dijalankan untuk menjaga kelestarian sumber daya alam sekaligus memastikan barang-barang komoditas di dalam negeri menjadi milik pemerintah Indonesia.
Oleh karena itu, pihaknya akan terus mendalami tuntutan dan sangkaan Uni Eropa terhadap kebijakan perdagangan yang ditempuh Tanah Air. Walaupun Indonesia juga kecewa bahwa konsultasi yang sudah begitu lama terjalin tidak menghasilkan kesepakatan yang seharusnya.
"Indonesia akan perjuangkan hak-hak perdagangan kita dan ikuti proses sengketa sesuai aturan yang disepakati (WTO) dengan baik dan benar," tegasnya.
Ke depan, ia meyakini, sengketa semacam ini akan terus terjadi dan menjadi bagian dari interaksi Nusantara dengan dunia internasional. "Kemendag akan buat tim solid untuk melayani sengketa ini di masa yang akan datang," katanya.
Berdasarkan data Trademap, sepanjang 2017-2019, Indonesia hanya mengekspor bijih nikel dan konsentrat (kode HS 2604) kepada dunia secara berurutan senilai US$155.189, lalu naik menjadi US$628.027, dan naik lagi menjadi kisaran US$1,09 juta.
Indonesia terpantau tidak pernah melakukan ekspor kepada UE dalam kurun waktu 2015-2019. Uni Eropa terpantau hanya dominan mengimpor bijih tembaga dan konsentrat (kode HS 2603) dalam kurun waktu sama, terbesar terjadi pada 2015 (US$129.453) dan 2018 (US$299.383).
Fokus Hilirisasi Nikel
Melansir Antara, Presiden Joko Widodo mengatakan, dalam lima tahun ke depan pemerintah ingin fokuskan industri hilir komoditas bijih nikel, mengingat Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia.
“Indonesia punya cadangan nikel terbesar sekitar 25% dari dunia, yang jumlahnya kurang lebih 21 juta ton. Indonesia mengontrol hampir 30% produksi nikel di dunia,” katanya, Minggu (10/1).
Indonesia telah memiliki industri bijih nikel terintegrasi dari sektor hulu ke hilir dengan produksi seperti feronikel ataupun baja tahan karat. Ke depan, kata Presiden Jokowi, Indonesia juga perlu mengolah bijih nikel menjadi baterai litium yang dapat digunakan untuk ponsel dan mobil listrik.
Penciptaan sektor-sektor ekonomi baru dari rantai hulu ke hilir industri bijih nikel diyakini akan menciptakan banyak lapangan kerja. Jika berhasil menjadi produsen baterai litium, maka Indonesia akan menjadi pemain penting dalam rantai industri mobil listrik dunia.
Ke depan, Indonesia ingin mengerjasamakan BUMN dengan swasta, BUMN dan perusahaan multinasional.
"Kita ingin masuki fase berikutnya untuk memasuki produksi baterai litium sebagai komponen utama kendaraan listrik yang ke depan sebuah kesempatan besar bagi kita masuk ke otomotif industri kendaraan listrik,” jelasnya. (Khairul Kahfi)