27 September 2018
15:48 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan, pemerintah dan otoritas terkait akan mulai menyesuaikan diri dengan peningkatan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed), yang menuju ke arah 3%.
"Itu berarti dari sisi perekonomian, kami harus melihat bagaimana sensitivitasnya terhadap kegiatan ekonomi," kata Sri Mulyani ditemui usai Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) III Kementerian Pariwisata di Jakarta, Kamis (27/9).
Mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu menjelaskan, alur penaikan suku bunga The Fed sudah bisa diketahui. Tahun depan, diperkirakan kenaikan suku bunga AS masih akan berlanjut dua kali.
Sri Mulyani juga menjelaskan, pemerintah akan terus berupaya memperbaiki neraca pembayaran Indonesia dengan menyeimbangkan komponen transaksi berjalan dan transaksi modal. Hal itu menurutnya bertujuan agar kegiatan naik turunnya nilai tukar, maupun dari sisi cadangan devisa, bisa tetap terjaga untuk tetap mewujudkan stabilitas ke depan.
"Kami akan anggap itu adalah suatu reaksi yang cukup normal dari perubahan yang terjadi. Namun, kami akan menjaga jangan sampai perubahan itu kemudian menciptakan volatilitas terlalu besar yang akan mengganggu stabilitas," tuturnya.
Seperti diketahui, The Fed pada Rabu (26/9), menaikkan suku bunga jangka pendeknya sebesar seperempat persen atau 25 basis poin. Kenaikan ini merupakan kenaikan suku bunga ketiga tahun ini dan langkah kedelapan sejak akhir 2015.
Sri Mulyani sendiri masih yakin, perekonomian Indonesia fleksibel dan cukup memiliki daya tahan untuk meredam perubahan eksternal, tanpa harus menyebabkan kegiatan ekonomi berubah drastis.
"Namun absorbsi dari perubahan itu akan terjadi, dan oleh karena itu konsistensi dari kebijakan sektor fiskal, moneter, dan riil dianggap sebagai sinyal positif dan kami akan terus lakukan itu," ucapnya.
Menurutnya, pemerintah dan otoritas terkait telah melakukan tindakan-tindakan yang konsisten untuk memberikan sinyal pada pelaku ekonomi. Menkeu juga mengaku sudah berkomunikasi dengan pelaku ekonomi bahwa perubahan kebijakan moneter dari Bank Sentral AS akan terjadi. Komunikasi juga dilakukan kepada para pelaku perekonomian mengenai APBN yang sehat.
"Sampai pertengahan September 2018, keseimbangan primer positif atau surplus. Kalau perubahan di luar perekonomian itu bukan kita yang mengontrol," ujar Sri Mulyani.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menuturkan, walaupun bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve menaikkan suku bunga acuannya, pemerintah Indonesia harus tetap fokus memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan.
"Yang penting, kita harus tunjukkan bahwa kita akan terus berupaya memperbaiki masalah struktural defisit di transaksi berjalan," ujar Bambang di Jakarta, Kamis.

Ia mengatakan, kenaikan suku bunga acuan The Fed atau Fed Fund Rate (FFR) memang sudah diantisipasi oleh para pelaku pasar. Rupiah pun melemah terhadap dolar AS.
"Makanya terjadi pelemahan rupiah kan. Itu kan sesuatu yang sudah diantisipasi. Terkait arus modal, tentunya kita harus lihat bagaimana pandangan dari investment manager terhadap portfolio dari emerging markets, termasuk Indonesia," kata Bambang.
Saat ditanyakan apakah kenaikan suku bunga acuan The Fed perlu disikapi dengan kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia BI 7-Days Reverse Repo Rate, Bambang mengatakan bank sentral tentunya punya pertimbangan tersendiri.
"Terserah otoritas moneter, mereka punya pertimbangan lain. Tapi dari sisi pemerintah, kita harus tunjukkan konsistensi memperbaiki defisit transaksi berjalan," ujar Bambang.
Masih Yakin
Sementara itu, Direktur Apindo Research Institute Agung Pambudi mengatakan, dunia usaha masih meyakini nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS tidak akan melemah signifikan atau "terjun bebas" di tengah gejolak ekonomi global.
"Kami menghimpun pendapat dari teman-teman eksportir dan importir, dan juga para ekonom dan konsultan. Sekarang ini kami masih meyakini bahwa suara pemerintah masih in line dengan pendapat kami, artinya bahwa Rupiah itu tidak potensial terjun bebas, masih akan sangat gradual," ujar Agung di Jakarta, Kamis.
Menurut Agung, depresiasi rupiah relatif masih terkontrol. Selain itu, pemerintah selaku pengambil kebijakan juga kompak satu suara sehingga memberikan kepercayaan kepada para pelaku usaha dan juga investor.
"Dunia usaha akan panik kalau di antara ministrial level itu satu ngomongnya A, satu ngomong B. Jadi kita cukup convince dari Kemenkeu, Kemendag, dan lainnya, mereka masih satu. Buat dunia usaha itu masih positif," kata Agung.
Berdasarkan kurs tengah BI, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada Rabu (26/9) lalu mencapai Rp14.938 per dolar AS, melemah dibandingkan hari sebelumnya Rp14.893 per dolar AS. Pergerakan nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Kamis pagi, juga bergerak melemah sebesar 17 poin menjadi Rp14.908 dibandingkan posisi sebelumnya Rp14.891 per dolar AS.

Kendati demikian, lanjut Agung, dalam konteks pelemahan rupiah itu sendiri salah satu pemicunya yaitu perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Menghadapi sentimen perang dagang tersebut, pemerintah Indonesia harus sangat berhati-hati dalam membuat kebijakan yang tepat.
"Kita harus tetap jaga benar-benar supaya kita tidak masuk di tengah-tengah, kegencet gajah-gajah raksasa yang sedang bertarung. Kalau kita ikut-ikutan ambil kebijakan yang keliru, kita bisa kegencet," ujar Agung.
Agung menjelaskan, kebijakan yang keliru adalah apabila pemerintah Indonesia ikut-ikutan terjebak balas-membalas tarif impor seperti AS dan China. Menurutnya, Indonesia juga belum punya kapasitas untuk bertindak melakukan hal serupa.
"Ada beberapa unsur yang berpikir untuk itu, protektif dan sebagainya. Tidak mungkin lah, kita tidak dalam size ekonomi yang mungkin untuk itu," ujar Agung.
Di sisi lain, Agung juga menilai, dunia usaha harusnya juga mulai secara serius menggarap pasar-pasar non tradisional seperti Afrika dan Amerika Latin. Menurutnya, sudah ada pelaku usaha yang mulai melakukan hal tersebut, namun jumlahnya relatif masih sedikit.
"Sebetulnya pasar nontradisional itu potensinya cukup besar, supaya terdiversifikasi pasarnya. Sayangnya kebanyakan dunia usaha memang masih sedikit reluctant untuk membuka pasar baru, itu risikonya gede. Grup-grup besar sudah pada mulai jalankan. Kita harus beranikan diri untuk memulai, tapi memang tidak segampang itu juga," tandasnya. (Faisal Rachman)