03 Juli 2018
18:31 WIB
JAKARTA – Menjadi salah satu andalan di dalam penerimaan negara, upaya untuk memperluas barang kena cukai untuk menambah penerimaan negara dipandang perlu. Ekstensifikasi cukai ini menjadi urgen mengingat selama ini sebagian besar penerimaan cukai ditopang oleh cukai hasil tembakau.
Sekretaris Komite Ekonomi Nasional (KEN), Aviliani memandang, sebenarnya masih banyak produk yang bisa dikenai cukai. Dengan memegang prinsip cukai dikenakan ke produk berektenalitas negatif, ia memandang, beras dan gula seharusnya bisa dilirik pemerintah untuk menjadi target cukai berikutnya.
Pasalnya, gula dan beras merupakan dua jenis kebutuhan pokok yang paling membahayakan bagi kesehatan. Dari kedua produk ini, potensi akan penyakit tidak menular kian membesar, khususnya untuk penyakit diabetes melitus dan kanker.
"Dua hal ini yang paling mungkin dikenai cukai, terutama gula. Karena, mengurangi gula itu ada gantinya,” tukasnya dalam diskusi bertajuk “Peningkatan Rasio Penerimaan Negara terhadap PDB melalui Kebijakan Cukai” di Jakarta, Selasa (3/7).
Harus diakui bahwa konsumsi gula maupun beras sudah sangat tinggi di Indonesia. Bahkan kecenderungannya terus menanjak dari waktu ke waktu.
Untuk diketahui, mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga tahun 2015 kebutuhan konsumsi beras per kapita tiap minggunya mencapai 1,63 kilogram atau setara 84,7 kilogram per tahun per kepala. Tiap bulannya sendiri, rata-rata konsumsi beras per kapita mencapai 5,72 kilogram.
Angka ini jauh dibandingkan rata-rata konsumsi nasi di dunia. Menurut lembaga pemeringkat dunia, Statista, rata-rata konsumsi beras dunia per tahunnya di angka 53,8 kilogram per kapita. Jika dilihat trennya, jumlah tersebut cenderung turun perlahan dari posisinya sebesar 54,7 kilogram per kapita per tahun. Ini berkebalikan dengan kondisi konsumsi di Indonesia, yang menurut Aviliani, cenderung meningkat tiap tahun.
Sementara itu untuk gula, kebutuhannya per tahun mencapai 5,7 juta ton. Dari jumlah tersebut, sebanyak 52,63% digunakan sebagai kebutuhan rumah tangga. Sisanya untuk keperluan industri makanan dan minuman.
Tingginya konsumsi gula dan beras inilah yang mesti menjadi perhatian. Bukannya apa-apa, pasalnya kedua produk ini memiliki ekternalitas negatif dalam kesehatan seseorang. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013 saja, disebutkan 6,9% atau sekitar 17,25 juta penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang mengidap diabetes melitus.
Pengenaan cukai terhadap produk kebutuhan pokok ini seharusnya bisa segera dilakukan mengingat ekses negatifnya yang demikian tinggi. Barulah ke depannya, Aviliani melanjutkan, ekstensifikasi cukai bisa diperluas ke berbagai produk yang merusak lingkungan.
“Ke depan bisa juga dikenai oleh BBM. Kan ada energi terbarukan. Ini untuk lima tahun ke depan,” imbuhnya.
Kepada Validnews, Direktur Eksekutif CITA, Yustinus Prastowo, mengatakan sebenarnya gula sendiri sempat menjadi barang kena cukai pada masa silam. Hanya saja, produk ini kemudian dihapus dari objek cukai karena dipandang sebagai kebutuhan pokok yang amat diperlukan oleh masyarakat.
Terkait wacana pengenaan cukai gula, Prastowo memandang, hal tersebut dapat merugikan masyarakat kecil.
“Lalu yang kedua, yang dikenai seharusnya bukan gulanya karena gula itu baha baku. Yang dikenai kan seharusnya produk yang dikonsumsi oleh masyarakat,” ucapnya, beberapa waktu lalu.
Baca Juga:
Anggota DPR dari Komisi XI, Amir Uskara, pun menyetujui pendapat Aviliani. Jika mencontoh negara-negara tetangga, mengenakan cukai pada kebutuhan pokok, seperti gula, beras, hingga BBM, bukan hal yang mustahil.
“Bisa-bisa saja karena negara tetangga saja sudah mengenakan,” ujarnya dalam acara serupa.
Amir melanjutkan, ekstensifikasi jelas urgen diperlukan melihat kondisi keuangan negara yang membutuhkan asupan penerimaan cukai lebih banyak. Harapan ditaruh di pundak direktorat tersebut dikarenakan Ditjen Bea Cukai selalu mampu memenuhi ekspektasi untuk target cukainya selama ini.
“Targetnya ditinggikan, bisa mencapai. Dinaikkan lagi, tercapai lagi. Artinya kan masih bisa untuk diperluas,” imbuh kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini.
Untuk diketahui, tiap tahunnya cukai mampu menyumbang sekitar 10% bagi penerimaan negara. Sayangnya, komposisi penerimaan cukai kerap didominasi oleh cukai hasil terbakau. Dalam lima tahun terakhir saja, persentase cukai dari rokok saja berada di kisaran 95% dari total penerimaan cukai.
Di samping sangat bergantung pada rokok, barang kena cukai pun sangat terbatas. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, barang kena cukai yang disahkan di negeri ini hanyalah rokok, etil alkohol, dan minuman yang mengandung etil alkohol. Hingga saat ini pun, ragam barang kena cukai tersebut belum berubah, meskipun khusus untuk rokok telah diperluas pengenaan cukainya menjadi berbagai barang hasil tembakau.
Aviliani tak menampik, jika pemerintah tertarik mencukaikan beras dan gula, tak ayal akan banyak pihak yang berteriak. Pasalnya, pengenaan cukai memang kerap mendapat penolakan keras dari industri dan pengusaha. Namun, di sinilah pemerintah mesti berperan agar bisa menghasilkan kebijakan yang memihak kepada kepentingan yang lebih luas.
“Kepentingan daripada industri harus dikesampingkan,” tegas perempuan ini.
Pada akhirnya memang tidak bisa dimungkiri, ia menyimpulkan, pengusahalah yang akan sangat menentukan masa depan ekstensifikasi cukai di negeri ini. (Teodora Nirmala Fau)