06 Februari 2021
18:00 WIB
JAKARTA – Indonesia masih belum bisa lepas dari terjangan pandemi. Covid-19 sukses berkembang biak di Bumi Pertiwi sebelas bulan lamanya. Bahkan, sampai Januari berbagai laporan rekor baru kasus harian kian sering bermunculan. Belasan ribu korban baru pun makin terdengar biasa.
Awal Januari 2021, kurva harian sempat menurun. Dari kisaran 8 ribu kasus pada 1 Januari, menjadi sekitar 6 ribu kasus pada tanggal 3 dan 4. Namun, angka kemudian merangkak naik dan terus mencetak rekor. Hingga 14.224 kasus pada 16 Januari dan kembali pecah pada 30 Januari di angka 14.518 kasus.
Terkini, Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mengumumkan penambahan 11.749 kasus konfirmasi positif covid-19 per 5 Februari 2021. Jumlah ini membuat kumulatif kasus covid-19 di Indonesia mencapai 1.134.854 kasus.
Seluruh kasus baru itu merupakan hasil pemeriksaan 76.373 spesimen yang berasal dari 44.231 orang. Perbandingan jumlah spesimen yang diperiksa dan kasus positif hari ini menghasilkan positive rate sebesar 17,8%.
Menilik karakter SARS-CoV-2 yang mudah menular, menggenjot upaya testing, tracing, dan treatment memang sudah jadi keharusan. Pertengahan Juni 2020, pemerintah menargetkan pemeriksaan sampel naik dari 10.000 menjadi 20.000 tes per hari lewat peningkatan jumlah lab.
Dengan gelombang pertama covid-19 yang tak kunjung rampung, saat negara lain sudah menghadapi gelombang lanjutan, upaya untuk menelusuri memang penting digenjot. Awal Februari, Ketua KPCPEN Airlangga Hartarto mengatakan, kepala negara tengah mempersiapkan inpres untuk memperkuat proses penelusuran paparan covid-19 melalui aplikasi PeduliLindungi.
“Bisa efektif mengontrol yang terpapar secara digital, sehingga bisa di-trace gerakan-gerakan dan mereka yang bisa potensi terkait dengan penularan,” ujarnya, Rabu (3/2).
Kemenkes, lanjutnya, juga akan menambah petugas tracing di lapangan dengan melibatkan Babinsa dan Bhabinkamtibmas. Sembari menginstruksikan percepatan dan peningkatan pelaksanaan program vaksinasi, baik volume sekaligus waktunya.
Pemerintah akan terus melakukan perbaikan soal penelusuran, agar bisa mempercepat pelaksanaan vaksinasi. Pemerintah sendiri menargetkan 181,5 juta penduduk Indonesia mendapat suntikan vaksin covid-19. Harapannya, kondisi kekebalan komunitas alias herd immunity bisa tercapai dalam kurun waktu setahun.
Sejalan dengan upaya penelusuran, lelaku testing juga digeber. Salah satunya dengan rapid antigen.
“Ini bisa digunakan untuk screening karena kita ketahui biaya rapid antigen lebih rendah dari PCR test, itu bisa digunakan sebagai screening awal,” imbuh Airlangga.
Tak hanya kepentingan vaksinasi. Penelusuran menjadi sebuah kelaziman baru dalam kehidupan sehari-hari. “Hidup di masa pandemi, kita harus tahu kondisi kita sendiri supaya tidak menularkan ke lingkungan terdekat. Meski sudah membatasi aktivitas dan menjalankan prokes, tetap saja ada kemungkinan tertularkan,” kata Hannah (40) kepada Validnews, Sabtu (6/2).
Supervisor CSR di sebuah perusahaan swasta itu menjalani tes berkala tiap dua pekan, untuk mengecek kondisinya. Apalagi dia masih berkegiatan di luar rumah, berbeda dengan suami yang bisa menikmati work form home (WFH).
“Rapid aja sih selama ini. Cuma setelah ada rapid antigen, ya ambil yang antigen. Perusahaan menyediakan biayanya,” ujarnya.
Tes juga dilakukan saat Hannah dan keluarganya ingin bertemu ibunya yang sudah berusia lanjut. Maklum, jelas Hannah, sang ibu memiliki berbagai komorbid yang rentan mengalami serangan parah jika sampai terpapar. Jadi, orang yang ingin bertemu sang ibu harus menjalani tes dulu, untuk memastikan keamanan.
Kali ini, Hannah harus merogoh kocek hingga lebih dari Rp2 juta untuk membiayai tes rapid antigen empat orang anggota keluarga. Kebutuhan keberadaan lab juga dirasakan Winda (25) kala keluarganya diterpa covid-19 dua bulan lalu.
Sejauh ini, dirinya telah melaksanakan tes usap PCR dua kali dan antigen sekali. Namun, ia hanya membayar sekali untuk tes PCR senilai Rp900.000, sesuai dengan arahan standar tertinggi milik pemerintah.
“PCR puskesmas gratis, Antigen juga gratis dari kantor. Cuma PCR dari RS Citra Arafiq yang bayar, hasilnya 1x24 jam. Alhamdulillah negatif terus hasilnya,” ujar Winda kepada Validnews, Kamis (4/2).
Menurutnya, beragam tes ini penting untuk melacak seseorang itu bergejala covid-19 atau tidak. Jikapun hasilnya positif, akan memudahkan si penderita untuk melakukan isolasi mandiri lebih awal, agar meredam rantai penularannya.
Ke depan, ia berharap, keberadaan lab pemeriksa perlu ditambah di pelosok dan daerah. Biaya pun harus ditekan serendah mungkin, agar masyarakat rela secara mandiri memeriksa kondisi tubuhnya.
“Apalagi banyak orang yang positif covid-19, tapi mereka enggak jujur, hanya tahu dari gejala. Kalaupun mau tes lab duitnya terlalu besar. Akhirnya, sebagian orang memilih untuk isolasi di rumah sampai benar-benar sembuh,” serunya.
Ia pun menyarankan jika biaya tes lab tidak bisa sampai digratiskan, paling tidak harganya bisa ditekan lebih rendah dari yang ada saat ini.
Bisnis Laboratorium
Ekonom Center of Reform on Economics Yusuf Rendy Manilet mengatakan, grafik kasus covid-19 yang belum kunjung melandai sampai awal tahun ini, memang menjadi bukti sahih perkembangan kasus memang cenderung secara eksponensial meningkat.
“Dengan kondisi ini, saya kira kebutuhan untuk melakukan test tracing juga akan berdampak pada bisnis yang berkaitan dengan covid-19. Salah satunya usaha laboratorium,” paparnya dalam sambungan telepon dengan Validnews, Jumat (5/2).
Indonesia, menurutnya, perlu meniru apa yang dilakukan India yang cukup berhasil menurunkan angka kasus covid-19. Seandainya mau dibandingkan, ia menilai India menjadi komparasi yang sangat bagus.
India adalah negara besar dan penduduk banyak. Ini sesuai dengan karakteristik Indonesia. Negeri Anak Benua terus melakukan isolasi mandiri, hingga menjalankan kerja sama antara pemerintah dan lab swasta demi memperbanyak test tracing di tingkat masyarakat.
Pentingnya pemeriksaan dan begitu strategisnya keberadaan laboratorium inilah yang menjadi pertimbangan Enggartiasto Lukita, mantan Menteri Perdagangan, menggagas bisnis laboratorium untuk tes covid-19. Intibios Lab, nama yang diusungnya, ditujukan untuk membantu pemerintah menelusuri paparan covid-19, hingga memudahkan penanganan.
Tak semata-mata memanfaatkan peluang, kata Enggartiasto, jumlah lab yang masih minim, hingga biaya mahal, memicu dirinya nyemplung di bisnis lab. Sebuah ranah baru yang berbeda dengan bisnis properti yang tengah ia tekuni.
Asal tahu saja, hingga Mei 2020, data Kementerian Kesehatan menyebutkan hanya ada 69 laboratorium pemeriksa sampel covid-19 yang beroperasi. Biaya tes yang bisa mencapai Rp3 juta per orang, membuat masyarakat berfikir berkali lipat untuk menjalani pemeriksaan mandiri. Itupun hasilnya masih harus ditunggu satu hingga tiga hari.
“Bayangkan seorang positif, tapi baru bisa tahu 3 hari kemudian setelah hasil tes keluar. Berapa banyak orang yang tertular dari orang itu dalam 3 hari interaksi? Artinya penyebarannya sangat luar biasa,” ujarnya pada Validnews, Sabtu (30/1).
Ia juga menilai, tes yang digelar, akan mempercepat penanganan penderita covid-19 sehingga potensi kehilangan nyawa juga bisa ditekan. Karena itu, ia mengajak para pengusaha untuk turut menanamkan dana di bisnis lab yang ia gagas.
Menurutnya, bisnis ini bukan bisnis biasa. Pasalnya, ia tak sempat lagi menghitung return on investment atau tingkat pengembalian keuntungan terlebih dulu. Ia juga tak menghitung kapan modal akan balik atau break event point.
“Terlalu lama,” begitu alasannya melewatkan tahapan dasar membuka bisnis.

Bukan Perkara Mudah
Kata sepakat dicapai. Beberapa rekan bisnisnya bersedia menanamkan dana untuk mendirikan lab. Namun, tantangan bukan begitu saja selesai. Mulai dari pengadaan alat dasar hingga izin pembangunan fisik lab di daerah masih jadi kendala.
Intibios harus mengikuti perebutan alot dengan berbagai pihak untuk mengadakan kontainer yang menjadi bangunan lab. Enggar memang memilih kontainer, lantaran dianggap lebih cepat ketimbang mendirikan bangunan dari tembok.
Sayangnya, banyaknya restriksi di dunia, membuat pasokan kontainer sempat tertahan di berbagai pelabuhan. Tak heran, stok kontainer pun menjadi langka.
Hambatan lainnya, Intibios pun harus berebut mesin pembaca hasil tes, reagen, dan peralatan lainnya. Harganya juga tak bisa ditebak, lantaran seluruh dunia memburu peralatan yang sama.
Dengan segala kendala itulah, lab Intibios baru bisa beroperasi sekitar September 2020, meski proses pematangan visi-misi sudah dilakukan berbulan-bulan sebelumnya.
“Kami bentuk kontainer sedemikian rupa, ketika mesin satu datang, langsung cari mesin lainnya. Itu enggak sederhana, yang kita lakukan ini begitu menantang,” jelasnya melalui sambungan telepon.
Terkait perizinan pendirian lab, ia menyebut sejumlah pemerintah daerah ternyata menerjemahkan peraturan sesuai sudut pandang masing-masing. Ia mencontohkan, sebuah surat edaran yang diterbitkan Kementerian Kesehatan yang menyebutkan dalam situasi kedaruratan covid-19, sepanjang persyaratan sudah dipenuhi, laboratorium bisa beroperasi sambil mengurus proses perizinan.
“Apa yang terjadi di daerah, SE itu enggak diakui,” sesalnya.
Ia menceritakan, pihaknya mesti merogoh kocek sekitar Rp8–9 miliar untuk membangun satu lab lengkap dengan peralatan yang dibutuhkan.
Sama halnya saat pendirian Intibios, Enggar mengaku, timnya tidak melakukan perhitungan bisnis secara konvensional. Tak ada perhitungan depresiasi alat dalam menentukan biaya final tes. Intibios bahkan harus bisa memangkas biaya sampai separuhnya, kala tes di tempat lain tes swab dipatok Rp2,5 juta sekali tes.
Karena itulah, saat ditanya pendapatan bisnis, Enggar hanya terkekeh tanpa menyebutkan besarannya. Ia menyebut, dana yang masuk diputar kembali, baik untuk membuka lab baru maupun menyediakan perangkat dan alat bantu termutakhir di pasaran.
“Margin mah ada, tapi makin lama ya semakin kecil... Dengan dana itu saya bilang dan yakinkan (investor lain.red), ini duit pasti balik, cuma harus diputar lagi,” jelasnya.
Dana masuk yang diputar kembali, ditambah kedatangan investor baru, membuat jumlah lab Intibios berlipat dalam waktu singkat. Dalam lima bulan beroperasi, Intibios telah memiliki sekitar 11 lab pemeriksa berstandar WHO yang tersebar di sembilan kota. Antara lain, Lampung, DKI Jakarta, Bogor, Karawang, Bandung, Cirebon, Sidoarjo, Semarang, dan Jogjakarta.
Sementara, jumlah jajaran staf yang telah direkrut mencapai 350–400 orang. Ia membagi dalam satu tempat memiliki empat tim yang aktif beroperasi dengan pembagian tiga waktu sif. Dalam waktu dekat, tepatnya Februari 2021, Intibios bakal mendirikan sekitar 3–4 lab tambahan.
“Kalau mendesak butuh, ya sudah langsung bikin,” cetusnya saat ditanya soal menentukan lokasi lab.
Investasi Sektor Kesehatan
Secara nasional, jumlah lab terus bertambah. Pemerintah mencatat, jumlah laboratorium pendeteksi pasien positif covid-19 mencapai 612 unit yang tersebar di seluruh Tanah Air per 20 Januari 2021. Semuanya, klaim Kemenkes, bisa diandalkan untuk melakukan pemeriksaan dengan teknik tes cepat molekuler (TCM), polymerase chain reaction (PCR), maupun keduanya. Jumlah ini naik dari Mei yang baru sebanyak 69 unit.
Direktur Deregulasi Penanaman Modal Badan Koordinasi dan Penanaman Modal Yuliot mengungkapkan, secara keseluruhan, layanan kesehatan umum terkoreksi sekitar 40%. Alasannya, selama pandemi covid- 19, masyarakat mengurangi datang ke fasilitas kesehatan, jika tidak dalam keadaan darurat.
“Untuk layanan, terjadi peningkatan pada laboratorium klinik termasuk PCR Test,” ujarnya kepada Validnews di Jakarta, Selasa (2/2).
Meski begitu, BKPM justru mencatat, investasi industri kimia dan farmasi pada 2020 meningkat pesat dibandingkan dua tahun belakangan. Hal ini selaras dengan fokus pemerintah yang ingin mengenjot investasi salah satunya alat kesehatan.
Nilai realisasi investasi sektor industri kimia dan farmasi pada 2020 mencapai 4.881 proyek atau setara US$24,26 miliar. Torehan ini tumbuh mencapai 121,14% dibandingkan 2019 yang hanya sebesar US$10,97 miliar dengan 2.258 proyek.
Pada 2020, investor asing berkontribusi ke sektor serupa sebanyak 2.598 proyek dengan nilai US$1,74 miliar. Sedangkan, pemodal domestik membangun 2.283 proyek dengan nilai investasi sebanyak Rp22,52 triliun.
Adapun jika ditotal selama 2018-2020, BKPM mencatat tidak kurang dari 8.778 proyek di sektor ini. Nilainya pun mencapai US$50,51 miliar. Artinya, secara rata-rata pertumbuhan investasi sektor ini mencapai 2.926 proyek atau setara US$16,83 miliar per tahunnya.

Secara khusus, total penanaman modal asing atau PMA yang masuk ke dalam negeri untuk urusan laboratorium kesehatan nilainya mencapai US$6,95 miliar. Jumlah tersebut naik lima kali lipat dibandingkan 2019 yang hanya mencapai US$1,19 miliar.
Begitu juga dengan nilai investasi dari penanaman modal dalam negeri atau PMDN, sepanjang 2020 nilai investasi yang masuk mencapai Rp137,40 miliar. Angka tersebut naik lebih dari enam kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai Rp19,16 miliar.
Menanggapi hal ini, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Ditjen P2P Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan, sejatinya hingga kini, Kemenkes menilai perkembangan keberadaan laboratorium PCR di tingkat nasional sudah mencukupi.
Namun, keberadaan lab PCR di tingkat kabupaten-kota belum banyak tersedia. Karenanya, pemerintah pusat mendorong agar masing-masing pemda segera memiliki setidaknya satu lab pemeriksaan keberadaan material genetik dari sel, bakteri, atau virus tersebut.
Nadia mengidentifikasi kelambanan penetrasi kehadiran eksistensi lab PCR di daerah disebabkan keterbatasan sarana dan prasarana peralatan pendukung dasar lab.
“Terutama sumber daya manusianya ya,” ujarnya kepada Validnews, Selasa (2/2).
Ia mengatakan, sejauh ini untuk mendirikan laboratorium covid-19, seseorang atau lembaga mesti mengantongi izin kepada Dinas Kesehatan. Baru kemudian diusulkan kepada Kemenkes,
“Itu ada asesmen standar labnya,” serunya.
Saat ini, lanjutnya, untuk pengadaan laboratorium nasional pihaknya berkerja sama dengan Kemenristek-BRIN. Khususnya untuk mengembangkan laboratorium hasil pengurutan genom atau whole genom sequencing (WGS) virus SARS-CoV-2 penyebab covid-19.
Celah Bisnis
Selain laboratorium, pandemi dan kebutuhan untuk menelusuri dan tes juga membuka celah bisnis lain. Seperti yang dijalankan Javmed. Perusahaan yang baru berdiri Oktober 2020 lalu membidik pemeriksaan di rumah alias homecare.
“Ada delapan orang petugas medis yang (bertugas.red) untuk datang ke rumah dan melakukan tes PCR dan rapid Antigen,” kata Manager Javmed Jose Suryanegara kepada Validnews, Kamis (4/2).
Ia merasa beruntung, pemerintah cukup mengakomodasi layanan tes covid-19 homecare sehingga apa yang dilakukannya bisa berjalan baik.
Untuk diketahui, Javmed membuka jasa layanan penjemputan sampel di wilayah Jakarta, Depok, Tangerang dan Bekasi dengan biaya sekitar Rp1,1–1,2 juta untuk hasil sameday dan Rp850–950 ribu untuk hasil dua hari.
Jose pun menjelaskan, layanan tes covid-19 semacam ini tidak membutuhkan banyak modal di awal pembukaan. Pihaknya hanya perlu membeli APD. Sementara, alat rapid juga bukan dibeli di awal. Alat PCR pun disediakan oleh lab.

Sebagai informasi, skema seperti ini mengandalkan kerja sama antara manajemen homecare dengan pihak lab. Untuk urusan ini, Javmed merangkul Pusat Riset Virologi dan Kanker Patobiologi atau PRVKP FKUI untuk memeriksa sampel yang diambil di lapangan.
“Jadi kami selalu ready mungkin 50 (alat PCR.red). Jadi setiap hari ada sampel. Kami kirim, terus dikasih yang baru sesuai yang kami kirim. Jadi prosesnya harian,” jelasnya.
Saat ditanya kemungkinan untuk melebarkan layanan ke vaksinasi mandiri, Jose mengaku Javmed belum memiliki rencana untuk terlibat secara langsung. Alasannya, Jose menilai vaksinasi bisa lebih rumit dijalankan prosesnya daripada sekadar tes seperti yang selama ini dilakukan Javmed. Sejauh ini, pihaknya akan mengikuti aturan dan anjuran pemerintah saja.
“Kami sepertinya untuk test aja. Karena kalo vaksinasi ada proses screening dan lain-lain, lalu observasi pasca vaksin. Agak repot kalau homecare,” tuturnya.
Berbeda dengan Javmed, Enggar mengaku siap untuk menjalankan vaksinasi. dengan maksud membantu pemerintah menyukseskan program vaksinasi, pihaknya akan mengirimkan surat ke pemerintah untuk menyampaikan maksudnya. Menurut Enggar, dalam pelaksanaan vaksinasi nanti, ia siap menggunakan jaringan lab yang sudah dimiliki.
“Jika kita menyuntik vaksin pemerintah yang gratis, maka yang kita lakukan pun juga gratis,” imbuhnya.
Pendeknya, upaya mempercepat vaksinasi, kata Enggar, penting dilakukan agar pandemi segera teratasi dan, ekonomi kembali berputar.
Sayangnya, meski Intibios sudah siap menggelar pemberian vaksin, Siti Nadia menegaskan, untuk program vaksinasi yang sedang digalakkan pemerintah pusat, lab tidak diproyeksikan menjalankan proses vaksinasi.
“Lab tidak melakukan vaksinasi,” singkatnya.
Masih Potensial
Sekalipun tak bisa menggarap vaksinasi, berkaca pada situasi tersebut, menurut Yusuf Rendy peluang bisnis laboraturium untuk tetap bertahan di Indonesia masih tinggi. Apalagi, proses tracing masih relatif rendah.
“Ini (bisnis laboratorium) masih sangat potensial,” ujarnya.
Dalam jangka panjang pun, bisnis lab dinilai masih cukup panjang nafasnya. Ketidakpastian kasus positif covid-19 di Tanah Air masih akan menjadi penentu utamanya.
Kendati pun ada kepastian, misal tahun depan covid-19 bisa diantisipasi menyeluruh, bisnis laboratorium masih bisa bertahan dengan memanfaatkan pasar yang sudah ada. Tentu dengan melakukan variasi dan keragaman bisnis di tingkat hilir.
Rendy pun meyakini, lab yang sudah dibangun nantinya tidak hanya beroperasional terbatas untuk mengecek covid-19 saja. Selain pemeriksaan yang ada, laboratorium masih bisa dimanfaatkan untuk melakukan pengecekan masalah kesehatan lainnya.
“Kalau dilihat komposisi penduduk Indonesia kini didominasi usia produktif, artinya pasar untuk diversifikasi bisnis itu masih sangat potensial,” jelasnya.
Enggar sendiri memprediksi, keberhasilan penanganan covid-19 akan berujung pada penurunan permintaan tes. Namun, Enggar masih meyakini kondisi tersebut tidak akan seinstan yang diperkirakan banyak orang.
Ia sendiri telah menyiapkan exit strategy buat Intibios. Jika pemutakhiran teknologi lab jadi kunci utama untuk keberlanjutan usaha pada masa pandemi, strategi pascapandemi adalah mengalihkan Intibios menjadi lab dan klinik, dengan harga yang lebih terjangkau di jaringan lab yang sudah dimiliki.
“Lab klinik dan klinik kalau bisa, karena chemistry (investor.red) sudah terbentuk. Kondisi sekarang (lab.red) kami kerjakan, keterpanggilan juga terpenuhi. Saya begitu puas kalau kita berhasil memeriksa (sampel.red), artinya kita sudah membantu memutus rantai tular untuk sekian ribu,” pungkasnya. (Khairul Kahfi, Fitriana Monica Sari, Rheza Alfian, Zsazya Senorita, Yoseph Krishna, Fin Harini)