30 Maret 2020
18:14 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Setidaknya, Presiden Republik Rakyat China, Xi Jinping sudah dua kali berkunjung ke Indonesia setelah terpilih menjadi untuk kali pertama, yakni 2013 dan untuk periode kedua pada 2018. Pertama pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan kali kedua pada era Presiden Joko Widodo.
Ada lima kali kunjungan Presiden Joko Widodo ke China. Mereka juga bertemu untuk kedelapan kali dalam forum KTT G-20 di Osaka, Juni 2019. Tak hanya pemimpin negara China yang berkunjung ke Indonesia, pemimpin pemerintahan Negara Tirai Bambu itu, Perdana Menteri China Li Keqiang menjadikan Indonesia sebagai negara pertama yang dikunjungi segera setelah terbentuknya kabinet baru China pada 2018.
Hubungan diplomatik Indonesia dengan China berawal dari pengakuan Indonesia akan terbentuknya RRC, 1 Oktober 1949. Jakarta dan Beijing menjalin hubungan diplomatik pada 13 April 1950. Tatkala, semua negara barat dan sekutu mereka, di bawah pengaruh Amerika Serikat (AS), terus mengakui China dengan ibu kotanya di Taipei hingga tahun 1970-an.
Sejak awal, Indonesia telah berpegang pada kebijakan ‘Satu-China’ dengan ibu kotanya di Beijing. Kebijakan itu dipertahankan. Bahkan, pada saat Indonesia membekukan hubungan diplomatik dengan China pada 30 Oktober 1967.
Lalu 22 tahun kemudian, 24 Februari 1989, Presiden Soeharto bertemu Menteri Luar Negeri China saat itu Qian Qichen. Pertemuan tatkala menghadiri upacara pemakaman Kaisar Hirohito di Tokyo itu membahas kemungkinan normalisasi hubungan kedua negara.
Pembahasan dilanjutkan dalam pertemuan Menteri Luar Negeri (Menlu) Ali Alatas dan Qian Qichen pada 4 Oktober 1989 di Tokyo. Hasilnya, pada 3 Juli 1990 kedua menlu menandatangani Komunike Bersama "The Resumption of The Diplomatic Between The Two Countries" di Beijing. Diikuti kunjungan Perdana Menteri Li Peng ke Indonesia sekaligus menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman pemulihan hubungan diplomatik kedua negara pada 8 Agustus 1990.
Pada era Soeharto, normalisasi hubungan Indonesia-China pada awal 1990-an terjadi, tatkala China dikecam negara-negara barat setelah peristiwa Tiananmen atau Lapangan Merah di Beijing. Presiden Kedua Indonesia ini pun melakukan kunjungan balasan pada 14–18 November 1990. Sekaligus menyaksikan penandatanganan pembentukan Komisi Bersama Bidang Ekonomi, Perdagangan, dan Kerja Sama Teknik kedua negara.
Normalisasi hubungan tersebut kemudian secara bertahap membuka hubungan ASEAN dan China. Hingga, pada 1996 China menjadi mitra dialog penuh ASEAN.
Hubungan dengan China menjadi penting bagi Indonesia. Apalagi, usai Indonesia dihantam badai krisis finansial Asia pada 1997.
Di lain pihak, era tersebut menjadi saksi perekonomian China. Presiden Deng Xiaoping menerapkan reformasi ekonomi sejak 1978. Akhirnya, membawa ekonomi China terus bergerak naik hingga mencetak pertumbuhan ekonomi dua digit tiap tahun.
Pada era reformasi di Indonesia, Presiden Abdurrahman Wahid menjadikan China sebagai negara tujuan pertama lawatannya ke luar negeri setelah dilantik sebagai orang nomor Indonesia pada 1–3 Desember 1999. Gus Dur saat itu menguraikan alasan, China negara besar dengan potensi kekuatan ekonomi yang besar. Menurut dia, Indonesia akan rugi jika tidak berhubungan dengan China.
Kunjungan Presiden Wahid menuai hasil. China memberi bantuan keuangan serta fasilitas kredit termasuk kerja sama keuangan, pariwisata. Serta imbal beli atau counter trade di bidang energi, yaitu menukar LNG dengan produk-produk China.

Kemudian, upaya pemerintah Indonesia untuk meluluhkan China terus dilakukan. Salah satunya adalah keberhasilan diplomasi dansa Presiden Megawati, penerus Gus Dur sebagai presiden keempat Indonesia. Hasilnya, kedua negara sepakat membentuk forum energi yang merupakan payung investasi China di Indonesia di bidang energi.
Kini, hubungan ekonomi China dan Indonesia berkembang. Bagi Indonesia, China telah menggantikan posisi Jepang sebagai mitra dagang terbesar di Tanah Air sejak 2013. Data BPS menunjukkan nilai perdagangan Indonesia dengan China pada tahun tersebut meningkat 2,75% menjadi USS52,45 miliar. Sementara, dengan Jepang turun 12,35% menjadi US$37,45 miliar.
Susiwijono Moegiarso, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada Jumat awal Maret 2020 mengatakan, “Ketergantungan Indonesia pada Cina begitu tinggi sebagai mitra dagang utama Indonesia."
China, lanjut dia merupakan urutan pertama tujuan ekspor dengan nilai mencapai US$27,9 miliar (16,7%). Sekaligus negara impor terbesar dengan nilai mencapai US$44,9 miliar (26,3%).
“China itu adalah tujuan ekspor terbesar nomor satulah, pangsanya hampir 17%. Tapi juga sumber impor juga, nomor satu dia, pangsanya 24%,” tutur Susiwijono.
Sementara, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kementerian Perdagangan, Kasan Muhri mengungkapkan China melihat Indonesia sebagai sumber tujuan ekspor. Menurut dia, Indonesia adalah negara tujuan ekspor China itu urutan ke-16 atau masuk dalam 20 besar.
“Jadi kalau dilihat dari hubungan dagang ini, posisi China buat Indonesia cukup besar,” tutur dia pada kesempatan terpisah.
Berdasarkan Badan Pencatatan Statistik (BPS) mencatat, dalam periode 2018–2019, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit. Pada 2018, nilai ekspor Indonesia mencapai US$180,01 miliar dengan nilai impor US$188,71 miliar atau defisit 8,7%. Tahun berikutnya, defisit perdagangan lebih baik yakni 3,2% meski nilai ekspor hanya mencapai US$167,53 miliar dibandingkan total nilai impor US$170,72 miliar.
Defisit perdagangan ini tak terjadi semasa 2015–2017. Menurut data BPS, pada tahun 2015, kinerja perdagangan Indonesia mencatatkan surplus sebesar 7,67% lalu melonjak menjadi 9,48% pada tahun berikutnya. Bahkan mencapai surplus 11,84% pada tahun 2017.
Bila ditilik per tiga negara, perdagangan Indonesia dengan China pada 2018–2019, mengalami defisit terbesar dibandingkan Thailand dan Australia. Yakni, minus US$20,84 juta pada 2018 dan minus US$18,76 juta pada 2019.
Sebaliknya, perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat, yang kini jadi lawan dagang utama China, malah surplus. Pada 2019, nilai perdagangan Indonesia–AS mencapai US$9,58 miliar. Angka tersebut naik dibandingkan 2018 yang tercatat US$8,56 miliar. Meski surplus, secara nilai, perdagangan Indonesia dengan AS masih lebih kecil dibanding dengan China.
Namun, BPS mencatat, periode Januari–Desember 2019, China tetap negara tujuan ekspor terbesar Indonesia. Yakni, dengan nilai US$25,85 miliar. Disusul Amerika Serikat dengan nilai US$17,68 miliar, dan Jepang US$13,75 miliar. Sejauh ini, pangsa pasar ekspor China bagi ekspor Indonesia mencapai 16% dari total ekspor.
Duta Besar Indonesia untuk China, Djauhari Oratmangun melalui siaran pers pada Sabtu (18/1) menuliskan, nilai investasi asing asal China di Indonesia sepanjang 2019 mengalami peningkatan cukup signifikan. "Diplomasi ekonomi Indonesia selama 2019 di China berhasil meningkatkan investasi masuk sebesar 81,3%," tulis Djauhari.
Ia menyebutkan jumlah proyek investasi dari China yang direalisasikan di Indonesia selama periode Januari–September 2019 mencapai 1.888 unit dengan nilai US$3,31 miliar. Pada periode yang sama tahun 2018, jumlah proyek hanya 1.059 unit dengan nilai US$1,83 miliar.
Selama kuartal III 2019 sebanyak 23 perjanjian kerja sama pengembangan empat koridor ekonomi di Sumatra Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Bali telah ditandatangani.

Namun, dari sektor pariwisata, Indonesia kembali gagal memenuhi target penerimaan kunjungan wisatawan asal China. Pada Januari–Oktober 2019 hanya menerima 1.817.130 kunjungan atau berkurang 6,82% dibandingkan periode sama tahun 2018 yang mencapai 1.950.125 kunjungan.
Padahal, Kementerian Pariwisata telah mematok target tiga juta kunjungan wisatawan asal China pada 2019 atau lebih tinggi dari target 2018 sebesar 2,5 juta. Menurut Djauhari, hal itu terjadi karena perang dagang AS-China yang berkepanjangan. Keadaan itu telah menciptakan ketidakpastian ekonomi memperlambat pertumbuhan wisatawan China ke luar negeri.
China juga telah menjadi negara destinasi studi luar negeri kedua bagi pelajar Indonesia. Saat ini lebih dari 15 ribu pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di China.
Hubungan kontak di antara kedua negara juga terus ditingkatkan dan diperluas di berbagai bidang. Termasuk di bidang ketentaraan, pemerintahan daerah, olahraga, keagamaan, kepemudaan, media, dan berbagai bidang lain. (Leo Wisnu Susapto. Faisal Rahman, Rheza Alfian, Nadia Kurnia)