c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

20 April 2018

16:54 WIB

OJK-IFC Lanjutkan Kerja Sama Program Keuangan Berkelanjutan

Beberapa program OJK-IFC di antaranya adalah merancang instrumen untuk mendukung proyek infrastruktur yang diperlukan, seperti pembiayaan 'blended finance', obligasi hijau dan produk pembiayaan hijau lainnya

Editor: Agung Muhammad Fatwa

OJK-IFC Lanjutkan Kerja Sama Program Keuangan Berkelanjutan
OJK-IFC Lanjutkan Kerja Sama Program Keuangan Berkelanjutan
Dewan Komisioner OJK Wim Umboh Santoso (kanan) berjabat tangan dengan Vice President and General Counsel Legal, Comliciance Risk and Sustainability IFC, Ethiopis Tafara setelah menandatangani nota kesepahaman di Washington, DC. AS, Jumat (20/4). Dok. OJK

JAKARTAOtoritas Jasa Keuangan (OJK) dan International Finance Corporation (IFC) melanjutkan kerja sama pengembangan Program Keuangan Berkelanjutan (Sustainable Finance) yang telah dibangun sejak 2014. Kesepakatan kelanjutan kerja sama OJK dan IFC dituangkan dalam penandatanganan Nota Kesepahaman yang dilakukan Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dan Ethiopis Tafara Vice President and General Counsel Legal, Compliance Risk and Sustainability IFC di Washington DC, Kamis (20/4).

"OJK dan IFC sepakat untuk meneruskan kerja sama dalam pengembangan dan penerapan kebijakan dan regulasi program keuangan berkelanjutan di Indonesia," kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam keterangan resmi OJK yang diterima Validnews di Jakarta, Jumat (20/4)

Sejak tahun 2014, ia mengemukakan, IFC telah berkontribusi dalam pembuatan Roadmap Keuangan Berkelanjutan Fase I, beserta implementasinya. Termasuk penyiapan regulasi POJK No.51 dan 60 tahun 2017, tentang Keuangan Berkelanjutan dan Green Bond, program kepedulian, pengembangan sistem informasi keuangan berkelanjutan, dan penguatan SDM lembaga jasa keuangan melalui serangkaian pelatihan.

Selain itu, lanjut dia, IFC juga berkontribusi dalam memfasilitas partisipasi OJK dalam forum internasional terutama di Sustainable Banking Network (SBN). Ia memaparkan OJK menetapkan dua fase program pengembangan keuangan berkelanjutan di Indonesia seperti tertuang dalam Roadmap Keuangan Berkelanjutan. Fase I Roadmap (2015-2019) difokuskan pada peningkatan kepedulian industri jasa keuangan mengenai pentingnya keuangan berkelanjutan dalam mendukung bisnis, dan meletakan fondasi regulasi.

Di Fase II Roadmap (2020-2024) difokuskan pada penguatan implementasi manajemen risiko lingkungan hidup, sosial dan tata kelola oleh Lembaga Jasa Keuangan beserta pengawasannya, serta mendorong inovasi dan pengembangan produk jasa keuangan untuk mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) dan Paris Agreement di bidang perubahan iklim.

Menurut Wimboh Santoso, tindak lanjut kerja sama dengan IFC akan difokuskan pada penyiapan petunjuk teknis implementasi POJK No.51/2017 Tentang Implementasi Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten dan Perusahaan Publik, khususnya bagi perbankan dan memfasilitasi terbentuknya Satuan Tugas Nasional Keuangan Berkelanjutan.

"Ke depan, OJK akan melanjutkan kerja sama dengan IFC ini untuk mengembangkan Fase Keuangan Berkelanjutan II, serta melaksanakan proyek-proyek prioritasnya sejalan dengan agenda pemerintah dan prinsip-prinsip SDGs," tuturnya.

Ia menyampaikan beberapa program di antaranya adalah merancang instrumen untuk mendukung proyek infrastruktur yang diperlukan, seperti pembiayaan blended finance, obligasi hijau dan produk pembiayaan hijau lainnya.

"Kami sangat menghargai bantuan konsultasi IFC untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip penting SDGs secara konsisten dipatuhi dan produk desain berlaku dan menarik bagi investor," kata Wimboh.

 

 

Blended Finance
Dalam kunjungan kerjanya di Washington DC, Wimboh juga melakukan pertemuan bilateral dengan Vice President, Asia and Pacific IFC Nena Stoiljkovic untuk membahas topik blended finance dan penerapannya di Indonesia. Menurutnya, Blended finance saat ini menjadi pembicaraan global sebagaimana dalam World Economic Forum di Davos maupun Blended Finance Forum di Paris pada awal 2018.

“Sebagai sebuah inovasi, blended finance ditujukan untuk meningkatkan sumber pendanaan khususnya dari sektor swasta untuk pencapaian SDGs (termasuk perubahan iklim)," ucapnya.

Menurutnya, hal ini tidak terlepas dari keterbatasan anggaran pemerintah untuk SDGs serta mengoptimalkan dana-dana internasional termasuk dari para filantropis yang memiliki komitmen terkait SDGs.

Wimboh mengatakan, penerapan blended finance di Indonesia dalam tahapan awal difokuskan pada pemenuhan sumber pendanaan proyek-proyek pemerintah di bidang infrastruktur. Khususnya yang memiliki karakteristik memacu pertumbuhan ekonomi, memiliki dampak sosial tinggi dan ramah lingkungan hidup.

"Keberadaan blended finance diharapkan menutup sebagian kebutuhan pendanaan sektor infrastruktur senilai 392 juta dolar AS sampai akhir tahun 2019," katanya.

Pada saat ini, ia menyampaikan, telah teridentifikasi 10 proyek pemerintah (pusat/daerah) pada sektor transportasi, energi terbarukan, pengelolaan limbah maupun komunikasi yang akan menerapkan skema blended finance. Proyek-proyek ini akan ditampilkan sebagai Indonesia Show Case dalam Tri Hita Karana Forum di Bali pada tanggal 10-11 Oktober 2018 di sela-sela acara IMF-World Bank Group Annual Meeting.

OJK, lanjut dia, juga tengah mengembangkan skema blended finance untuk mendukung proyek berskala UKM dengan pola klaster (sektor industri, perkebunan, perikanan dll).

"Upaya pengembangan blended finance ini tentunya sangat membutuhkan dukungan dan kerja sama dengan berbagai pihak baik domestik maupun internasional, termasuk IFC. Bentuk dukungan tersebut seperti penyiapan dan pengembangan skema blended finance, bantuan teknis, hibah, penjaminan, soft loans, evaluasi dan penyusunan kebijakan dan sebagainya," bebernya.

Sebelumnya, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, blended finance ini diharapkan dapat menjadi alternatif pembiayaan pembangunan. Pada tahun 2015, ia melanjutkan, Bappenas menyusun RPJMN dengan target pembangunan infrastruktur sebesar Rp5,519 triliun, dimana 40%-nya bersumber dari APBN.


 

Menurutnya, banyak target pembangunan infrastruktur tersebut relevan dengan pencapaian SDGs, seperti pengentasan kemiskinan, penyediaan air bersih dan sanitasi, serta penyediaan infrastruktur untuk mendorong industri.

Untuk menutup kekurangan anggaran, lanjut dia, dibutuhkan kombinasi pembiayaan swasta dan pemerintah dalam untuk mencapai target tersebut. “Kombinasi pembiayaan tersebut diharapkan dapat dicapai melalui cara-cara inovatif dalam menyusun struktur proyek dan tidak sekadar menggunakan pinjaman konvensional,” kata Luhut.

Sejauh ini, Luhut bilang, setidaknya ada sekitar 10 proyek yang akan diajukan agar bisa mendapatkan pendanaan dengan skema blended finance. Luhut menyebut sejumlah proyek di bawah koordinasi kementeriannya yang bisa diajukan untuk mendapat pendanaan blended finance di antaranya proyek pengolahan sampah menjadi energi, kereta ringan (LRT) hingga panas bumi.

Ia mengungkapkan, saat ini tim dari Kemenko Kemaritiman tengah mengemas pengajuan paket investasi proyek-proyek tersebut untuk bisa dipresentasikan pada 18 April mendatang kepada World Economic Forum saat Pertemuan Musim Semi IMF-Bank Dunia di Washington, AS.

"Nanti kita akan bicara langsung dengan SMI (PT Sarana Multi Infrastruktur) juga mengenai proyeknya. Kita berharap ada 10 proyek. Tapi tadi kita sepakat kalau bisa lebih banyak, ya kita bikin lebih banyak," imbuhnya. (Faisal Rachman) 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar