23 Juli 2018
08:19 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
NEW YORK – Perubahan gaya hidup masyarakat dan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, membuat bisnis berbasis digital, seperti e-commerce dan financial technology (fintech) makin menjamur. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun menyadari hal ini ke depannya makin membutuhkan alat pembayaran yang lebih cepat, aman dan efisien.
Namun, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menjelaskan, penggunaan e-money dan cryptocurrency dalam bisnis berbasis digital, akan terhambat beberapa keterbatasan. Tak heran jika banyak negara saat ini mulai mengkaji dan mencoba menerapkan Central Bank Digital currency (CBDC) dan Crypto Fiat Currency yang menggunakan teknologi Block Chain (Distributed Ledger Technology) serta didukung oleh sovereign currency (diterbitkan oleh Bank Sentral).
Wimboh menyampaikan hal itu dalam acara Seminar tentang Standardisasi Mata Uang Digital Fiat (DFC) dan Penerapannya yang diselenggarakan International Telecommunication Union (ITU), dengan Cornell Research Academy pada akhir pekan lalu di Cornell Tech, New York. Seminar ini membahas tren teknologi terbaru dan inovasi di penerbitan mata uang digital dan pengaruhnya terhadap ekonomi dan stabilitas sistem keuangan.
Wimboh menyampaikan, penerapan CBDC yang menggunakan teknologi Distributed Ledger di Indonesia perlu untuk terus dikaji penerapannya, karena adanya manfaat pada penguatan sistem pembayaran.
“Untuk Indonesia yang berpenduduk besar dan kondisi demografi yang tersebar di sekitar 17 ribu pulau, berkembangnya fintech dan digital payments yang handal harus terus kita dukung. Karena ini merupakan salah satu solusi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui tersedianya akses keuangan,” kata Wimboh dalam keterangannya yang diterima Validnews, Minggu (23/7)
Wimboh menyampaikan juga, penerapan CBDC ini harus tetap mempertahankan peran Bank Sentral sebagai Otoritas Moneter dan Sistem Pembayaran. Aspek stabilitas sistem keuangan dan perlindungan konsumen juga tidak boleh dikesampingkan dalam penerapan CBDC.
Menurutnya, penerapan CBDC ini akan menghemat banyak biaya di sistem pembayaran dan mempercepat peningkatan inklusi keuangan masyarakat. “Dalam penerapannya perlu transisi bertahap dan paralel serta mekanisme konversi juga harus jelas dan transparan. Begitu pula dari aspek legalitas juga perlu untuk disesuaikan,” ucapnya.
Asal tahu saja, penyesuaian legalitas sistem pembayaran digital di negara berkembang ternate relatif lebih mudah daripada di negara Amerika Serikat yang membutuhkan proses lebih panjang. Hal ini berdasarkan riset dari Angela Walch, Professor di St. Mary’s University School of Law.
Ekosistem sistem pembayaran yang terintegrasi sangat dibutuhkan sehingga kehadiran National Payment Gateway oleh Bank Indonesia merupakan langkah awal yang patut diapresiasi yang menghadirkan single network untuk transaksi domestik.
OJK bersama dengan Pemerintah, Bank Indonesia akademisi dan juga lembaga internasional memiliki komitmen sebagai global collective efforts untuk menerapkan CBDC dapat berkembang ke arah yang dikehendaki dan membawa manfaat bagi masyarakat luas.
Vexanium
Terpisah, Vexanium, platform pemasaran terdesentralisasi yang mengusung teknologi blockchain, mengaku telah menjual 300 juta token (mata uang digital) untuk menggalang modal pada initial coin offering (ICO) yang dimulai 16 Mei hingga 7 Juni 2018.
Dengan menggunakan teknologi blockchain, Vexanium bertujuan untuk mentransformasi industri vouche dan kupon dengan menjawab tantangan yang dihadapi peritel dan konsumen, menurut Vexanium dalam siaran persnya, Minggu (23/7).
Peritel yang menjual produk dan layanan melalui platform pemasaran online dengan traffic tinggi, seperti Groupon, Dianping, dan Meituan, kerap menawarkan voucher dan kupon agar menarik pembeli.
Namun, memberikan voucher dan kupon berimplikasi pada biaya tersendiri. Harga jual akan terpotong oleh diskon, dan ditambah pemotongan untuk komisi rata-rata 15% hingga 20% yang ditagihkan platform pemasaran berdasarkan cost-per-acquisition (CPA) atau cost-per-sales (CPS), dan akan memangkas laba yang diterima peritel.
Berbagai peritel mengatasi masalah ini dengan menawarkan voucher atau kupon dengan diskon minim atau diskon dengan syarat yang tidak realistis. Bagi para konsumen, voucher dan kupon yang tidak menarik seperti itu justru membuat mereka enggan berbelanja.
Konsumen juga menghadapi masalah umum lainnya, seperti voucher dan kupon yang kadaluarsa atau hilang, ketika mereka ingin menggunakan diskon. Platform Vexanium, yang dirancang untuk memungkinkan akuisisi, aktivasi, dan mempertahankan pengguna, menjawab semua tantangan ini dengan membawa industri voucher dan kupon menjadi on-chain melalui aplikasi VEX.
Aplikasi ini terintegrasi dengan sejumlah bursa crypto agar para pengguna—baik peritel, konsumen, dan juga penggemar crypto—bisa mengubah voucher dan kupon mereka menjadi token VEX. Pengguna lalu bisa menyimpan, menarik, menjual, dan mematok harga token voucher dan kupon melalui aplikasi.
“Melalui platform VEXANIUM, perusahaan-perusahaan bisa menciptakan point reward dalam bentuk token digital di aplikasi untuk program loyalitas mereka,” kata pendiri dan CEO Vexanium Danny Baskara.
“Umumnya, insentif seperti itu menjadi reward bagi konsumen di model bisnis yang berdasarkan cost-per-acquisition (CPA). Token-token tersebut juga bisa diubah menjadi kupon atau poin yang bisa digunakan di aplikasi perusahaan.”
Fitur inovatif di platform VEXANIUM, atau VEX Platform, antara lain pasar “airdrop”. Airdrop adalah proyek blockchain yang mendistribusikan token gratis ke pengguna. Dengan token VEX, perusahaan blockchain bisa meluncurkan kampanye airdrop untuk menarik pengguna baru, selain mempertahankan yang sudah ada melalui reward berbentuk airdrop.
Vexanium menargetkan agar marketplace Vexanium berfungsi penuh dan terbuka bagi pengguna, termasuk merchant and pengguna individu di Indonesia pada kuartal keempat 2018, selain rencananya untuk mendirikan dan meluncurkan VEXchange dan VEXplorer pada kuartal kedua 2019.
Selain Indonesia, perusahaan ini berencana untuk menghadirkan solusinya di kota-kota besar lain di wilayah Asia, termasuk Kuala Lumpur, Ho Chi Minh City, Seoul, Hong Kong, dan Bangkok, selain Dubai, pada 2019.

Berkembang Cepat
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Blockchain Indonesia Steven Suhadi menyatakan, teknologi blockchain diyakini akan berkembang di negeri ini mengingat penerapannya dapat dipakai di berbagai sektor.
“Saya rasa Indonesia akan cepat memakai teknologi ini, dari segi startup maupun perusahaan yang sudah settle,” tuturnya.
Teknologi pencatatan data terintegrasi ini tergolong baru, meski pun sebetulnya blockchain merupakan gabungan dari teknologi yang telah lama ada, yaitu enkripsi, internet dan kesepakatan.
Pemain blokchain di Indonesia pun belum begitu banyak. Namun, tidak berarti Indonesia ketinggalan karena di tingkat global, teknologi ini pun masih tergolong baru, meski pun memang ada sejumlah negara yang lebih maju dalam menerapkan blockchain seperti Jepang.
Saat ini, kata Steven, sebaran pengetahuan mengenai blockchain di Tanah Air belum merata, membuatnya menjadi tantangan bagi aplikasi blokchain di Indonesia.
“Tantangan blockhain di Indonesia, tentang edukasi, kebanyakan mereka tahu blockchain sama dengan Bitcoin,” imbuhnya.
Steven mengharapkan dengan edukasi, para pengembang yang membuat solusi berbasis blockchain dapat memiliki peningkatan kemampuan. “Saya rasa blockchain punya kesempatan untuk melompat kalau edukasi lebih baik,” serunya.
Di samping edukasi, peran pemerintah terhadap kemajuan teknologi ini juga penting. Asosiasi berharap pemerintah membuat regulasi yang kondusif agar pertumbuhannya positif.

Masih Mengkaji
Sejauh ini, Bank Indonesia sendiri mengaku sedang mengkaji penggunaan teknologi pencatatan transaksi terintegrasi modern (blockchain). Termasuk mengkaji untuk menerbitkan mata uang digital bank sentral (central bank digital currency/CBDC) untuk sistem pembayaran domestik.
“Hasil uji teknis sementara, "blockchain" dapat digunakan untuk memaksimalkan penerapan identifikasi data dan transaksi nasabah (know your customer/KYC),” kata Deputi Direktur Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI Imaduddin Sahabat beberapa waktu lalu.
Namun, Imaduddin menegaskan Bank Sentral masih mengkaji dan belum memutuskan untuk menggunakan atau tidak, teknologi yang menyebarkan titik server data tersebut. "Yang cocok pada industri keuangan itu Know Your Customer. Yang digunakan untuk apanya lagi, kami masih pelajari," serunya.
Untuk dikeahui, blockchain merupakan teknologi basis data yang membuat data di dalamnya tidak bergantung pada jaringan atau server terpusat. Namun berbagai data di dalamnya dimiliki oleh konsensus berupa pihak atau komputer yang ada di dalam jaringan tersebut atau terdesentralisasi. Blockchain mulai dikenal secara global pada 2009. Teknologi itu juga dimanfaatkan oleh pemain mata uang virtual Bitcoin.
Server yang tidak hanya tunggal dan tersebar ini, merupakan salah satu sifat yang membuat blockchain dianggap lebih aman, terutama ketika sistem menghadapi gangguan. Ketika salah satu server mengalami gangguan seperti peretasan, server tersebut dapat diabaikan karena jaringan server lainnya memiliki data yang berbeda.
BI, kata Imaduddin, sudah mengkaji penggunaan blockchain sejak 2016. Proses kajian sudah memasuki uji teknik yang akan selesai paling lambat tahun depan.
Meski sudah memasuki berbagai tahap, BI masih bergeming untuk menerapkan atau tidak teknologi blockchain. Imaduddin menjelaskan penerapan blockchain sangat tidak sederhana. Bank Sentral di negara lain pun, bahkan negara maju, masih berada dalam tahap uji coba untuk menggunakan blockchain.
"Banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Selain itu blockchain juga teknologinya masih belum stabil," imbuhnya.
Sejatinya, slain untuk transaksi sistem pembayaran berskala besar, blockchain juga sangat dimungkinkan untuk pembayaran berskala ritel. Kemudian, di industri keuangan, blockchain juga akan berguna untuk penelusuran aset, seperti validasi kepemilikan sertifikat tanah.
"Kita masih pelajari kekurangan dan kelebihannya," tandasnya. (Faisal Rachman)