14 November 2017
17:20 WIB
JAKARTA – Guyuran hujan yang makin kerap menyambangi sentra-sentra garam menandai berakhirnya masa produksi butiran asin legit itu. Namun, meski musim produksi tahun ini terbilang singkat, garam yang dihasilkan mampu memenuhi kebutuhan garam konsumsi dan aneka pangan dalam negeri.
“Rata-rata di sentra garam, produksi garam sudah mulai berhenti di Madura dan Jawa. Karena, dalam minggu terakhir curah hujan sudah cukup tinggi,” ujar Faishal Baidowi, Sekjen APGRI kepada Validnews, Selasa (14/11).
Dengan berakhirnya musim produksi, ini berarti garam tahun ini berlangsung tak sampai empat bulan, yakni dari akhir Juli hingga awal November. Padahal jika berjalan normal, masa produksi garam bisa mencapai lima hingga enam bulan.
Pada masa yang lebih singkat ini pun produksi tak selamanya mulus. Menurut Faishal, hujan yang turun pada awal Oktober sempat membuat produksi terganggu.
“Produksi garam tertunda beberapa hari di awal Oktober, kira-kira 1 minggu sampai 10 hari. Karena, kena hujan di awal Oktober tersebut. Karena untuk meningkatkan air tua itu kan perlu waktu,” katanya.
Jeda waktu ini diperlukan untuk mengembalikan tingkat kejenuhan air laut yang diukur dengan derajat Baume (be). Air tua adalah sebutan air dengan derajat be yang sudah tinggi. Air laut umumnya memiliki kejenuhan rata-rata 2,5 derajat be, sementara kristal garam baru terbentuk pada air dengan tingkat kejenuhan 24,5—29,5 derajat be.
Menyusutnya waktu panen membuat produksi garam diestimasi hanya mencapai 1,3—1,5 juta ton. Dibandingkan produksi 2014 dengan cuaca tergolong normal, produksi tahun ini memang jauh lebih kecil. Pada 2014, produksi garam nasional mencapai 2,19 juta ton.
Sementara pada 2015, produksi garam mencapai puncaknya lantaran cuaca panas sepanjang tahun. Di tahun dengan fenomena el nino itu, ladang garam nusantara mampu memproduksi butiran garam hingga 2,9 juta ton. Produksi anjlok di 2016 menjadi 140 ribu ton karena cuaca basah sepanjang tahun.
Dari estimasi hingga 1,5 juta ton, satu-satunya BUMN yang bergerak di bidang pergaraman menyumbang 189 ribu ton.
“Angka ini sudah termasuk produksi lahan yang di Bipolo. Sampai hari ini lahan kita di Bipolo menghasilkan 3.600 ton,” ujar Direktur PT Garam Budi Sasongko kepada Validnews.
Produksi ini, lanjut Faishal, mampu memenuhi kebutuhan garam konsumsi dan aneka pangan dalam negeri. Untuk garam konsumsi, ancar-ancar angka kebutuhannya mencapai 750 ribu ton.
“jadi kalau untuk garam konsumsi, yang untuk dapur, juga untuk garam aneka pangan, rasanya produksi itu cukup. Kalaupun kurang ya tidak jauh-jauh amat kurangnya,” jelas Faishal.
Sebelumnya, Asisten Deputi Sumber Daya Mineral Energi dan Non Konvensional Kemenko Kemaritiman Amalyos Chan menyebutkan kebutuhan tahun ini mencapai 4,2 juta ton. Angka ini sudah mencakup kebutuhan garam konsumsi, aneka pangan, industri dan farmasi.
“Kebutuhan nasional kita saat ini 4,2 juta ton. Nah, proyeksi 2018—2019 itu kebutuhan diperkirakan akan mencapai 4,6—4,7 juta ton,” ujarnya kepada Validnews.
Ekstensifikasi Lahan
Sementara itu, Budi menyebutkan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) telah menerbitkan SK untuk pengelolaan lahan seluas 225 hektare di Bipolo, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Lahan tersebut akan dikerjasamakan dengan PT Puncak Kemasan Garam Dunia.
“Barusan saya mendapatkan SK Pendayagunaan Tanah-tanah Terlantar. Artinya kita sudah mulai kerjakan. Perkembangannya kita sudah membentuk tim dan sudah membuat desain lahan,” katanya.
Tahap berikutnya adalah mensosialisasikan program kepada masyarakat yang masih menduduki lahan yang akan digunakan untuk ladang garam tersebut.
“Utamanya yang 50 hektare yang ada digunakan untuk tambak rakyat, saya lihat ya. Itu nanti yang kita harus ajak omong, bagaimana konsepnya sedang kita susun bersama tokoh setempat,” jelas Budi.
Diharapkan, tahun depan lahan sudah selesai dibangun menjadi ladang garam. Uji coba produksi diharapkan dapat dilakukan di tahun yang sama.
“Produksi pertama paling targetnya 2.000 ton dulu lah,” imbuhnya.
Dengan perluasan lahan di NTT ini, ditambah program revitalisasi lahan di Madura, Budi memproyeksikan total produksi PT Garam tahun depan bisa mencapai 350 ribu ton, dengan catatan cuaca normal.
Pembukaan lahan di Bipolo ini merupakan program ekstensifikasi lahan garam demi meraih mimpi swasembada pada 2019. Namun, masalah pendudukan lahan dihadapi PT Garam bersama mitranya, PT Puncak Kemasan Garam Dunia. Sebagian lahan yang dibuka menjadi ladang garam kini diduduki oleh masyarakat eks Timor Timur yang menolak memisahkan diri dari NKRI.
Pemerintah pun mendorong agar investor mengakomodasi kepentingan masyarakat melalui pengelolaan dengan skema inti plasma. Amalyos memandang skema tersebut bisa menjadi solusi yang sama-sama menguntungkan baik bagi perusahaan maupun masyarakat.
Selain ekstensifikasi, PT Garam berencana meningkatkan produksi garam olahan dengan membangun dua pabrik pengolahan garam. Pabrik pertama akan dibangun di Kabupaten Gresik, dengan kapasitas 5 ton/jam dan investasi Rp14 miliar.
Lalu, pabrik kedua akan dibangun di Kabupaten Sumenep, Madura. Total investasi yang diperlukan untuk membangun pabrik ini mencapai Rp63 miliar, dengan kapasitas 10 ton/jam. (Fin Harini)