c

Selamat

Sabtu, 20 April 2024

EKONOMI

06 April 2021

21:00 WIB

Menjaga Yang Pernah Tersesat Dengan Pundi Kuat

Kesulitan ekonomi kerap menggiring mantan narapidana teroris (napiter) untuk kembali ke jalan yang salah

Editor:

Menjaga Yang Pernah Tersesat Dengan Pundi Kuat
Menjaga Yang Pernah Tersesat Dengan Pundi Kuat
Ilustrasi narapidana peroleh pembebasan. shutterstock

JAKARTA – Terorisme kembali mengisi laporan utama pemberitaan dalam negeri. Rentetan aksi bom bunuh diri di Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (28/3), disusul penyerangan Mabes Polri di Jakarta oleh seorang terduga teroris pada Rabu (31/3) lalu, membelalakkan mata. Terorisme masih ada dan kuat mengancam setiap saat.

Rangkaian teror dan penangkapan yang menyertai, menjadi pengingat bahwa pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai. Dari pemberitaan, sejak Desember lalu, Densus 88 Antiteror Polri pada sudah menangkap hampir seratus terduga teroris. Mereka ada di Sumatra, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat dan lainnya. Ibu kota juga tak bersih dari mereka. Sejumlah orang juga ditangkap di Jakarta.

Upaya sebagian orang menebar teror masih berlanjut. Padahal, survei BNPT menunjukkan potensi radikalisme pada 2020 telah menurun. Survei yang dikerjasamakan dengan Alvara Strategi Indonesia, The Nusa Institute, Nasaruddin Umar Office, dan Litbang Kementerian Agama menunjukkan indeks potensi radikalisme tahun 2020 berada pada skala 14,0 (dari skala 0–100). Atau turun 12,2% dibanding periode 2019 yang mencapai skala 38,4. 

Kepala BNPT Komjen Pol Boy Rafli Amar mengakui, meski potensi radikalisme susut, namun ancaman masih ada. Karenanya, kerja keras harus lebih ditingkatkan untuk melawan propaganda kelompok radikal intoleran dan radikal terorisme.

Motif ekonomi, lanjut Boy, mesti pula diwaspadai sebagai salah satu pemicu orang terpapar paham radikal. Sebab, dampak pandemi covid-19 turut membuat ekonomi masyarakat menjadi serba sulit.

Penangkal Lewat Kesejahteraan
Sebelumnya, Boy menyebutkan pemerintah telah berupaya menangkal tumbuh kembang jaringan terorisme, radikalisme, dan intoleransi berbasis pembangunan kesejahteraan.

“Saat ini dan ke depan fokus program penanggulangan berbasis pada pembangunan kesejahteraan masyarakat,” tegas Boy Rafli seperti dikutip Antara, akhir 2020 silam. 

Pola penanganan dan penanggulangan terorisme, radikalisme, dan intoleransi ini turut melibatkan Tim Satgas Sinergitas Nasional dan Daerah yang melibatkan 38 lembaga, kementerian, badan, forum, dan masyarakat.

Beberapa sektor seperti perkebunan dan industri kecil menengah dipilih dalam upaya meningkatkan kesejahteraan. Boy meyakini, lewat sinergi tersebut, pemberdayaan masyarakat akan lebih maksimal. Pendekatan tersebut menjadi upaya memutus mata rantai rekrutmen. “Dengan pendekatan ini, kita inginkan warga tidak mengikuti gerakan dan paham intoleransi, radikalisme dan terorisme meski berada dalam satu kawasan atau satu wilayah,” sambungnya.

Skema penanggulangan yang berbasis pembangunan kesejahteraan ini mengedepankan pembangunan fisik dan nonfisik. Program nonfisik, di antaranya meliputi deradikalisasi dan kontra radikal yang bertujuan agar paham-paham tersebut tidak berkembang.

Terkait dengan hal itu, BNPT dan Satgas Sinergisitas menyatakan akan terus menguatkan nilai-nilai kebangsaan bersama masyarakat. Boy menyebutkan, akan ada literasi, FGD, maupun edukasi yang melibatkan seluruh komponen masyarakat.

Sementara, dalam rencana aksi atau pembangunan fisik, pemerintah menjalankan tiga strategi utama. Pertama, kontra radikalisasi yang ditujukan terhadap kelompok atau orang pendukung, simpatisan, dan masyarakat yang belum terpapar paham radikal dengan melaksanakan kegiatan pencegahan.

Kedua, strategi deradikalisasi yang merupakan upaya menanggulangi paham radikal atau menurunkan kadarnya menjadi tidak radikal pada kegiatan di dalam lembaga pemasyarakatan dan di luar lembaga pemasyarakatan. Dan, terakhir adalah pemenuhan sarana kontak yang merupakan strategi intelijen penggalangan. Dengan memfokuskan pada aspek pemenuhan sarana kontak untuk membantu membangun, memperbaiki, mengadakan, mengoptimalkan, mendukung sarana, dan fasilitas umum secara terbatas.

Penopang Ekonomi Saat Kembali
Bila pengendalian sudah dilakukan untuk mencegah penyebaran radikalisme, intoleransi, dan terorisme, lalu bagaimana nasib warga yang sudah kadung tertangkap aparat karena terlibat kasus serupa?

Hal ini dinilai sangat penting diperhatikan pemerintah, karena kesulitan ekonomi tak menutup kemungkinan dapat menggiring mantan narapidana teroris (napiter) untuk kembali ke jalan yang salah.

Begitu kira-kira yang diungkapkan pendiri Institute for International Peace Building (IIPB) Noor Huda Ismail. Seorang aktivis yang fokus pada reintegrasi dan rehabilitasi mantan napiter dengan kewirausahaan sosial.

Pria yang kerap disapa Huda ini pun menuturkan, pemerintah juga perlu membantu napiter untuk memiliki keahlian bekerja, sebagai bekal kembali ke masyarakat.

“Intinya orang mau pensiun jadi teroris itu harus bertahan, mulai dari penjara harus ada hubungan baik dengan penjaga penjara, bisa juga mulai menyiapkan napiter untuk bisa mulai hidup dengan pekerjaan-pekerjaan. Makanya assessment menjadi penting banget,” tegas Huda kepada Validnews melalui sambungan telepon dari Singapura, Jumat (2/4).

Mantan jurnalis The Washington Post ini juga menegaskan analogi residivisme itu selayaknya hubungan antarkekasih. Mantan napiter bisa tergoda untuk kembali ke jalan radikalnya, bila tidak mendapat penerimaan yang baik setelah keluar penjara. Hal ini turut mempengaruhi kondisi ekonomi eks napiter yang sulit memiliki penghasilan. Kebanyakan keberadaannya kurang diterima masyarakat.

“Jadi saya mencegah orang CLBK (cinta lama bersemi kembali.red) dan balik ke kelompok lamanya. Jadi Anda dan masyarakat harus baik serta bisa menerima. Kalo enggak, pasti (napiter.red) akan CLBK,” tandas Huda.

Visiting fellow Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University (NTU) Singapore ini pun membagikan tiga resep membantu napiter menciptakan hidup yang baru. Pendekatan yang Huda lakukan adalah 3H, yakni heart, hand, dan head.

Heart artinya, ia memenangkan hati para napiter dengan cara mendengarkan apa yang mereka rasa untuk mendapatkan kepercayaannya. Kemudian hand, lanjut Huda, yakni memberikan keahlian pekerjaan dan bimbingan usaha agar napiter bisa diterima masyarakat dengan identitas baru yang terkonfirmasi. Sementara, head artinya mengubah cara pikir dan pandang para napiter yang berkaitan dengan ideologi.

Dukungan membangun sistem kesejahteraan untuk reintegrasi mantan teroris juga datang langsung dari seorang mantan napiter, yakni Machmudi Hariono alias Yusuf. Ia membangun Yayasan Putra Persaudaraan (Persadani) bersama enam mantan napiter lainnya sejak 2019, yang kemudian disahkan Kementerian Hukum dan HAM pada 2 Maret 2020 silam.

Gagasan pendirian yayasan ini, aku Yusuf, dilatarbelakangi kenyataan eks napiter di wilayah Pantura tidak memiliki kegiatan. Melalui yayasan itu, pihaknya ingin menunjukkan ke masyarakat bahwa mantan napiter juga masih bisa bangkit membangun negeri dengan usaha.

Bermula dari enam orang, ia mengaku bahwa saat ini anggota Yayasan Persadani telah mencapai 30 orang se-Jawa Tengah. 

“Adapun pendampingan-pendampingan kita sudah membagi beberapa daerah. Di Tegal, kami adakan bersama Paguyuban Podomoro dalam pengelolaan embung atau bendungan kecil untuk wisata di Brebes. Sementara, teman-teman di Kendal usaha ayam petelur, di Solo berkebun melon premium, dan di Semarang lebih dominan ke usaha lele,” papar Yusuf kepada Validnews, Selasa (6/4).

Bisnis Mantan Teroris
Yusuf dulu tertangkap Densus 88 di Semarang, sekira tahun 2003 karena kedapatan menyimpan amunisi dan 26 bom rakitan. ‘Simpanan’ Yusuf diperkirakan bisa ledakannya dapat dua kali lipat dari Bom Bali. Bahan peledak itu adalah titipan dari tersangka Bom JW Marriot 2003 yakni Musthofa alias Abu Tholut.

Selama dipenjara 10 tahun, Yusuf merenung dan mengaku menyesal atas aksi-aksi yang pernah dilakukan.

Mantan anak buah Noordin M Top yang pernah dihukum 10 tahun itu mengatakan, beternak lele adalah cara untuk memuluskan proses reintegrasi sosial. Dengan cara tersebut, ia dan beberapa rekan eks napiter di Semarang bisa dengan mudah diterima masyarakat.

Usaha ternak lele mulai dilakukan sejak Agustus 2020 dengan panen pertama pada tahun baru 2021, yang menghasilkan uang sekitar Rp350.000. Namun kegiatan ini Yusuf akui masih menjadi kegiatan sampingan para mantan napiter, yang ternyata masih punya aktivitas kerja sesuai profesi masing-masing.

“Kami berdiri bersama kelompok budidaya ikan di RT. Jadi saya memfungsikan diri bersama warga sekitar untuk sama-sama melakukan ketahanan ekonomi dengan budidaya lele,” ujarnya.

Untungnya, usaha lele yang dijalani tidak terdampak pandemi covid-19 karena di sekitar perkampungannya dekat dengan pusat jajanan kuliner. Jadi, lele bisa langsung dipasarkan ke warung-warung pecel, penyet karena ada anggota kelompok budidaya dari kalangan warga yang sudah punya channel untuk menjual.

Lele dipilih karena Yusuf dan rekan-rekannya mendapat pelatihan budidaya lele dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), serta bantuan berupa peralatan ember untuk budikdamber atau budidaya ikan dalam ember.

Namun, ia masih berharap mendapat bantuan yang lebih memadai untuk produktivitas mantan napiter dan warga sekitar. “Jadi pada level bisa menjadi home industry, usaha yang berkelanjutan. Tentu melengkapi peralatan-peralatan dan prasarana yang menunjang, bisa berupa alat-alat pelatihan sabun maupun yang lainnya,” ucap Yusuf.

Perlu Ditingkatkan
Terhadap mereka, pemerintah melalui Kementerian Sosial tercatat telah menyalurkan bantuan sosial keluarga senilai Rp1,2 miliar. Para eks napiter yang tersebar di delapan provinsi Indonesia. Bantuan diberikan pada sekira akhir tahun lalu.

“Bantuan ini bagian dari stimulus untuk penguatan secara psikososial kepada mereka dan ekonomi keluarganya agar bisa kembali berada di tengah masyarakat dengan nyaman dan mampu mengembangkan bakat dan usahanya,” jelas Direktur Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial Kemensos Sunarti seperti dikutip Antara

Sunarti menerangkan, pemberian bantuan tersebut bertujuan mendorong bekas warga binaan pemasyarakatan, khususnya eks napiter dapat menjalankan fungsi sosialnya kembali di tengah masyarakat, dengan memulai usaha.

Hal tersebut, sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk mengambil bagian dalam penanganan eks narapidana teroris, yang oleh Kemensos dimasukkan dalam kelompok Bekas Warga Binaan Pemasyarakatan (BWBP).

Bantuan tersebut juga ditujukan untuk memberikan penguatan nasionalisme kepada eks napiter dan upaya deradikalisasi melalui penguatan ekonomi.

“Kami bekerja sama dengan BNPT melakukan sinergi, salah satunya melalui identifikasi dan rekomendasi data dari BNPT kepada Kemensos yang dituangkan dalam MoU antara Kemensos dan BNPT No.1 Tahun 2018, dengan salah satu tujuannya untuk mengembalikan fungsi sosial eks napiter melalui pemberian bantuan sosial keluarga eks terorisme dan radikalisme,” jelasnya.

Salah satu penerima manfaat bantuan, EM (41) pun mengaku senang dengan bantuan yang diberikan pemerintah karena bantuan itu dapat digunakan untuk memulai hidup baru.

“Bantuan ini saya gunakan untuk mengembangkan usaha jualan martabak. Alhamdulillah sekarang saya bisa menghidupi keluarga dan kembali ke masyarakat,” ujarnya.

Ia mengaku sangat merasakan manfaat bantuan yang diterima. Bapak empat anak itu menuturkan bahwa penghasilannya meningkat, yang semula sekitar Rp200.000 sampai Rp300.000, sekarang bisa sampai Rp800.000 hingga Rp1 juta.

Namun, Huda menilai, dukungan pemerintah bagi mantan napiter masih perlu ditingkatkan. Ia menilai, tugas pemerintah dalam hal ini, masih panjang untuk mencapai keberhasilan. Tujuan idealnya memakmurkan mantan narapidana agar tidak kembali melakukan aksinya.

Huda pun memberi masukan kepada pemerintah. Ia menilai, hal terpenting yang dapat mensukseskan proses reintegrasi mantan napiter adalah dengan meningkatkan koordinasi antarlembaga.

“BNPT kan urusannya banyak tidak hanya napiter. Maka dari itu rekomendasi cari satu orang khusus yang menangani 5–10 napiter, kalau tidak bisa ya bikin relawan sebanyak mungkin dan itu dikontrol,” sarannya. (Zsazya Senorita, Khairul Kahfi, Fitriana Monicca Sari)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar