c

Selamat

Sabtu, 29 Juni 2024

EKONOMI

30 November 2018

19:31 WIB

Menimbang Potensi Energi Laut Indonesia

Pengembangan energi terbarukan laut belum prioritas karena pemerintah fokus meningkatkan akses listrik ke pedalaman

Editor: Nofanolo Zagoto

Menimbang Potensi Energi Laut Indonesia
Menimbang Potensi Energi Laut Indonesia
Ilustrasi pengembangan teknologi pembangkit arus laut. Antara Foto/ Ahmad Subaidi

JAKARTA – Perairan Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga Merauke tak hanya diperkaya sumber daya hayati semata, tetapi juga sumber energi yang besar. Sejauh ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengidentifikasi dan memetakan tiga jenis potensi energi laut yang bisa dimanfaatkan ke depannya, yaitu gelombang laut, arus laut dan panas laut.

Secara teoritis, akumulasi ketiganya adalah sebesar 4.676.683 megawatt (MW). Sementara itu, potensi teknisnya hanya 216.609 MW dan praktisnya 60.985 MW saja. Perbedaan yang cukup signifikan antara teoritis, teknis, dan praktis disebabkan oleh perbedaan level akurasiserta juga minimnya penelitian langsung untuk mengukur potensi praktis suatu wilayah.

Sebenarnya, dengan potensi energi baru terbarukan (EBT) yang demikian besar ini, wilayah-wilayah di Indonesia harusnya tidak lagi kekurangan listrik. Hal tersebut disampaikan Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan ESDM, Harris kepada Validnews, Senin (26/11). Berikut wawancara lengkap dengannya.

Bagaimana kondisi energi terbarukan kelautan Indonesia?

Kalau saat ini masih tahap penelitian. Ada yang mau mengerjakan pilot project, ada juga yang coba-coba mau bikin komersial.

Sebenarnya apa saja energi terbarukan yang dapat dikembangkan dari sektor kelautan?

Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang memiliki wilayah laut terbesar. Sekitar dua per tiga wilayah Indonesia adalah laut. Indonesia memiliki pantai kedua terpanjang di dunia setelah Kanada. Hal tersebut menjadi keuntungan bagi Indonesia dari segi besarnya potensi energi laut.

Energi laut yang dihasilkan dari gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut atau samudra merupakan sumber energi di perairan laut. Energi tersebut berupa energi pasang surut, energi gelombang, energi arus laut, yaitu pembangkit listrik tenaga arus laut (PLTAL), dan energi perbedaan suhu lapisan laut atau istilahnya ocean thermal energy conversion (OTEC). Yang sudah ada perhitungan potensinya energi gelombang laut, arus laut, dan OTEC

Apa perbedaan ketiganya?

Arus laut itu memanfaatkan arus perpindahan air laut satu tempat ke lain secara horizontal. Sedangkan, gelombang itu pergerakan air dari embusan atau kekuatan angin.

Antara arus laut, gelombang, dan angin yang paling mungkin dilakukan adalah arus laut. Nah, di Indonesia yang paling memungkinkan itu arus karena Indonesia dikelilingi oleh pulau-pulau. Di antara pulau-pulau pasti ada arusnya dan yang paling sulit dilakukan adalah OTEC.

Dari potensi tersebut, bidang apa yang diprioritaskan dan apa pertimbangannya?

Perkembangan energi terbarukan di Indonesia untuk bidang energi laut saat ini difokuskan pada PLTAL. Hal ini dapat dilihat pada Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik telah disebutkan PLTAL untuk pengembangan energi laut di Indonesia.

Pemanfaatannya dilakukan oleh siapa dan dimana?

Ada Korea yang menginisiasi membuat penelitian arus laut di daerah Laut China Selatan, tapi prosesnya baru di meja. Kemudian, ada juga yang melakukan kerja sama dengan kita, yaitu Austria yang baru mau membuat pra studi kelayakan atau feasibility study (FS) sampai nanti menjadi komersial, tapi prosesnya masih jauh.

Itu nama perusahaannya Tidal Bridge Indonesia. Kita sudah pernah melakukan pembicaraan di awal. Kemudian, sekarang Austria juga mencari partner tambahan dengan melibatkan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Kemudian yang ketiga dengan Prancis. Jadi, Prancis juga mau membantu mencari lokasi. Sudah dilakukan FS dengan itu. Dan nanti kalau sudah ada, mereka akan masuk ke tahap komersial itu.

Memangnya daerah-daerah mana saja yang memiliki potensi energi terbarukan arus laut terbesar?

Berdasarkan pemetaan yang telah dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) ESDM, peta potensi energi arus laut di Indonesia memiliki titik potensi yang besar di lokasi-lokasi berikut, Riau, Selat Sunda, Toyapakeh di Nusa Penida Bali, Lombok dan Alas di Nusa Tenggara Barat (NTB), serta di Molo, Larantuka, Boleng, dan Pantar di Nusa Tenggara Timur (NTB).

Selain itu, ada pula di Mansuar Raja Ampat di Papua Barat, Selat Lampa Natuna, Sugi Riau, Lirung Talaud, Lembeh Sulawesi, Halmahera Selatan dan daerah Medan Tenggara, yaitu di Bagansiapiapi.

Kalau energi arus laut memang lebih ke arah selat?

Sudah jelas karena kita posisinya sangat diuntungkan dengan berada di daerah yang strategis. Kalau potensinya sekarang ini mengemuka adalah yang di Larantuka karena ada pulau Flores dan Lembata. Di antara dua pulau itu ada selat yang jaraknya sekitar 800-an meter yang arusnya bagus menurut penelitian yang ada. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga pernah meneliti ke sana.

Namun, sekarang di Larantuka itu belum sampai kepada implementasinya, baru berupa rencana yang sudah ada FS-nya. Proyek itu dibuat oleh Tidal Bridge Indonesia, perusahaan Belanda yang kemudian disampaikan ke PLN.

Memang seberapa potensinya kalau di Larantuka?

Cukup besar, tetapi yang direncanakan itu 30 MW. Teknisnya, ia memasang teknologinya di bawah jembatan. Itu rencananya dipasang sekitar 30 titik. Tapi itu baru rencana, belum sampai kepada kapan implementasinya. Menurut Tidal Bridge Indonesia, teknologi itu efisien, pemasangannya lebih mudah, dan perawatannya lebih gampang.

Untuk menghasilkan energi 30 MW yang ada di Larantuka, kira-kira investasi yang dibutuhkan berapa?

Kalau mau membicarakan investasi, harus dipisahkan dulu antara investasi pembangkit dan investasi jembatan. Karena pembangkit yang mau dibangun itu nantinya mau dipasang di jembatan sejauh 800 meter. Sementara, sekarang jembatannya belum ada.

Mereka sudah menghitung-hitung kalau dengan jembatan dan daya 30 MW tadi mereka memperkirakan biayanya sekitar US$215 juta. Catatannya, biaya untuk jembatannya akan lebih mahal daripada pembangkitnya.

Kenapa dibuat sistemnya seperti itu?

Jadi, ada bermacam-macam teknologi yang dipakai untuk menangkap arus laut. Salah satunya ya itu. Ada juga yang ditaruh di permukaan tanah di dasar laut, tapi kalau rusak sedikit maintenance-nya masih tanda tanya karena alat dipasang di laut.  

Kemudian, ahli listrik yang bisa menyelam juga tidak banyak. Belum lagi sumber daya manusia (SDM) yang melakukan perawatan kalau ada kerusakan. Kemudian, secara keekonomian apakah bisa masuk dengan kondisi yang ada sekarang.

Harga listrik itu kan ditentukan berdasarkan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik. BPP setiap regional itu berbeda-beda. Misalnya di Jawa karena listrik sudah lama adanya dan sudah bagus infrastrukturnya, biaya produksi listrik per KWH di Jawa itu sudah lebih murah, yaitu di bawah Rp7 sen. Kalau di luar Jawa BPP-nya masih bervariasi. Ada yang di atas Rp7 sampai kepada Rp20 sen.

Khusus untuk investasi itu 30 MW dan perhitungan BPP tersebut, kira-kira harga listriknya berapa?

Harganya harus mengikuti BPP setempat. Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017 menyebutkan untuk teknologi pembangkit listrik tenaga (PLT) arus laut, kalau dijual harganya tidak boleh melebihi 85% dari BPP setempat. Kalau BPP-nya Rp20 sen maka tidak boleh lebih dari 85% dari Rp20 sen.

Tapi mungkin tidak dengan investasi sebesar itu, mencapai ketentuan BPP?

Kalau dengan jembatannya rasanya sulit. Itu kan salah satu yang mau dikembangkan, tetapi jembatannya sendiri masih menjadi masalah. Darimana pengembalian modalnya kalau jembatannya juga ditumpangkan ke 30 MW itu.

Kalau umpama 30 MW dengan biayanya sekitar US$215 juta, itu berarti butuh sekitar 18 tahun untuk bisa kembali modal. Tapi sekarang ini belum bisa jalan juga karena skema pembiayaannya juga belum jelas. Kalau mau diterapkan, terus siapa yang mau meminjam pendanaannya, apakah PLN, perusahaan swasta atau pemerintahkah? Itu sebabnya masih belum bisa ditetapkan.

Tapi sebenarnya di luar return on investment (ROI)-nya yang baru kembali sekitar 18 tahun, tetap ada ketertarikan dari pihak-pihak luar terhadap industri ini, itu kenapa?

Ada, karena kalau kita lihat daerah-daerah yang Larantuka itu banyak selat-selat sempit yang bisa dimanfaatkan.

Berarti kalau yang Larantuka ini sukses, harusnya bisa menjadi langkah awal?

Bisa saja. Cuma kalau Larantuka itu dia minta pemerintah yang menjamin pinjamannya. Karena kalau mau membangun dan nantinya PLN yang beli, harusnya dia yang membuat konsorsium dengan siapa harus meminjam dana karena ini sifatnya business to business.

Terlepas dari ketiganya, bagaimana dengan kemungkinan pemanfaatan angin laut?

Jadi memang negara yang sudah punya PLT angin di onshore mulai melirik offshore-nya atau energi listrik tenaga angin yang ditaruh di laut. Yang membedakan pasti biayanya lebih mahal karena konstruksinya harus dibangun di air dan itu juga butuh kekhususan sendiri dibanding kalau dipasangdi darat.

Kalau di darat cukup digali, kemudian diberi konstruksi baja. Kalau di air tidak bisa begitu. Harus membikin pancang dulu, kedalaman lautnya juga harus diperhitungkan. Jadi antara onshore dan offshore, lebih mahal biaya offshore.

Tapi sudah pernah belum mengkaji perbandingannya dengan di negara lain?

Belum. Mengapa belum? Karena yang di darat saja masih banyak, lebih murah. Melihatnya ke situ. Masalahnya keekonomian begitu. Dan pemerintah tidak bisa membiayai sendiri untuk melakukan penyediaan tenaga listrik menggunakan teknologi di laut menggunakan anggaran pemerintah.

Di bagian Papua misalnya, kita punya sekitar 2.500 desa yang belum ada listriknya. Itu belum tentu semuanya berada di pinggir laut, adanya justru di pedalaman dan di pegunungan. Jadi, prioritasnya adalah meningkatkan akses listrik ke daerah pedesaan. Kementerian ESDM sudah menargetkan pada tahun 2019 akan mencapai target rasio elektrifikasi sebesar 99%. Kalau sekarang itu baru 98,03%. Itu dulu yang dikejar.

Kalau menyoal demand, bagaimana perbandingan demand antara pesisir dan pedalaman?

Kalau pastinya saya kurang tahu, tapi kecenderungannya daerah pesisir itu lebih berkembang daripada daerah pedalaman. Daerah pesisir itu memang selama ini masih banyak dilistriki dengan PLN dengan diesel. Kalau di pedalaman harganya pasti lebih mahal karena membawanya susah. Kalau pesisir bisa dengan kapal. Kalau dilihat demand, sebenarnya demand di pesisir pasti lebih tinggi, tetapi sekarang ini keburu diisi solar.

Dalam artian pengembangan EBT ke arah laut itu belum prioritas ESDM?

Kalau sekarang ini itu belum. Tapi itu juga mengacu pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Yang ada sekarang itu adalah rencana dari tahun 2018 ke 2027. Khusus OTEC dan wind offshore itu belum ada di Rencana Penyediaan Tenaga Listrik (RPTL). Jadi bagaimana mau dikembangkan? Setidaknya sampai 2027 belum ada ke sana.

Sebenarnya, seberapa efisienkah pemanfaatan kelautan sebagai energi terbarukan?

Hingga saat ini pemerintah masih terus berupaya untuk mengarusutamakan pemanfaatan energi terbarukan melalui berbagai strategi. Kapasitas pemanfaatan EBT dalam sektor listrik mencapai 9,32 GW atau 2% dari total potensi 443,2 GW di seluruh Indonesia. Hingga saat ini pemanfaatan energi laut menjadi pembangkit masih dalam tahap pilot project sehingga masih belum dapat dimanfaatkan sebagai energi listrik untuk masyarakat.

Apa saja proses yang dilalui agar sumber kelautan bisa diolah menjadi energi terbarukan?

Untuk mendorong pemanfaatan EBT khususnya energi laut, pemerintah melalui ESDM telah menerbitkan Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017, yang mana peraturan tersebut merupakan pedoman bagi PLN dalam melakukan pembelian tenaga listrik dari pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber energi terbarukan.

Apakah teknologi yang ada saat ini sudah memadai dalam mengembangkan energi terbarukan kelautan?

Pengembangan energi terbarukan lainnya mencakup antara lain PLT diesel dengan campuran bioenergi, PLT arus laut, PLT gelombang laut dan PLT energi panas laut atau OTEC untuk pembangkit listrik, dengan proyeksi sebesar 3,1 GW pada tahun 2025 dan 6,1 GW pada tahun 2050.

Meskipun demikian, saat ini kegiatan pengembangan energi laut masih berapa dalam tahap riset dan biaya investasi awal masih cukup tinggi. Beberapa negara yang telah mengajukan kerja sama dengan Indonesia mengenai pemanfaatan energi laut adalah Inggris dan Prancis.

Sejauh ini ESDM berkoordinasi dengan siapa saja untuk mengembangkan energi terbarukan kelautan?

Dalam memetakan potensi energi laut ESDM telah bekerjasama dengan beberapa kementerian dan lembaga dan LSM, yaitu Asosiasi Energi Laut Indonesia (ASELI) bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (PPPGL).

Kementerian ESDM serta berbagai instansi lainnya seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Pusat Penelitian dan Perekayasaan Teknologi Kelautan dan Perikanan (PPPTKP), Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), dan Institut Teknologi Bandung (ITB), juga telah melaksanakan studi potensi energi laut di Indonesia.

Ini kan diharapkan energi terbarukan bisa menjadi alternatif kelistrikan, sebenarnya siapa saja unsur pemerintah yang punya kendali dalam pengembangan EBT ini?

Dari sisi pemerintah itu ada yang mengatur, mengawasi dan membuat regulasi. Litbang juga ada bagiannya untuk melakukan studi dan penelitian. Kalau PLN ketika sudah ada di tahap implementasi. Jadi, pemerintah menyusun regulasinya, kemudian regulasi itu dipakai untuk menjadi dasar antara PLN dengan pihak swasta untuk melakukan kerja sama menyediakan listrik secara bersama-sama secara komersial.

Swasta berkewajiban menyediakan listriknya, kemudian dibeli oleh PLN. PLN berkewajiban membayar harga listrik sesuai dengan yang disepakati sebelumnya. Kalau pemerintah melakukan kegiatan penelitian bagi Litbangnya itu sah-sah saja. Toh tidak dikomersialkan, hanya merupakan survei atau piloting. Hasilnya justru bisa dijadikan benchmark untuk nanti dikomersialkan. Tetapi kalau sudah komersial, ya sudah business to businees antara penjual dan pembeli.

Sebenarnya siapa yang punya kewenangan merealisasikan pengembangan EBT?

Jadi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi meminta agar EBT dimaksimalkan dalam penyediaan energi nasional. Mengapa? Karena selama ini kita sangat tergantung pada minyak fosil, gas dan batubara yang pangsanya pada saat masih 95% ke atas.

Sementara kita tahu ketersediaan jenis energi fosil itu sangat terbatas. Kalau sudah diambil, tidak bisa kembali lagi. Eksploitasi dan eksplorasinya harus terus dicari. Sementara di sisi lain, Indonesia punya sumber EBT yang kaya, ada hidro, geotermal, surya, angin, bioenergi dan laut.

Permasalahannya yang dulu itu adalah biaya untuk memproduksi listrik dari EBT itu tinggi, sementara kompetitornya yaitu minyak dan gas disubsidi pada waktu itu, sedangkan EBT-nya tidak. Jadi ketika EBT mau masuk, tidak bisa bersaing. Sekarang subsidi mulai dihilangkan sehingga sudah mulai setara. Bahkan, di beberapa negara ada yang harga EBT-nya sudah lebih rendah.

Apa saja kendala yang dihadapi untuk mengembangkan energi terbarukan kelautan?

Berbagai kendala pengembangan energi laut di Indonesia antara lain biaya investasi pembangkit listrik energi laut masih relatif tinggi dan belum adanya regulasi spesifik terkait pemanfaatan energi laut sebagai pembangkit listrik.

Selain itu, kendala lainnya adalah data potensi energi laut belum lengkap dan belum dimanfaatkan secara optimal. Demikian pula dengan data studi interkoneksi sistem kelistrikan PLN dalam menerima pembangkit listrik energi laut berselang yang belum tersedia.

Ditambah lagi, sarana dan prasarananya yang jauh dari kata memadai. Harris menuturkan, saat ini teknologi pembangkit listrik energi laut di Indonesia masih dalam tahap riset dan industri energi laut belum disiapkan. Bahkan, baik fasilitas maupun industri pendukung energi laut belum terpetakan secara baik. Kemudian, belum tersedianya sumber daya manusia dengan kompetensi yang dibutuhkan dalam pengembangan energi laut

Adakah target waktu maupun besaran energi yang ditetapkan pemerintah terkait energi terbarukan kelautan?

Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional, diversifikasi sumber energi dengan pemanfaatan sumber energi terbarukan lainnya diperlukan guna mewujudkan target pengembangan energi baru terbarukan sebesar minimal 23% dari total bauran energi nasional pada tahun 2025.

Apa harapan ESDM dari pemanfaatan energi terbarukan kelautan?

Dalam pengembangan energi laut ESDM memiliki harapan, yaitu memaksimalkan pemanfaatan potensi energi laut di Indonesia demi tercapainya target pengembangan energi laut sebagaimana yang tercantum di dalam roadmap.

Kemudian, mendorong pengembangan SDM yang kompeten di bidang energi laut dan meningkatkan sistem standarisasi bidang energi laut yang mencakup aspek teknis serta kompetensi.

ESDM juga mendorong terciptanya regulasi yang mendukung pengembangan dan pemanfaatan energi laut. Tentunya dengan mengoptimalkan peran swasta nasional serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam pengembangan industri dalam negeri bidang energi laut. (Elisabet Hasibuan, Teodora Nirmala Fau, Bernedette Aderi, Fajar Setyadi)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar