c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

14 Desember 2017

20:48 WIB

Mengerek Eksistensi Sawit Via Mandatori Biodisel

Pemerintah menargetkan pada tahun 2020 seluruh Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) mencampur BBM dengan B20 secara merata

Mengerek Eksistensi Sawit Via Mandatori Biodisel
Mengerek Eksistensi Sawit Via Mandatori Biodisel
ilustrasi uji emisi kendaraan yang menggunakan campuran solar dengan biodiesel dari nabati sebanyak 20% untuk penghematan bahan bakar, penekanan polusi udara dan mengurangi impor bahan bakar. ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah

JAKARTA -  Indonesia merupakan produsen sawit nomor wahid di dunia. Kenyataan ini bagaimana pun menguntungkan, mengingat sawit punya beragam kegunaan, salah satunya biodiesel. Tingginya produktivitas sawit akan membuat sawit lebih kompetitif sebagai bahan baku biodiesel dibanding minyak nabati lainnya.

Beberapa tahun belakangan pemerintah menyadari potensi besar sawit untuk dijadikan biodiesel. Meski dalam perjalanannya menemui beberapa kendala, kebijakan sawit terus didorong ke arah pengembangan biodiesel berbahan baku sawit.

Biodiesel sawit memang coba dikembangkan sebagai bahan bakar alternatif, seiring kebutuhan pemakaian bahan bakar alternatif yang lebih ramah lingkungan. Pelbagai upaya dicarikan pemerintah untuk mengantisipasi dampak perusakan lingkungan oleh kendaraan bermotor, serta cara menekan impor bahan bakar fosil. Makanya sejak tahun 2013 silam, pemerintah berupaya meningkatkan penggunaan biodiesel (biofuel) dalam negeri.

Salah satunya lewat kebijakan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12/2015 Atas Perubahan Ketiga Permen ESDM Nomor 32 tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar lain. Salah satu tujuannya untuk mengurangi impor BBM.

Melalui aturan ini juga pemerintah mengeluarkan aturan wajib atau mandatori campuran BBN (bahan bakar nabati) untuk solar atau biodiesel.

Regulasi tersebut juga mencantumkan roadmap pemanfaatan BBN sebagai campuran BBM. Pemanfaatan ini dilakukan pemerintah sejak tahun 2015. Pada April tahun 2015 pemerintah mewajibkan pencampuran biodiesel ke bahan bakar kendaraan bermotor sebanyak 15% (B15).

Untuk tahun 2016 hingga tahun 2020, pemerintah mewajibkan pemanfaatan biodiesel sebesar 20% (B20). Pada Januari 2020 pemerintah menaikan wajib biodiesel dari 20% menjadi 30% (B30). Pemerintah menargetkan, wajib biodiesel 30% ini hingga tahun 2025 mendatang.

Atas dasar itu Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Sudjoko Harsono mengatakan, pemerintah telah melakukan berbagai kajian untuk menentukan persentase BBN untuk dicampurkan ke BBM, khususnya solar. Kajian ini melibatkan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lemigas, serta Insititut Teknologi Bandung (ITB). Selain melakukan penelitian, Kementerian ESDM juga melakukan sejumlah tes terhadap kendaraan.

“Untuk melakukan peningkatan dari B2,5, B5, B7,5, B20 itu tak ujug-ujug pemerintah mengeluarkan peraturan itu. Kita (pemerintah.red) melakukan kajian. Kita juga melakukan kajian terhadap kendaraan, ternyata hasilnya aman saja. Makanya, kita terapkan B20,” kata Sudjoko kepada Validnews, di Jakarta, Kamis (14/12).

Berlandas pada kajian itulah pemerintah menargetkan pada tahun 2020 mendatang seluruh stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) mencampur BBM dengan B20 secara merata. Selanjutnya, di tahun 2020 pemerintah pun berencana melakukan kajian mengenai penerapan B30.

“Nanti akan kita meningkatkan sampai B30 seperti di roadmap-nya. Misalnya, B30 tidak kompatibel. Kalau target ini sepanjang mungkin,” jelasnya.

Rencana ini jalan terus. Sudjoko memastikan penggunaan biodiesel memberikan dampak yang positif bagi pemerintah. Ia menegaskan, keberadaan biodiesel mampu menekan impor solar. Hal ini diperkuat data di lapangan yang menyatakan PT Pertamina oversupply solar.

“Ternyatakan, informasinya Pertamina oversupply. Berarti dengan hasil ini berarti menurut kami berhasil menekan impor,” klaim Sudjoko.

Meski demikian dia mengakui memastikan implementasi Permen ESDM No 12/2015 memang tak semudah membalikan telapak tangan. Pasalnya, pemerintah harus mengawasi ribuan SPBU di tanah air. Apalagi, jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) Kementerian ESDM terbatas.

Atas kondisi tersebut pemerintah punya cara mengantisipasinya. Untuk pengawasan, pemerintah menjalin kerjasama dengan PT Surveyor Indonesia. PT Surveyor Indonesia itu bertugas untuk memastikan seluruh SPBU pencampuran biodiesel tersebut. PT Surveyor, lanjut Sudjoko, akan berkeliling mengambil sampling dari pelbagai SPBU untuk menjalani proses di laboratorium.

“Di laboratorium akan menunjukan bagaimana persentasi pencampurannya. Hasilnya, pemerintah akan mengetahui kadar biodiesel yang dicampurkan murni 20% atau tidak,” ungkapnya.

Nantinya hasil uji laboratorium tersebut akan menentukan sanksi kepada SPBU yang melanggar aturan. Pemerintah bisa saja memberikan sanksi administrasi kepada SPBU hingga pencabutan izin beroperasi bila terbukti melakukan pelanggaran.  

“Katakanlah itu terjadi pada saat dimana BU BBN itu kena denda. BU BBN tergantung Fatty Acid Methyl Ester (FAME), kalau FAME-nya terlambat tidak dikenakan denda. Kalau BU BBN yang terlambat supply juga ada (sanksinya.red). Tapi hanya administrasi yang bersifat teguran sampai penangguhan, serta pencabutan izin,” tandasnya.

Ragam Kendala
Sementara itu, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan menyebutkan, sebetulnya sepanjang tahun 2017 ini menunjukkan tren positif. Mandatori biodiesel secara umum sudah tampak berjalan dengan baik untuk sektor publik.

Hanya saja dia mengakui masih ada beberapa kendala yang terlihat sepanjang tahun 2017 ini. Hal ini khususnya terjadi untuk penggunaan biodiesel di sektor industri atau non-public obligation service (non-PSO).

"Kalau untuk yang nonsubsidi itu memang belum bisa berjalan dengan baik. Jadi, ada beberapa pengguna yang sudah menggunakan biodiesel yang subsidi, tapi belum semua menggunakan nonsubsidi," terangnya.

Kendala pertama di sektor non-PSO yang tidak mendapat subsidi dari pemerintah adalah masalah harga. Lalu kendala kedua, terkait kendala teknis di mana masih ada pengguna yang meragukan penggunakan biodiesel untuk alat berat.

"Karena masih ada keraguan bagi pada pengguna terutama di non-PSO pada biodiesel B20. Sebagian dari mereka hanya menggunakan B10. Ada yang kurang dari itu,” ungkapnya.

Makanya, pada tahun 2018 nanti sektor PSO bisa berjalan seperti tahun ini, dan sektor non-PSO bisa berjalan dengan baik.

"Memang, tahun ini biosolar non-PSO kita belum jalan. Jadi, mudah-mudahan tahun depan non-PSO ini dapat digunakan juga," kata dia.

Peningkatan disebutnya perlu. Dia berkaca penggunaan biodiesel yang sudah banyak digunakan masyarakat di Eropa karena lebih ramah lingkungan. Mobil-mobil di sana sudah banyak menggunakan mesin berteknologi diesel sehingga pemakaian bahan bakar minyak (BBM) biosolar otomatis juga banyak.

"BMW, Mercedez Benz, banyak yang sudah pakai biodiesel sekarang. Di Eropa mobil pakai diesel, banyak," kata Paulus.

BBM biodiesel atau biosolar ini merupakan hasil dari B20. Menurut dia, biosolar saat ini sudah lebih baik kualitasnya. Sepanjang tahun 2017 PSO atau kewajiban pemerintah melayani publik terkait BBM, kebutuhan biosolar se-Indonesia adalah sebesar 2,5 juta kilo liter. Untungnya semua truk yang ada di seluruh Indonesia dikatakannya sudah menggunakan biosolar. Tentu ini dapat memengaruhi kebersihan lingkungan.

"Biodiesel ini malah lebih bagus untuk mesin, lebih dingin buat mesin. Tapi tergantung perawatan," ujar dia.

Kebutuhan biosolar PSO untuk tahun 2018, lanjut dia, akan mengalami peningkatan 500.000 kilo liter. 

"Biosolar PSO tahun depan diharapkan bisa lebih dari 3 juta kilo liter. Kalau non-PSO digunakan juga, ya samalah 3 juta kilo liter," kata dia.

Badan Usaha BBN
Direktur Utama Badan Pengelola Dana Pungutan (BPDP) Kelapa Sawit, Dono Boestami mengatakan, untuk penerapan mandatori B20 pada dasarnya untuk mendukung perkembangan industri sawit itu sendiri. Apalagi sawit jadi alternatif paling relevan buat sebagai bahan baku biodiesel saat ini. Bila keadaannya sudah seperti itu tentu dampaknya akan meningkatkan kesejahteraan petani sawit itu sendiri.  

Saat ini, dia mengatakan sudah ada perjanjian pembiayaan dengan 20 Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BBN) jenis biodiesel untuk periode November 2017—April 2018. Perjanjian ini sesuai dengan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 3756 K/10/MEM/2017 besaran alokasi Bahan Bakar Nabati (BBN) yang akan mendapatkan insentif sebesar 1,4 juta kilo liter yang dialokasikan pada 20 pengusaha Badan Usaha BBN.

“Sekarang ini ada 10% dari total produksi CPO (minyak sawit.red) yang digunakan untuk program mandatori biodiesel. Untuk tahun depan, kita lagi hitung, tapi harus menunggu berapa proyeksi produksi target ekspor. Jadi tergantung,” terangnya.

Berdasarkan data GAPKI, produksi sawit Indonesia saat ini mencapai 30 juta ton CPO per tahun. Sebanyak 22,5 juta ton dari total produksi itu untuk memenuhi kebutuhan ekspor. Saat itu, GAPKI juga memperkirakan kebutuhan minyak nabati pada 2025 akan meningkat menjadi 50 juta ton.

Sementara itu, Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik, seperti yang dikutip dari Antara, Senin (11/12), di Jakarta, menyatakan keseriusan Pertamina dalam pengembangan biodiesel.

Dia mengatakan Pertamina kini telah mengelola operasi pasokan biodiesel di 60 terminal di seluruh Indonesia. Pada 2016, konsumsi biodiesel dalam negeri mencapai 2,7 miliar liter dan pada 2020 diproyeksikan mencapai 3,9 miliar liter biodiesel melalui program B30.

"Tantangan akan muncul dalam implementasi mencapai standar Biodiesel 30 (B30) yang akan diterapkan pada tahun 2020," ujarnya.

Di sisi lain, katanya, panel surya saat ini sudah diterapkan di wilayah operasi Pertamina, kawasan perkantoran, zona ekonomi khusus, dan industri.

Massa menambahkan berbagai upaya yang dilakukan Pertamina tersebut harus didukung penuh oleh pemerintah, karena sinergi antara pelaku usaha dan pemangku kepentingan amat dibutuhkan demi tercapainya iklim investasi yang baik.

"Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah juga diharapkan mampu menjaga industri energi berkembang pesat sehingga perkembangan ekonomi serta kelestarian lingkungan dapat cepat tercapai," paparnya.

Menurut dia, Pertamina yang mendapatkan tugas dalam mendorong kemandirian energi Indonesia, juga senantiasa berupaya melakukan inisiatif dengan menggali permasalahan, yang menjadi tantangan dalam pengembangan EBT dan menghadirkan solusi bagi pengembangannya di Indonesia. (James Manullang, Muhammad Fauzi, Denisa Tristianty)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar