c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

02 April 2018

20:26 WIB

Mendulang ‘Emas’ di Jalur Perniagaan

Sistem ekonomi kerakyatan di Indonesia mengakar semenjak era prakolonialisme

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Mendulang ‘Emas’ di Jalur Perniagaan
Mendulang ‘Emas’ di Jalur Perniagaan
Candi Muara Takus di Kampar, Riau, situs peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Pinterest.com

JAKARTA – Pertumbuhan ekonomi Indonesia terus mengalami perbaikan. Berdasarkan hasil tinjauan IMF yang termaktub pada Laporan Konsultasi Artikel IV untuk Indonesia 2017, atau Indonesia: 2017 Article IV Consultation tanggal 10 Januari 2018 lalu saja, perekonomian Indonesia disebut terus memperlihatkan geliat yang baik.

Mereka menyebutkan kinerja yang mantap dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil menjadi salah satu hasil yang telah dicapai bangsa ini dalam konteks perekonomian. Selain itu, kondisi makroekonomi juga kian terjaga sehingga risiko sistemiknya dapat terkendali.

IMF juga memperkirakan, dengan skenario reformasi fiskal dan reformasi lainnya, pertumbuhan potensial Indonesia dapat mencapai 6,5% di jangka menengah, yakni tahun 2022 nanti. Mereka juga memproyeksikan pada tahun 2018 ini pertumbuhan bisa mencapai 5,3%. Sementara di APBN 2018, target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan pemerintah sendiri sebesar 5,4%.

Untuk dapat mencapai persentase pertumbuhan yang diinginkan ini, Indonesia sebetulnya perlu memaksimalkan program ekonomi kerakyatan. Apalagi secara historis, sistem ini sesungguhnya telah lama mengakar kuat di Tanah Air, bahkan sejak era pra-kolonialisme.

Mengutip jurnal Rowland B. F. Pasaribu yang berjudul “Sistem Perekonomian di Indonesia”, masa pra-kolonialisme adalah masa-masa berdirinya kerajaan-kerajaan di wilayah Nusantara (sekitar abad ke-5) sampai sebelum masa masuknya penjajah yang secara sistematis menguasai kekuatan ekonomi dan politik di wilayah nusantara (sekitar abad ke-15 sampai abad ke-17).

Daerah-daerah yang jadi cikal bakal wilayah Indonesia ini umumnya dikuasai oleh kerajaan-kerajaan.

Di masa itu, Pasaribu menuliskan bahwa Indonesia terletak di posisi geografis antara benua Asia dan Eropa serta Samudra Pasifik dan Hindia, sebuah posisi yang strategis dalam jalur pelayaran niaga antar benua.

“Salah satu jalan sutra, yaitu jalur sutra laut, ialah dari Tiongkok dan Indonesia, melalui selat Malaka ke India,” tulis Pasaribu.

Perdagangan di masa kerajaan-kerajaan tradisional itu menurut Van Leur, dikutip dari Pasaribu, mempunyai sifat kapitalisme politik. Artinya pada masa itu pengaruh raja-raja dalam perdagangan sangat besar. Misalnya di masa Sriwijaya, saat perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat dan Eropa, mencapai zaman keemasannya.

Raja-raja dan para bangsawan mendapatkan kekayaannya dari berbagai upeti dan pajak. Tak ada proteksi terhadap jenis produk tertentu, karena mereka justru diuntungkan oleh banyaknya kapal yang singgah.

Penggunaan uang, yang berupa koin emas dan koin perak, sudah dikenal di masa itu. Namun pemakaian uang baru mulai dikenal di masa kerajaan-kerajaan Islam, misalnya picis yang terbuat dari timah di Cirebon.

Akan tetapi, penggunaan uang saat itu juga masih terbatas. Sebab perdagangan barter masih banyak berlangsung dalam sistem perdagangan internasional. Jadi tidak terjadi surplus atau defisit yang harus diimbangi dengan ekspor atau impor logam mulia.

Kala itu, kejayaan suatu negeri dinilai dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya pelabuhan, karena kekuasaan dan kekayaan kerajaan-kerajaan di Sumatra bersumber dari perniagaan. Namun di Jawa, kejayaan bersumber dari pertanian dan perniagaan.

Pada masa prakolonial, pelayaran niagalah yang cenderung lebih dominan. Namun dapat dikatakan bahwa di Indonesia secara keseluruhan, pertanian, maritim dan perniagaan sangat berpengaruh dalam perkembangan perekonomian Nusantara waktu itu.

Di masa sistem pemerintahan yang masih berbentuk feodal itu, kegiatan utama perekonomiannya meliputi pertanian. Namun pertanian yang ada umumnya monokultural, misalnya padi di Jawa dan rempah-rempah di Maluku. Kemudian eksplorasi hasil alam, misalnya hasil laut, hasil tambang.

Selain itu, perdagangan besar antarpulau dan antarbangsa waktu itu sangat mengandalkan jalur laut.

Kerajaan-kerajaan besar yang pernah muncul dalam sejarah Indonesia di antaranya seperti Sriwijaya (abad ke-8), Samudra Pasai (abad ke-13), Majapahit (abad ke 13-15), merupakan kerajaan-kerajaan yang sangat menguasai kegiatan ekonomi di atas.

Monopoli Penduduk
Sejarah mencatat, sistem ekonomi Indonesia telah mengalami perubahan sesuai dengan bentuk pemerintahan yang dipengaruhi oleh perkembangan zaman. Karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk ekonomi, di masa prasejarah sebenarnya Indonesia sudah memiliki sistem ekonomi sendiri yang sesuai dengan perkembangan peradaban di masanya.

Tentunya peraturan-peraturan atau kebijakan pada setiap kerajaan sesuai dengan kroniknya memiliki persamaan dan perbedaan, misalnya kerajaan Sriwijaya.

Pada mulanya penduduk Sriwijaya hidup dengan bertani. Namun karena Kerajaan Sriwijaya terletak di tepi Sungai Musi dekat pantai, maka perdagangan menjadi cepat berkembang.

Perdagangan kemudian menjadi mata pencaharian pokok. Perkembangan perdagangan didukung oleh keadaan dan letak Sriwijaya yang strategis, yakni di persimpangan jalan perdagangan internasional. Para pedagang China yang akan ke India pada saat itu pastinya akan singgah terlebih dahulu di Sriwijaya. Begitu pula para pedagang dari India yang akan ke China. 

Saat di Kerajaan Sriwijaya, para pedagang itu akhirnya melakukan bongkar muat barang dagangan. Dengan demikian, Sriwijaya semakin ramai dan berkembang menjadi pusat perdagangan.

Seiring berjalannya waktu, Sriwijaya mulai menguasai perdagangan nasional maupun internasional di kawasan perairan Asia Tenggara. Perairan di Laut Natuna, Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Jawa berada di bawah kekuasaan mereka.

Menukil penelitian Yuliati yang berjudul Kejayaan Indonesia Sebagai Negara Maritim (2016), wilayah Sriwijaya di era itu disebut sebagai pusat perdagangan yang kerap memberikan kemakmuran bagi rakyat dan kerajaan. Kapal-kapal yang singgah dan melakukan bongkar muat dituliskan Yulianti, harus membayar pajak.

Dalam kegiatan perdagangan, Sriwijaya mengekspor gading, kulit, dan beberapa jenis binatang liar. Sedangkan barang impornya antara lain, beras, rempah-rempah, kayu manis, kemenyan, emas, gading, dan binatang.

Perkembangan tersebut telah memperkuat kedudukan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim. Kerajaan maritim adalah kerajaan yang mengandalkan perekonomiannya dari kegiatan perdagangan dan hasil-hasil laut.

Makanya, untuk memperkuat kedudukannya, Sriwijaya lantas membentuk armada angkatan laut yang kuat. Melalui armada angkatan laut yang kuat tersebut Sriwijaya akhirnya mampu mengawasi perairan di Nusantara. Hal ini sekaligus merupakan jaminan keamanan bagi para pedagang yang ingin berdagang dan berlayar di wilayah perairan tersebut.

Lantaran Sriwijaya merupakan negara maritim yang kuat, pada akhirnya ia dapat menguasai seluruh Sumatra, dan mengirimkan ekspedisinya ke Jawa serta menguasai Selat Malaka hingga Tanah Genting Kra.

Pada puncaknya Sriwijaya menjadi tuan atas selat Malaka dan menguasai rute perdagangan yang melalui selat ini. Bahkan pada tahun 1178, disebut oleh penulis Cina, Chou K’u-fei yang dikutip oleh Elaine Mckay dalam Studies in Indonesian History (1976) bahwa beberapa kapal asing yang lewat akan diserang jika tidak masuk pelabuhan Sriwijaya atau membayar tol.

Kapal-kapal Sriwijaya melakukan pelayaran sendiri antara Cina dan India. Ia juga mengirimkan utusan ke Cina, dan diakui Cina sebagai negara penguasa di Asia Tenggara. Sedangkan pelayaran ke bagian timur kepulauan Indonesia itu pun juga jadi menjadi monopoli penduduk.

Saat itu, rempah dari Maluku, terutama cengkih dan pala dikumpulkan di pelabuhan-pelabuhan Jawa dan Sumatra, untuk selanjutnya dikapalkan ke luar negeri. Daerah Kerajaan Sriwijaya sendiri menghasilkan penyu, gading, emas, perak, kemenyan, kapur barus, damar dan lada, serta barang lainnya.

Hasil bumi dari daerah Sriwijaya ini kemudian dibeli oleh pedagang asing untuk ditukar dengan produk luar negeri, seperti porselen, kain katun dan sutera.

Candi Brahu. (wikimedia.org)

Sistem Barter
Hal yang sama terjadi pada era kekuasaan kerajaan Samudra Pasai. Saat itu jalur perdagangan nusantara, tepatnya di Selat Malaka juga sangat berkembang pesat.

Menurut Nur Rokhman dalam jurnal penelitiannya, “Indonesia Pada Masa Pengaruh Islam” (2013), di kerajaan ini bahkan banyak terdapat pedagang-pedagang dari Arab, Persia dan Gujarat yang berlabuh di Pidie, Perlak, dan Samudra Pasai. Walau demikian Samudra Pasai diberi keleluasaan untuk tetap menguasai perdagangan di Selat Malaka.

Letak Kerajaan Pasai pada aliran lembah sungai juga membuat tanah pertanian subur. Padi yang ditanami penduduk Kerajaan Islam Pasai pada abad ke-14 dapat dipanen dua kali setahun, berikutnya kerajaan ini bertambah makmur dengan dimasukkannya bibit tanaman lada dari Malabar.

Selain hasil pertanian yang melimpah ruah di dataran rendah, di dataran tingginya juga menghasilkan berbagai hasil hutan yang diangkut ke daerah pantai melalui sungai. Hubungan perdagangan penduduk pesisir dengan penduduk pedalaman adalah dengan sistem barter.

Oleh sebab kestrategisan itu, di Selat Malaka, di tengah jalur perdagangan India, Gujarat, Arab, dan China, Samudra Pasai dengan cepat berkembang menjadi besar. Sebagai kerajaan maritim, Samudra Pasai menggantungkan perekonomiannya dari pelayaran dan perdagangan.

Demi melancarkan perekonomiannya, kerajaan Samudra Pasai pada saat itu membangun sebuah bandar-bandar atau pelabuhan untuk melakukan penambahan perbekalan untuk pelayaran, pengurusan masalah yang berkaitan dengan perkapalan, pengumpulan barang-barang yang akan diekspor, penyimpanan barang dagangan sebelum didistribusikan di wilayah Nusantara.

Karena posisinya yang strategis di Selat Malaka membuat kerajaan ini menjadi penghubung antara pusat-pusat dagang di Nusantara dengan Asia Barat, India, dan China. Salah satu sumber penghasilan kerajaan ini adalah pajak yang dikenakan pada kapal dagang yang melewati wilayah perairannya.

Pada era Samudra Pasai, harga lada sudah sangat tinggi, 100 kati dibayar dengan perak seharga 1 tahil. Untuk lebih dipercaya, maka kesultanan menggunakan koin emas sebagai alat jual beli atau transaksi. Mata uang seperti ini disebut dengan dirham atau deureuham yang dibuat dari emas.

Emas untuk mata uang ini adalah emas dengan kadar 70% murni dengan berat sekitar 0,60 gram. Koin emas ini dibuat dalam ukuran diameter 10 mm, dan mutu emasnya adalah 17 karat.

Selain ihwal terkait perdagangan, percis seperti Majapahit, masyarakat Samudra Pasai juga menggeluti bidang peternakan dan masyarakatnya memelihara sapi perah. Dari sapi perah ini, mereka mendapatkan keju setelah melakukan proses terhadap susu hasil pemerahan sapinya.

Akan tetapi, karena sejumlah faktor inilah kerajaan-kerajaan lain menjadi merasa tersaingi, sehingga Kerajaan Samudera Pasai selalu menjadi incaran dan menjadi pusat perhatian.

Akhirnya, Kerajaan Samudera Pasai pun lambat laun runtuh karena jatuh ke Kerajaan Malaka, sehingga pusat perdagangannya dipindahkan ke Bandar Malaka.

Jaringan Perniagaan
Menurut Sartono Kartodirjo dikutip dari jurnal Ikhsan Rosyid Mujahidul Anwari yang berjudul “Sistem Perekonomian Kerajaan Majapahit” (2016), kerajaan Majapahit memiliki wilayah yang luas dan mencakup periode kekuasaan yang lama.

Berdasarkan penanggalan dari Kidung Harsya Wijaya, dituliskan oleh Sartono dapat diperoleh penafsiran bahwa hari pelantikan Raden Wijaya pada hari ke-15 bulan Tahun sebagai Kartika, 1215 Cakahari kelahiran Majapahit.

Meskipun ikon Majapahit adalah Trowulan, yang notabene terletak pada pedalaman di Jawa Timur, ia menuliskan justru puncak kekuasaan dan kejayaannya sebagian besar adalah laut. Sehingga tidak dapat dimungkiri, menurut Sartono Majapahit juga merupakan peradaban maritim.

Dituliskan oleh Anthony Reid, dalam bukunya yang berjudul Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 (2011), sebagai kerajaan maritim, tentu saja aktivitas ekonomi utamanya adalah pelayaran dan perniagaan antar pulau. Perdagangan menjadi salah satu faktor penggerak perekonomian dan berlangsung dalam skala yang masif. Dalam konteks perniagaan internasional, kerajaan Majapahit berperan penting dalam pengelolaan perdagangan.

Pada pertengahan abad ke-14, ketika Maluku dianggap sebagai wilayah Majapahit, wilayah tersebut  sangat penting dalam jaringan perniagaan. Maluku dijadikan sebagai penghasil rempah-rempah yang dibutuhkan masyarakat internasional.

Selain rempah-rempah dari Maluku, secara umum, ledakan permintaan akan hasil bumi di Asia Tenggara telah mendorong kemakmuran Majapahit pada abad-13 saat Majapahit sedang berkuasa pada periode tersebut. Oleh sebab itulah, kemudian muncul kota-kota pantai di Jawa sebagai basis kekuatan ekonomi maritim kerajaan Majapahit, seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik, dan Surabaya.

Kota Tuban saat itu menjadi pelabuhan terbesar di Jawa, kemudian abad ke-15 muncul kota Gresik dimana banyak orang-orang Tionghoa yang kaya menjadikan daerah tersebut sebagai gudang rempah-rempah dari Maluku.

Pada masa itu, Surabaya dan Jepara juga menjadi penting karena menjadi pengekspor beras. Hasil utama kerajaan Majapahit sekaligus menjadi komoditas penting dalam perniagaan internasional adalah beras.

Keunggulan komoditas beras itulah yang kemudian menjadikan sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, selain tentu saja pedagang dan pelayar antarpulau.

Kondisi tanah yang subur serta pengaturan irigasi yang baik memungkinkan masyarakat Majapahit dapat memanen padi dua kali dalam satu tahun. Hal ini mengakibatkan surplus beras, sehingga memungkinkan untuk ekspor ke luar wilayah.

Di balik keandalan armada laut Majapahit, tetap saja merupakan kerajaan agraria yang mengandalkan pertanian sebagai tiang utama penyangga keberadaannya. Beras dibawa armada kerajaan ke Maluku untuk diperdagangkan atau ditukar dengan rempah-rempah.

Selanjutnya rempah-rempah diperdagangkan dengan pedagang lain terutama dari Cina dan India. Dari perdagangan itulah keluarga kerajaan mendapatkan kain sutera, keramik, dan benda-benda logam tertentu. Keuntungan yang diperoleh dari penguasaan atas perdagangan beras itu rupanya telah mendorong para pejabat kerajaan memacu peningkatan hasil beras yang ditanam oleh petani.

Masyarakat Majapahit, mengutip 700 Tahun Majapahit: Suatu Bunga Rampai telah (1993) mampu mengembangkan sistem pertanian dengan teknik tinggi. Dikembangkannya sistem pertanian karena keadaan dataran rendah yang luas ditunjang aliran sungai dan gunung berapi. Campur tangan penguasa terhadap sektor pertanian juga dapat dilihat dalam penetapan pajak atas tanah yang didasarkan dari hasil panen.

Selain pajak pertanian, dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi kerajaan diperlukan juga upaya pendapatan lain dari sumber-sumber seperti upeti dari raja-raja bawahan, hadiah negara-negara sahabat, hasil rampasan perang, pajak perdagangan, dan pajak industri.

Di samping aktivitas perdagangan dan pertanian, nyatanya ada juga sektor ekonomi lainnya yang tak kalah penting bagi kerajaan Majapahit, khususnya untuk memenuhi berbagai kebutuhan sehari-hari.

Menurut Adrian Perkasa dalam buku Orang-Orang Tionghoa & Islam di Majapahit (2012), hubungan dan interaksi perniagaan dengan daerah-daerah lain baik di Nusantara maupun internasional menjadikan mata uang China mendominasi dalam sistem moneter di wilayah itu. (Fadli Mubarok, berbagai sumber)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar